Puisi dan Doa
Oleh: Matroni Muserang*
Puisi dan doa
dua hal yang berbeda. Puisi merupakan sublimasi substansial kemanusiaan. Ketika
puisi itu menjadi keseharian hidup kita menjadi puitis. Puitis artinya
keseharian kita sudah selalu dilandasi moral, etika, dan akhlak. Atas dasar
inilah tulisan ini akan berpijak, untuk memberikan refleksi atau belajar
bersama di tengah tungganglanggangnya sosial politik kemasyarakatan.
Puisi akan
berbeda ketika ia menjadi doa, seperti yang dibacakan oleh Neno Warisman, kalau
kita baca lengkap puisi Neno yang dijadikan doa itu sebenarnya isinya bagus,
hanya ada satu bait yang yang kurang pas ketika kita menggunakan paradigma
agama (baca Neno). Ketika ada bahasa “saya kwatir tidak ada lagi yang
menyembahmu”, pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah manusia Indonesia tidak
memiliki Tuhan? Kalau kita mau menjawab pertanyaan ini tentu manusia Indonesia
semua memiliki Tuhan, maka secara otomatis Tuhan pasti di sembah.
Lantas dalam
konteks apa Neno mengatakan tidak ada yang menyembah? Karena tahun ini adalah
tahun politik maka semua manusia Indonesia tentu memahami hal itu dalam konteks
politik. Bagi saya tidak ada persoalan puisi untuk apa dan bagi siapa, akan
tetapi haruskah kita meniadakan Tuhan di tengah-tengah orang yang mayoritas
beragama. Yang kita tahu setiap agama memiliki Tuhan yang disembah. Apa pun
agamanya. Kristen menyembah Tuhan Kristen, Islam menyembah Tuhan Islam, Budha
menyembah Tuhan Budha, Ateis menyembah Tuhan ateis, lalu dimana letak
kekhawatiran itu?
Komentar