Mencari Otentisitas Cinta dalam Puisi


Oleh: Matroni Muserang*

Tiap Sabtu Sore Komunitas Rudal selalu mengadakan diskusi sastra yaitu puisi dan cerpen dan sampai hari kemaren sudah berjalan 17 kali pertemuan dengan melibatkan para pembedah puisi dan cerpen berbakat misalnya Sunlie Thomas Alexander, Mahwi Air Tawar, Achmad Muchlish Amrin, Set Wahedi, F. Rizal Alief, Bernando J. Sujibto, Jufri Zaituna, dan penyair-penyair jogja lainnya.
Dalam salah satu pertemuan, ada yang menggeletik saya untuk menulis tentang otentisitas cinta. Ada penyataan teman diskusi yang mengatakan bahwa kalau Amir Hamzah dikatakan penyair romantis karena dalam puisi menyebut cinta dan wanita (baca: Amir Hamsah). Walau pun pada perkembangannya cinta itu dipertanyatakan oleh Chairil Anwar. Chairil mempertanyakan wanita,cinta suci,cinta murni?.  
Kalau penyair ”bentuk” eksperimental Amir Hamsah dan Chairil Anwar masih memilih sastra dan peduli pada ”isi”, maka penyair-penyair akhir-akhir ini malah merasa “letih dan lelah oleh debat antara “bentuk” dan “diksi” “rima” dan bentuk-bentuk puisinya lainnya dalam karya sastra” dan penyair hari ini “meningkatkan gengsi karya sastra Indonesia di mata pembacanya” dengan melakukan populerisasi karya sastra, lewat promosi dunia perbukuan. Betapa ironis, seorang penyair eksperimental par excellence masih menganggap “isi” puisinya penting sementara penyair sekarang, yang seharusnya menghasilkan sastra yang berkualitas, malah menganjurkan kiat dagang untuk menjual karya sastra, demi menaikkan “gengsi” popularitas.  
Apa yang saya rasakan dalam puisi tentang cinta adalah keyakinannya yang kuat bahwa sastra Indonesia tidak “bergengsi”, kalau pun ada maka rendah, di “mata pembacanya”. Saya berusaha mencari apa alasan penyair hari ini untuk membuat pernyataannya itu tapi saya gagal menemukannya dalam puisinya. Apa yang saya temukan justru ”laporan” atau “tempelan” saja. Lantas dimanakah penyair masa kini berproses dalam menemukan puisi dengan rendahnya gengsi sastra Indonesia di mata pembacanya? Atau, sudah tepatkah penyair yang menulis puisi mampu masuk dalam dirinya? Mungkin sebuah pertanyaan ekstrem bisa dilontarkan: adakah penyair masa kini, paling tidak dalam pengertian yang dimaksudkan, yakni penyair yang menulis puisi supaya dianggap ”penyair tinggi dan bukan dari golongan orang biasa”?.  
Sehingga penyair masakini hanya bermain dengan cinta yang hampa? Lalu apakah sekarang ada cinta, cinta murni, cinta suci? Ketika penyair mengombar-ngombar ekspresi cinta, dengan ekspresi “ciuman” dan merasakan kulit wanita yang dekat dengan penyair (ngeseks). Maka kalau itu yang terjadi, jadi jelas bahwa cinta yang otentik hari ini sudah tidak ada. Cinta yang otentik menurut Amir Hamsah dan cinta yang diperjuangkan oleh Chairil Anwar. Lalu dimana penyair hari ini berproses dalam menemukan puisi? Apakah di bibir wanita? Atau berada di selangkangan wanita? Sehingga cinta yang ditawarkan tak memiliki makna apa-apa. Kosong.  
Apa yang sering terjadi di kalangan penyair hari ini dalam peristiwa euforia keterpesonaan mereka menurut Saut Situmorang pada pembacaan mereka atas teori-teori ”terkini” dari dunia pemikiran Barat adalah konteks dari penciptaan teks-teks yang mereka baca itu. Secara tak sadar mereka take for granted yakin bahwa teori-teori “terkini” yang mereka baca itu tercipta dengan realitas Indonesia sebagai salah satu faktor penulisannya. Betapa arifnya seorang Jean François Lyotard yang memperingati pembacanya bahwa ”kondisi pascamodern” yang dia maksudkan dalam bukunya yang berjudul The Postmodern Condition adalah sebuah kondisi sosial seperti yang bisa ditemukan di negeri-negeri industri-kapitalis maju, Perancis misalnya. Makanya seorang pembaca Indonesia mesti lebih bijaksana dan kritis lagi dibanding Lyotard sendiri dalam “membaca” dan menulis puisi? Agar tidak terjebak dengan teori-teori “terkini” yang kadang membuat penyair sok-sok-an dalam menulis puisi dan berekspresi.
Individualitas menjadi momok yang relevan dalam keseharian penyair. Bercinta dan berciuman tidak ada hubungannya dengan penyairnya. Apakah benar seperti itu? Padahal pembacaan dan keadaan diri pasti memiliki pengaruh terhadap karyanya. Maka benar apa yang dikhawatirkan Achmad Muchlis Amrin bahwa penyair hanya mampu menulis puisi, tapi tak mampu memasukkan puisi dalam dirinya sendiri sehingga ekspresi kesehariannya. Menulis puisi cinta, menulis puisi sufi, akan tetapi itu hanya dalam puisi, dan tidak terjadi dalam ekspresi keseharian. Akhirnya melenceng dari apa yang penyair tulis. Dan keadaan seperti ini sudah di pikirkan dan direnungkan oleh filsuf dan penyair  eksitensialis Martin Heidegger.    
Apa yang di tulis oleh Saut Sitmurang apa yang dipertanyakan oleh Oyos Saroso HN dalam esainya ”Ketika Sastra Menjadi Nonsens” (Media, 12/01/03), yang menjadi pemicu polemik ini, adalah sebuah pertanyaan “sastra yang tidak nonsens”. Apakah warna dominan sastra kontemporer Indonesia adalah sastra yang cuma sibuk dengan ”bentuk dan cenderung mengabaikan isi, perenungan, proses dan ideologi”,  sebuah warna yang diidentifikasi kalangan sastrawan muda Indonesia pada sebuah komunitas sastra bermedia-massa di Jakarta dan Yogyakarta?
Nur Zain Hae bisa saja mengolok-olok pertanyaan Oyos ini dengan sebuah sikap pseudo-heroik bahwa” daripada terus menggerutu dan cemburu, lebih baik kita bergabung untuk membuat komunitas dan “laboratorium” lain, majalah atau jurnal sastra yang berbeda, menulis karya sastra dan merancang diskusi yang lebih bermutu” (Media, 19/01/03), tapi ejekannya itu cuma menunjukkan betapa naif dan sederhananya dia memandang sebuah persoalan yang dianggap serius oleh banyak penyair muda masa kini. Dan betapa tidak sensitifnya. Kalau seorang penyair masa kini sudah tidak boleh lagi mengeluarkan “protes” atas apa yang dia rasakan sebagai kondisi yang mengancam kelangsungan kehidupannya sebagai seorang penyair oleh sesama penyair, apa bedanya kita dengan rezim diktator militer Orde Baru yang haus darah itu.  
Dan penyair hari ini tak menyadari bahwa dirinya di jajah dengan halus, lebih halus dari puisi cinta. Disinilah kepekaan penyair hari ini hilang dari realitas. Sehingga ekspresinya pun jauh dari nilai-nilai “agama” yang mereka “percayai”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Tari India Yang Sarat Spiritualitas