NU dan Tambang
Oleh: Matroni Muserang*
Saya hidup dari lingkungan
Nahlatul Ulama (NU) yang sejak kecil di didik orang tua untuk selalu dekat
dengan tanah. Sejak Mts saya sudah biasa membawa letong ke ladang, orang tua saya
petani dan petuak sampai saya lulus S2, karena setelah tahun 2019 orang tua
tidak mampu lagi bekerja karena covid. Saat bapak bertani, saya selalu dibawa
ke sawah dan ladang sekadar membajak dan menanam padi, jagung dan kacang tanah.
Hidup di kampung, yang jauh
dari ambisi kekuasaan dan politik itulah yang membawa saya harus belajar lebih
serius bahwa ilmu itu untuk membawa manusia pada puncak cahaya, sementara
kekuasaan atau jabatan membawa manusia pada puncak kepuasan. Dari sini penting
untuk membedakan paradigma kita dalam melihat posisi manusia.
Sebagai contoh, viralnya seorang
K.H Ahmad Fahrur Rozi (Gus Rozi) sebagai anggota dewan Komisaris PT. Gag Nikel,
perusahaan tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Secara pribadi saya
tentu hormat kepada identitas “Gus/Kiai”. Saya sebagai warga NU tentu ideologi
NU dengan tidak sama dengan ideologi perusahaan. NU secara organisasi yang punya
variable sosial dan keagamaan, artinya NU tidak memiliki ajaran yang
membahayakan manusia. Artinya jika ada pengurus NU yang menjadi komisaris
perusahaan yang membahayakan manusia, berarti itu bukan NU, jadi jangan mengatasnamanakan
NU bila ada rasa ambisi dalam diri untuk meraih kekuasaan.
Kalau menurut Arne Naess
filsuf Norwegia Gus itu tidak memiliki etika lingkungan, mengapa karena krisis
lingkungan hidup adalah krisis manusiawi. Pertanyaan kemudian tentang motivasi
etis, yaitu Apa yang membuat saya (Kiai/Gus) memilih berbuat baik bagi makhluk
lain?, itu berakar dari dalam pertanyaan lebih mendalam: Siapakah diri saya?,
pertayaan siapakah diri saya, kalau manusia memiliki kesadaran dan memiliki
keilmuan bahwa krisis lingkungan yang diakibatkan oleh tambang itu akan
berdampak buru (madharat) bagi manusia, lalu mengapa harus dilakukan?
Siapakah diri saya?, Naess
membedakan dua konsep Diri. Masing-masing terkait dengan konsekwensi etisnya.
Konsep yang paling lazim membayangkan Diri sebagai makhluk atomistik. Setiap
insan bergerak sebagai seorang individu, terpisah dari lingkungannya. Etika
lingkungan hidup yang mengandalkan pandangan Diri atomistik menjurus kepada
etika kewajiban. Dan kewajiban biasanya dirasakan sebagai beban yang kurang
menyenangkan, hingga sering dihindari.
Konsep Diri yang kedua justru
membayangkan Diri secara lebih luas, yaitu sebagai bagian dari dunia
sekeliling. Etika lingkungan hidup yang berakar dalam konsep Diri lebih besar
ini dicirikan oleh kebahagiaan dan cinta, lebih dari kewajiban. Beban rasanya
telah menguap. Aneh tapi nyata! Konsep Diri yang luas ini mendasari etika
ekologis Arne Naess. Ia menamakan paham etisnya Deep Ecology (Ekologi Dalam).
Pertanyaan selanjutnya
pantaskah seorang yang memiliki identitas yang di cap memiliki ilmu (baca:ilmuawan?)
menerima tawaran kekuasan yang tidak membawa maslahah untuk manusia? Kalau dijawab dari perspektif NU (ideologi)
tentu itu tidak etis. Kalau bertanya kepada Immanuel Kant (1724-1804) di
menjawab begini, manusia, tulisnya, bisa didorong untuk berbuat sesuatu dari
hasrat (kecondongan, selera, atau kesenangan sendiri), atau dari kewajiban yang
rasional (akal budi, nalar).
Maka sesuai ajaran Kant, etika
lingkungan hidup konvensional melihat hasrat sebagai biang keladi kerusakan
lingkungan. Hasrat ingin mengonsumi sumberdaya alam seenaknya sendiri. Makan
daging sepuasnya, bakar bahan bakar fosil sebanyak-banyaknya dan seenaknya
sendiri, bangun gedung semaunya di tengah hutan rimba dan di tengah kota. Asal
keinginan saya untuk menikmati bifstik, mobil besar, atau hotel mewah dipenuhi,
lepas dari konsekwensi etis keilmuanya. Model etis sangat instrumental yang
dimotori secara psikologis oleh hasrat membuahkan konsumsi tanpa kendali.
Barangkali tidak banyak manusia
yang akan membela tingkah rakus di atas secara etis, hanya NU secara ideologis
yang mampu membela krisis lingkungan yang diakibatkan oleh ambisi, sebab NU
tidak memiliki ambisi kekuasaan dan kekayaan. NU organisasi yang memperjuankan
manusia dan keagamaan. Artinya kalau ada pengurus NU yang mendorong nambang,
berarti doronga pribadi, bukan dorongan NU, kalau ada manusia yang mendorong
atas nama NU berarti ia tidak pantas/etis menjadi pengurus NU, lebih etis
mengundurkan diri saja.
Gapura Timur, 14
Juni 2025
Komentar