Keniscayaan Pluralitas dalam Sastra
Oleh: Matroni Muserang
Akhir-akhir ini
ada isu yang menarik untuk kita diskusikan bersama, tentang polemik Hari Sastra
Indonesia. Para sastrawan besar pun ikut berkata dan memperjuangkan dalam
menentukan Hari Sastra Indonesia. Kapan. Dan tentu ini memiliki tanggapan dan
kritik dari berbagai kalangan, karena bagaimana pun ketika ada isu seperti itu,
kita akan beramai-ramai ikut berpendapat dalam memberikan wacana yang mungkin
cukup baik. Seperti apa yang saya akan tulis di bawa ini.
Djoernal Boemipoetra
bersama simpatisan menggelar deklarasi Hari Sastra Indonesia sekaligus
peluncuran buku “djoernal boemipoetra”, yang bertempat di Teater Arena, Taman
Budaya Surakarta, Solo, beberapa waktu lalu. Ini sebenarnya merupakan tanggapan
sekaligus ketidaksejutuan terhadap apa yang digagas oleh Taufiq Ismail dan
kawan-kawannya ketika mendeklarasikan Hari Sastra Indonesia dalam orasi kebudayaannya
di Taman Ismail Marzuki beberapa waktu yang lalu.
Boemipoetra
memiliki gagasan bahwa Hari Sastra Indonesia jatuh pada tanggal 6 Februari. Karena
bagi mereka, tanggal 6 Februari tepat lahirnya sastrawan besar Indonesia yaitu Pramoedya
Ananta Toer sebagai orang yang tepat untuk dinobatkan sebagai bapak sastra
Indonesia. Sebab, bagi para sastrawan, Pram merupakan salah seorang sastrawan
Indonesia yang karya-karyanya mengandung semangat kebangsaan, anti
kolonialisme, anti feodalisme dan bersifat kerakyatan. Selain itu, Pramoedya
Ananta Toer juga satu-satunya sastrawan Indonesia yang berkali-kali
dinominasikan sebagai pemenang Hadiah Nobel Sastra.
Sementara
Taufiq Ismail dan kawan-kawannya memiliki gagasan bahwa Hari Sastra Indonesia
jatuh berdasarkan tanggal lahir Abdul Moeis, sementara bagi menurut boemipoetra Abdul Moeis adalah anak
dari Balai Pustaka yakni institusi penerbitan pemerintah kolonial Belanda.
Maka,
dideklarasikannya Hari Sastra Indonesia ini sebagai wujud penolakan mereka atas
gagasan Taufiq Ismail dan kawan-kawan yang tidak memiliki akar historis dan
tidak menggambarkan realitas sastra Indoensia yang sebenarnya. Saya sebenarnya
juga timbul tanya. Sebenarnya apa yang diperjuangkan dalam menentukan Hari
Sastra Indonesia? Apakah ingin memperjuangkan sejarah sastra atau
memperjuangkan sastrawannya? Kalau sejarah sastra yang mau
diperjuangkan, sejarah sastra seperti apa yang mau diperjuangkan? Kalau
sastrawannya, sastrawan seperti apa? Apa ada ukuran bahwa sastrawan sekaliber
Pram dijadikan ukuran bahwa Hari Sastra Indonesia lahir karena adanya Pram?
Sastra, sebagai
satu barometer perkembangan kebudayaan, peradaban dan pemikiran, yang termasuk
di dalamnya prilaku moral. Dan sastra Indonesia merupakan gambaran lain dari
keadaan kebudayaan yang sedang berkembang. Buktinya karya-karya yang
dihasilkan, bisa dianggap sebagai gambaran keadaan yang ada di masyarakatnya.
Salah satu
bukti bahwa sastra Indonesia berkembang ketika kita lihat sejarah, bahwa sastra
Indonesia senantiasa diwarnai dengan berbagai polemik. Dari polemik semasa
prakemerdekaan (Polemik Sanusi Pane vs Sutan Takdir Alisyahbana), masa awal
kemerdekaan (Polemik Manifes Kebudayaan), tahun 70-an (Polemik Kebudayaan)
hingga kini, polemik Taufik Ismail CS versus KUK (Komunitas Utan Kayu) CS.
