Tugu Yang Keras Ta’ Akerres

 

Oleh: Matroni Musèrang*

 

Falsafah hidup orang Madura mencakup konsep penghormatan kepada orang tua, guru, dan pemerintah, serta nilai-nilai kerja keras dan saling tolong-menolong, inilah nilai substansi dari falsafah hidup orang Madura. Makna penghormatan untuk saat ini bukan hormat hanya bermakna fisik, karena memiliki jabatan struktural, akan tetapi penghormatan itu ada lantaran kita memiliki nilai falsafah keseharian yang lahir dari kebudayaan masyarakat Madura, misalnya karakter keras. 

Pembawaan keras dalam peribahasa ini tidak semata-mata mengacu pada sifat kekerasan fisik, apalagi dengan menggunakan senjata tajam (celurit dan keris). Keris disini penting dipahami sebagai representasi dari prinsip kebenaran dalam konteks keilmuan. Keris yang secara fisik berupa besi berlekuk panjang dan lancip merupakan penggambaran sebuah kebenaran yang hakiki (substansial) yang didalamnya mengandung nilai-nilai kebudayaan.

Kebenaran hakiki dan tidak terbantahkan dicitrakan sekuat dan selancip keris. Artinya, keberanian orang Madura bukanlah keberanian yang membabi buta tanpa pemikiran, tetapi memiliki fondasi keilmuan yang jelas atau akar historisitas yaitu kebenaran. Keris berfungsi sebagai vehicle yang membawa pesan dari tenor (kebenaran). Kata keras juga tidak bermakna beringas, tetapi sikap tegas dan konsisten. Maka, apapun yang dianggap benar, orang Madura akan kukuh dan teguh mempertahankannya.

Peribahasa ini tidak hanya mencerminkan cara berpikir dan bertindak masyarakat Madura, tetapi juga menyimpan nilai-nilai etika yang dalam. Kalau kita “mau” belajar ke beberapa pemikiran dari filsuf Muslim seperti Al-Ghazali, Ibn Miskawayh, Al-Farabi misalnya, bahwa peribahasa Madura mencerminkan nilai-nilai etika yang sejalan dengan ajaran Islam dan dengan konsep etika dalam pemikiran beberapa filsuf Muslim di atas, seperti ketakwaan, kesabaran, keikhlasan, dan penghormatan terhadap otoritas, yang tercermin dalam peribahasa “Abhântal sahâdât, asapok iman, apajung Allah dan Bhuppa’ bhâbhu’ ghuru rato”. Peribahasa Madura tidak hanya mengandung etika Islam yang mendalam, tetapi juga mengajarkan nilai moral yang berperan penting dalam pembentukan karakter masyarakat Madura.

Mengekspresikan pikiran dan perasaannya sehingga  pikiran manusia dapat    terpengaruhi    oleh    bahasa dan falsafat yang seharusnya termanifestasi dalam keseharian. Dalam konteks sosial dan profesional, falsafah ini mengajarkan pentingnya integritas dan kejujuran. Seseorang yang mengamalkan "Dhu' Nondhuk Cek Kocek" akan dihargai karena mereka tidak hanya bicara kosong atau berbohong untuk mencapai tujuan. Akan tetapi menjadi sosok individu yang dapat diandalkan, karena menjadi sosok yang selalu mempertanggungjawabkan tindakan dan menghasilkan karya yang nyata.

 

Rethingking: Anugrah dan Tugu

Dalam konteks Sumenep atau Madura misalnya, apakah kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep yang menarima Anugerah Literasi Nasional yang digelar di Balai Besar Guru Penggerak (BBGP) Jawa Timur sebagai pejabat penggiat literasi Nasional 2025 sesuai dengan proses yang dicanangkan falsafah di atas? Atau tugu Keris diperbatasan juga sesuai dengan proses keilmuan yang melibatkan semua unsur?

Mari kita berpikir kembali proses secara etis bahwa penghargaan dan tugu lahir dari kebutuhan budaya. Sehingga eksistensi tugu itu tidak hanya sebagai simbol tanpa makna, akan tetapi tugu yang menjadi manifestasi kebudayaan orang Sumenep yang penuh dengan filosofi. Membangun tugu tanpa melibatkan unsur keilmuan yang di daerah tersebut, maka ia akan melahirkan “penolakan-penolakan” dari berbagai praktisi. Misalnya ada praktisi yang sudah bergerak dari komunitas ke komonitas, menjadi pembicara dengan gagasan yang bernas tentang literasi sementara mereka tidak menjadi bapak literasi atau ibu literasi, apakah tidak malu dia menerima penghargaan itu?

Artinya jika penghargaan itu diterima sementara ia tidak melakukan gerakan literasi bahkan tidak menulis, seharusnya ia tolak sebagai manifestasi dari falsafah Madura di atas, sebab menarima penghargaan tanpa ada bukti nyata itu tidak benar. Persis juga dengan proses tugu keris itu sebagai identitas lokal, maka identitas itu harus dibalut dengan proses yang benar dan jujur.

Lantas, apakah kita harus meniadakan falsafat itu sebagai identitas lokal? Saya rasa tidak. Identitas lokal sebagai simbol kebudayaan yang mempunyai ruang dialektika yang inklusif tetap harus di jaga sebagai identitas lokal dan tetap dipelajari, namun konservasi tugu harus di manaj dengan baik. Selain sebagai benteng pertahan lokal wisdom yang dimiliki setiap daerah juga sebagai bentuk penjagaan terhadap keanekaragaman masyarakatnya.

Tugu adalah identitas yang menegaskan bahwa Sumenep berbeda dengan kabupaten yang lain, namun sebagai sebuah kabupaten yang terdiri dari berbagai pulau, komunitas literasi terbanyak dan kebudayaan lokal yang berbeda juga harus dipertahankan dilestarikan, dan itu semua dapat terbentuk melalui falsafah. Jika, hal ini tidak segera diperhatikan, mengingat sudah tegak berdiri dan ter-SK anugrah, maka tidak hayal pada suatu saat tugu dan anugrah juga akan kehilangan, sebab tugu dan anugrah itu hanya formalitas an sich  tanpa isi.

Jadi, usaha membangun tugu dan menerima anugrah bukan berarti selesai, akan tetapi hal itu memiliki tanggungjawab yang besar karena membawa nama kabupaten yang didalamnya memiliki budaya, agama yang beragam. Tanggungjawab menyatukan dan melibatkan berarti terciptanya relasi yang seimbang antara unsur satu dengan yang lain (Brown, 1968, Leach dalam Kuper, 1996). Di sinilah tugu dan anugrah mendapatkan perannya. Sebagai interrelasi pemikiran yang melingkupi lintas keterlibatan (integrasi). Sedang di internal daerah tersebut tugu dan anugrah harus kembali menemukan momentumnya yang besar, dengan mengembangkan baik melalui seniman, budayawan, pemerintah, lembaga pendidikan dengan media literasi dalam rangka merekam dan menjaga eksistensi tersebut.

 

 

*Pemerhati Budaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIOGRAFI PENYAIR MATRONI MUSERANG

Kelebihan Puisi dan Filsafat