Meritualkan Sastra Indonesia


Oleh: Matroni Muserang

Bahasa Indonesia bukan bahasa lokal. Bahasa Indonesia bukan bahasa agama yang ada kaitannya dengan Tuhan. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang tidak memiliki tuhan. Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang hanya digunakan oleh birokrasi bangsa dan negara. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang digunakan untuk mendekat kepada para politisi. Bahasa Indonesia tidak bisa dijadikan sarana untuk mendekat kepada Tuhan.
Esai ini ingin mencoba sejauh mana bahasa Indonesia mampu memberikan sumbangsih terhadap kearifan lokal dalam keseharian masyarakat yang aktif dalam melakukan kearifan lokal? Apakah bahasa Indonesia mampu masuk dalam tubuh kearifan lokal? Apakah bahasa Indonesia bisa dijadikan sarana untuk mendekat kepada tuhan? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang hendak di refleksikan oleh saya dalam esai ini.
Bahasa
Linguistik atau ilmu bahasa merupakan ilmu yang membicarakan seluk-beluk bahasa itu sendiri. Dalam catatan sejarah linguistik sebenarnya sudah ada sejak 2 SM bersamaan dengan berkembangnya filsafat di Yunani. Waktu itu kajian bahasa dijadikan paradigma filsafat. Memang bahasa bagian dari filsafat. Oleh karena itu, kajian tentang bahasa yang dilakukan waktu itu berdasarkan pada filsafat.
Kajian bahasa secara ilmiah dimulai sejak akhir abad ke-19 yang digawangi oleh Ferdinant de Saussure. Dari sinilah kemudian sejarah bahasa memiliki tonggak baru, memiliki paradigma sendiri. Kajian bahasa telah terlepas dari paradigma filsafat dan ilmu alam sehingga bahasa menjadi kajian yang independen. Setelah bahasa memiliki cabang ilmu inilah bahasa berkembang cepat. Dari sinilah bahasa menarik banyak perhatian para sosiolog dan psikolog. Bahasa bersama ahli sosiologi berkembanglah sosiologi bahasa, bersama ahli psiokologi berkembang psikologi bahasa begitu seterusnya.
Awalnya memang bahasa terbatas pada unsur-unsur bunyi seperti bunyi, kata, frase dan kalimat serta unsur makna semantik, tapi seiiring berjalannya sejarah bahasa begitu cepatnya masuk pada ranah epistemologi sehingga bahasa berkembang cepat dan menjadi disiplin ilmu pengetahuan sendiri, maka tidak heran jika bahasa di satu sisi bisa dijadikan jembatan untuk berkomunikasi dengan sesama dan di sisi yang lain bahasa juga jadikan jembatan untuk berhubungan dengan tuhan.
Bahasa Indonesia
Munculnya bahasa Indonesia juga tidak lepas dari akar historis yang berkembang waktu itu, hanya saja saya belum mengerti secara jelas munculnya bahasa Indonesia itu sendiri. Siapa yang menciptakan? Dalam rangka apa bahasa Indoesia dipakai sebagai alat komunikasi? Apakah bahasa Indonesia lahir bersamaan dengan Indonesia merdeka atau bersamaan dengan datangnya penjajah ke Indonesia? Karena kalau kita berbicara Indonesia di dalamnya berisi kearifan lokal yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia.
Artinya setiap daerah memiliki bahasa tersendiri. Jawa dengan bahasa jawa. Madura dengan bahasa madura. Sumatra dengan bahasa sumatra. Medan dengan bahasa medan. Lalu bahasa Indonesia kita “yakini” sebagai alat pemersatu di antara sekian banyak bahasa daerah yang ada. Sehingga ketika orang daerah tertentu menggunakan bahasa sendiri tidak PD. Ada apa di balik ketidak-PD-an ini? Dalam hal ini ketika kita bertemu dengan dari daerah yang sama. Sering terjadi ketika seseorang keluar dari daerah menuju kota, lalu bahasa daerah mereka ditinggalkan. Dengan dalih tidak Gaul. Ndeso.
Padahal sejarah sudah mengajari kita untuk tetap para bahasanya sendiri. Bahasa sebagai bagian kebudayaan kita. Bahasa bagian dari identitas kita. Bahasa sebagai kekuatan untuk melawan modernitas. Budaya jawa selalu ingin menjadi Sunan Kalijaga sebagai tokoh yang agama. Kita tahu bagaimana gerakan Sunan Kalijaga dalam menyebarkan ide dan misi. Sunan Kalijaga tidak menggunakan bahasa Arab, tidak menggunakan bahasa Indonesia. Tidak menggunakan bahasanya orang lain, tapi Sunan Kalijaga menggunakan bahasa orang jawa, sehingga bahasa Jawa mampu secara langsung berhubungan dengan Tuhan. Jadi bahasa lokal adalah bahasa yang memiliki hubungan langsung dengan tuhan. Sebagai contoh, ritual jawa atau kearifan jawa pasti menggunakan bahasa jawa asli. Tidak menggunakan bahasa Indonesia.
Jadi bahasa Indonesia belum mampu dijadikan alat untuk berhubungan dengan tuhan, selagi ada bahasa lokal yang lebih kuat. Untuk meritualkan bahasa Indonesia kita harus “membunuh” bahasa lokal yang menjadi penghambat perjalanan bahasa Indonesia.tapi apakah bahasa Indonesia mampu “melawan” bahasa lokal yang menjadi darah daging sejarah moyangnya sendiri? Jawabannya ayo kita berpikir bersama.
Bahasa Puisi
Kalau boleh melihat sejarah, lagi-lagi sejarah menjadi dasar kita untuk berpikir. Di dalam kearifan lokal penuh dengan puisi. Kitab jawab puisi. Mau bertani puisi. Kerapan sapi puisi. Sesajen puisi. Nahwu sharrof puisi. Fiqih di dalamnya puisi. Ritual lokal sebenarnya semuanya adalah puisi, jadi tidak heran kalau sampai detik ini kearifan lokal menjadi kekuatan dan masih eksis di tengah serbuan budaya orang lain. Sebagai contoh para petani jawa, petani madura, petani yang lain mereka bernyanyi dengan bahasa lokal sendiri, sambil bajak mereka bernyanyi, cangkul sambil bernyanyi, begitu indah suara-suara itu mengisi alam bebas dan hijau di tengah sawah dan ladang.  
Maka tidak heran kalau penyair hari ini puisinya hanya sebatas koran dan kekuatannya pun masih di atas kertas koran. Belum mampu menjadi tatanan nilai, tatanan hukum dan tatanan budaya, seperti puisi-puisi yang berkembangan di dalam tubuh kearifan lokal itu sendiri. Itu karena kita menggunakan bahasa Indonesia yang tidak memiliki roh apa pun dalam kebudayaan kita. Jadi kita harus meritualkan bahasa Indonesia agar roh bahasa Indonesia menjadi bagian dari dari kebudayaan.
Lagi-lagi kita dihadapkan dengan persoalan hikmah atau kearifal lokal yang tidak mudah luntur dari masyarakat setempat. Walau pun akhir-akhir ini juga sedikit demi sedikit di hilangkan oleh generasi kita sendiri. Ketika bahasa lokal dan kearifan lokal hilang, lalu apa kekuatan kita?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Pentingnya Etika Memilih Guru dalam Keilmuan