Polemik sastra
Indonesia yang terjadi sekarang (Taufik Ismail CS vs Boemipoetra), barangkali merupakan polemik yang menarik
untuk disimak sekaligus sastrawan ikut memberikan nilai, bagaimana polemik
dialektika ini berkembang dan menjadi sejarah. Polemik pencetusan Hari Sastra
Indonesia merupakan momok yang barangkali harus diadakan, walau pun tidak,
sastra tetap berkembang, hanya saja kurang asik aja tanpa ada wajah
polemik baru dan dialektika baru yang
saling berdialog.
Ini sebenarnya trend
dalam dunia sastra, tanpa polemik seperti ini sastra seolah-olah diam membeku,
tapi dengan ada konter dari berbagai kalangan sastrawan, maka akan sangat
kelihatan bahwa sastra benar-benar hidup di Indonesia sampai detik ini.
Dengan melihat
polemik seperti itu, saya teringat polemik yang terjadi antara Mu’tazilah
dengan Asy’ariyah, kalau dalam filsafat kaum empiris dengan rasionalis, tapi intinya
sama yaitu pemikiran keilmuan yang diperdebatkan dalam hal ini sastra. Artinya
polemik seperti Hari Sastra Indonesia merupakan sebuah keniscayaan yang harus
ada. Lalu bagaimana kita menyikapinya? Kemana kita harus memilih? Apakah harus memilih
Taufiq Ismail atau Boemipoetra? Pilihan merupakan ruang yang bebas kata Sastre,
jadi kita boleh memilih aliran siapa pun asal mau bertanggungjawab. Mereka
berdebat tentang Hari Sastra Indonesia pun karena di sana kebebasan
mengeluarkan hal, jadi benar apa yang dikatakan oleh Sastre bahwa kita hidup
ini bebas. Bebas yang bertanggungjawab.
Jadi tidak ada
dosa memilih atau tidak memilih, karena dalam dunia sastra bukan berperang
ideologi konservatif, akan tetapi bagaimana kita tetap menjadi sastrawan yang
memiliki mental yang kuat dan sadar sastrawan memiliki tanggungjawab yang besar
dalam merubah dunia.
Polemik Hari
Sastra Indonesia ini merupakan dialog lintas pemahaman sebuah sejarah dan
wacana, serta “pengagungan” terhadap sastrawan yang telah mengisi sejarah
sastra Indonesia yang sama-sama membawa ideologi berbeda. Sehingga tidak heran
kalau polemik ini terjadi. Perbedaan pemahaman dan pluralitas pemahaman
terhadap sastra seharusnya saling menghormati. Karena pluralitas sebuah
keniscayaan, maka yang harus di sadari adalah saling menghormati dan saling
memahami agar polemik ini tidak melahirkan ideologi fanatisme-konservatif.
Sastra yang
mengajarkan moralitas, etika dan estetika saya kira tidak hilang hanya
persoalan pemahaman yang berbeda, ideologi yang berbeda. Maka, konsep sastra
yang inklusif menjadi penting untuk dilahirkan di tengah-tengah polemik seperti
ini, agar pemahaman yang berbeda menjadi ragam perkembangan sastra Indonesia ke
depan.
Bersinggungan
langsung ataupun tidak, terlibat langsung ataupun tidak, keadaan ini sudah terjadi
hari ini. Pilihan sikap untuk menerima perbedaan yang sifatnya bertentangan
dengan nilai-nilai etika ataupun nilai-nilai estetika yang selama ini kita pahami,
adalah dikembalikan kepada pribadi masing-masing. Toh, rusak atau tidaknya
moral generasi dan esok hari, adalah tanggung jawab kita inilah Keniscayaan
Pluralitas dalam Sastra.
Komentar