Keterburu-buruan “Penyair”


Oleh: Matroni Muserang

Kegagalan melembagakan keterburu-burun (tidak sabar,) minimnya menghargai proses, atau paling tidak ketiadaan orientasi ide untuk menuntun keterburu-buruan itu, sehingga membawa kecemasan penyair yang berkehendak mewujudkan suatu keterburuan-buruan dalam menerbitkan tulisannya dalam bentuk buku.   
Ruang sastra yang kini membesar justru lebih terasa dihuni pekerja-pekerja "sastra identitas" atau “sastra buku”, yaitu mereka yang berjuang untuk suatu cita-cita “sastra buru-buru”, terutama karena mendasarkan perjuangan sastra pada doktrin ke-diri-an. Lebih karena keyakinan final tentang "moralitas sastra" dan agama, yang sebagian merupakan lanjutan obsesif dari perdebatan tentang dasar sastra pada awal sejarah kesusastraan, sastra identitas itu memperoleh reperkusi historisnya dari perkembangan sejenis di dunia.
Globalisasi tidak dipandang oleh “sastra identitas sebagai sarana percaturan ide-ide global, tetapi dimusuhi sebagai penghalang pelaksanaan keyakinan sastra an sich. Fundamentalisme pasar berhadapan dengan fundamentalisme nilai, makna, tidak ada upaya sintetik untuk mencapai stabilitas relatif sistem dunia modern, tetapi berhadap-hadapan dalam pertarungan kategoris tentang kebenaran prinsip. Globalisasi secara kategoris dirumuskan sebagai sumber penghancuran peradaban, sementara agama, dalam versi konservatifnya, diajukan sebagai solusi satu-satunya peradaban baru.
Kendati kontra ketidaksabaran itu mengandung banyak kepalsuan, mengingat begitu seringnya keutuhan keagamaan terbelah karena persaingan sastra dalam kelompok itu sendiri, namun nada umumnya sastra global memperdengarkan disharmoni sastra antara pendukung etika keterburu-buruan dan pembela logika sastra akhirat.
Akhirnya lahirnya dalam jargon sastra untuk sendiri, sastra untuk sastra, tersimpan psikologi sastra dari persaingan sastra global. Nilai-nilai absolut telah melampaui parameter-parameter konvensional sastra dunia. Gejala ini cukup kasatmata: akumulasi kapital dan teknologi bukan lagi menjadi nilai utama yang dikejar, tetapi sekadar alat untuk mewujudkan suatu impian ideologi-pragmatis. Dalam praktik keterburu-buruan akhir-akhir ini, prinsip ini bekerja amat sempurna.
Konstruksi historis global inilah yang kemudian menjadi latar perkembangan “sastra identitas di Indonesia sekarang ini. Namun, sumber-sumber sastra identitas itu juga memiliki akar-akar lokal yang kuat. Memang kondisi otoritarianisme sastra lama (baca: sejarah sastra) telah menghambat artikulasi kultural dari sastra identitas itu, melalui teknik-teknik penerbitan karya, kooptasi, dan represi. Sastra lama telah berfungsi memoderatkan penyebaran sosial dari sastra sosial, melalui jalan kehidupan penyair-penyairnya, dan berbagai kesejahteraan umat. Namun, keyakinan sastra ini rupanya memang kuat bertumpu pada keyakinan penyair, yaitu kecenderungan untuk memandang kehidupan secara ideologis. Akibatnya, penampilan ulang sastra identitas justru menjadi-jadi ketika penyair mengalami keterbukaan maksimal dan nilai sastra mengalami penurunan total.

Kontrak Sastra-sosial
Kita tentu tidak ingin kembali pada suasana otoritarian karena jaminan terhadap kesusastraan tidak di dalam rangka tukar tambah dengan larangan terhadap penerbitan karya. Yang ingin kita upayakan adalah suatu kerangka kerja nilai dan makna kesusastraan yang mampu menghargai kondisi masyarakat bangsa ini, sekaligus mampu mengembangkan kultur kritisisme individu dalam kebudayaan lokal, yaitu kultur yang secara sosial dapat mencegah perwujudan-perwujudan ideologis dari tuntutan- tuntutan sastra identitas itu. Kultur semacam itu pertama-tama dimaksudkan untuk mendorong pertukaran kepentingan di antara penyair, berdasarkan prinsip bahwa puisi adalah gejala temporer yang harus lepas dari obsesi-obsesi permanen.
Kita telah memilih jalan kesusastraan. Memilih menjalankan kepenyairan. Memilih melaksanakan tugas kepenyairan. Karena itu, kita harus menerima konsekuensi tertinggi, yaitu keberagaman harus menghasilkan kesementaraan tujuan. Tidak ada finalitas dalam proses kepenyairan. Sastra tidak mungkin mensponsori suatu pandangan sastra tunggal. Sastra adalah jaminan rasional terhadap keragaman tujuan hidup individual. Dengan cara itu, penyair dapat berproses secara maksimal. Karena itu, hal maksimal yang dapat disediakan sastra adalah fasilitas objek untuk menemukan berbagai kepentingan temporer. Inilah kontrak sosial sesungguhnya dalam kehidupan publik, yaitu bahwa jarak sastra antara masyarakat hanya boleh diukur berdasarkan ayat-ayat dangkal, dan bukan dengan ayat-ayat pemikiran atau perenungan. Maka tidak heran kalau sastra masih jauh dari tangan-tangan masyarakat.
Menerima pluralisme kesusastraan berarti menerima etika sastra, dialektika sastra, terbuka, yaitu bahwa semua obsesi sastra yang terburu-buru, yang mengejar popularitas, hanya boleh dipraktikkan di wilayah privat. Ini bukan diskriminasi dalam kesusastraan, tetapi konsekuensinya untuk meneruskan keluhuran dalam proses kreatif.
Artinya, sejauh "sastra identitas" hanya bermaksud “ambisi” dan “popularitas”, maka kesusastraan harus menampung dan memperlakukannya sebagai sastra sebagai sekali jadi, yaitu suara marjinal yang harus dilindungi. Namun, begitu ia mulai bermaksud untuk bergelut dengan eksistensi diri dan perjalanan proses, yaitu berupaya mensinergikan ruang publik dengan mengembangkan proses kepenyaiaran, sastra harus segera menolaknya karena ia mengancam prinsip dasar proses sastra itu sendiri: ruang publik tidak boleh dirumuskan secara final. Ia harus bebas dari obsesi-obsesi keterburu-buruan yang kadang menjerumuskan penyair sendiri ke dalam kolam ketakbermaknaan.
Ruang sastra adalah ruang relatif, ruang falibilis, ruang profane, ruang etika. Itulah sebabnya kita memupuk sastra setiap detik harus dijadikan kebiasaan bahkan harus dijadikan zikir waktu yang terus-menerus keluar dari jiwa penyair, seperti pohon yang selalu mengeluarkan oksigen untuk alam dan manusia. Nah, dalam hal ini, bagaimana sastra juga mampu menjadi pohon besar yang terus mengeluarkan oksigen kehidupan untuk alam semesta. Meminjam bahasanya Pramedya Ananta Toer bahwa Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Pentingnya Etika Memilih Guru dalam Keilmuan