Bagian Dari Jejak
Pagi
itu, pagi yang sebenarnya, Niji mengikuti seminar di salah satu kampus di
Yogyakarta dengan tema Peace generation
yang di angkat oleh Biji. Salah satu yang hadir adalah dua dosen dan empat
mahasiswa. Mereka membahas panjang lebar tentang hal itu, salah satu dosen
berkata bahwa kurikulum akademik selalu lambat dan tidak kontekstual, makanya
tidak heran kalau ada demo selalu membara, anarkis, karena mereka marah dengan
kampus yang tidak tahu realitas, tahunya hanya tatakrama akademik yang
sebenarnya tidak mutu dan tidak tahu perkembangan masyarakat.
“Peacae
generation bergerak untuk pendamaian”
Masalahnya
mampukah peace generation mendamaikan masyarakat, jika itu masih berbentuk
komunitas dan masih diskusi di ruang maya? Tanya Niji.
Sangat
sulit memetakkan dan mengatasi masyarakat, Niji tahu itu karena Niji orang
lapangan yang tahun betul keinginan masyarakat dan perubahan masyarakat. Kadang
masyarakat berkata ‘ya gampang’, tapi ketika di tunggu masyarakat malah
bertanya dan bertanya lagi, padahal Niji sudah menjelaskan dengan jelas apa,
bagaimana. Mereka masing-masing berkeinginan, secara kelompok juga
berkeinginan, tapi sama dalam budaya.
Niji
teringat, ketika menemani model berfoto di depan rumah Joglo, rumah kono adat
Jawa di desa Wukirsari, Yogyakarta. Marsa dari Boyolali dan Dinar dari
Temanggung, berfoto untuk dipromosikan desa wisata, walau kami bermodal
kemanusiaan dalam membangun desa itu menjadi tempat wisata, akan tetapi itu
tidak sesuai apa yang dibayangkan kita bersama, banyak rintangan, cobaan dari
masyarakat sendiri. Niji tidak mengerti, padahal kami datang untuk membantu, anehnya
masyarakat acuh-tak acuk dengan kedatangan kami. Apakah karena kami tidak
memiliki capital besar? Tanyaku. Sehingga masyarakat merasa pesimis dengan
kemampuan kami. Kenyataanya memang benar bahwa masyarakat sudah terbiasa
meminta, pasca letusan gunung Merapi 2006 masyarakat semuanya menunggu bantuan.
Jadi perusahaan besar dan kapitalnya besar sangat mudah masuk, walau pun di
balik bantuan perusaan asing ada kepentingan yang luar biasa merugikan
masyarakat yaitu ‘ketidakmandirian’, inilah yang membuat masyarakat semakin
terpuruk dan melahirkan konflik yang sangat tajam.
Anehnya
hal itu biarkan oleh pemerintah Yogyakarta. Yogyakarta sebagai kota Istimewa,
Niji sangat ragu terhadap keistimewaan itu sendiri. Bagaimana aku bisa percaya
kepada pemerintah, jika ada begitu banyak penderitaan di kota ini. Apakah masih
istemewa ketika Kulonprogo di jual? Apakah masih istimewa ketika pasar
tradisional di bangun gedung dan ada petugas peminta pada penjual dan menyewa?
Apakah masih istimewa kalau mall di kota ini di bangun? Apakah masih istimewa ketika
pemimpinnya tidak mementingkan kepentingan rakyat? Apakah masih istimewa ketika
masyarakatnya dibiarkam meminta? Ok, itu memang tanah milik Sultan, tapi apakah
Sultan tidak berpikir bahwa masyarakat membutuhkan? Apakah masih istimewa ketika
politik Sultan, politik ala Jakarta?
Niji
terdiam “Sangat tidak Istimewa” pikiranya.
“Lalu
yang istimewa apa” kataku
“Keberadan
Kraton sebagai simbol nilai dan budaya, itu saja tidak lebih” tandasnya. Sehingga
para sastrawan, penyair, dan budayawan lahir di kota karena ingin meresap roh
dari Kraton dan masyarakatnya itu sendiri, selain itu para peminta, asongan,
Malioboro, Musium, pantai, mall, Sarkem, kehidupan malam, orang gila, pengemis,
hotel, kantor DPR, MPR, KPU, Pajak, Depag, kampus, seks, sekolah, yang lebih
istemewa pasar tradisional, dan yang lebih istimewa lagi adalah Bantul yang
pemimpinnya lebih mementingkan kehidupan rakyatnya. Bupati tidak mau di bangun
mall di daerahnya karena mall akan merusak pasar rakyat. Lalu di Yogyakarta,
mengapa sangat banyak mall di bangun? Padahal bupati Bantul mau di bayar sekian
Miliar untuk membangun mall, akan tetapi Bupati baik ini tidak mau. Inilah yang
sebenarnya istimewa dari dari daerah istimewa Yogyakarta.
Di
depan rumah Joglo, kami bergurau tentang kecantikan para model, masa depan desa
itu, bagaimana membaca masyarakat dan pola yang akan kami jalankan di sana. Kami
minta di foto dengan meniru gaya model, meliuk kanan-kiri sambil tertawa lepas.
Di bawah pohon sawo, dan pohon kemuning,
kami bergurau, menikmati dingin dan damainya masyarakat, serta dinginnya cuaca,
walau di balik kedamaian itu ada peperangan yang sangat tajam yaitu ‘ketidakmandirian’.
Padahal kalau di lihat dari sejarahnya gunung Merapi meletus dan lahar
dinginnya sampai Pleret Bantul, masyarakat merapi masih bisa kuat dan makanan
tercukupi, walau tanpa bantuan. Tapi mengapa sekarang masyarakat justeru
menunggu bantuan dari berbagai lapisangan perusahaan dan lembaga baik dalam
negeri maupun luar negeri.
“Ketidakmandirian
itu terjadi pasca 2006” kata Niji.
Jadi
sekarang masyarakat tertanam penyakit ‘meminta’ ‘pengemis’ dan ‘ketergantungan’
pada bantuan orang lain. Inilah yang sangat sulit untuk kami rubah.
Penyakit
inilah yang diperjuangkan kami, bagaimana mengajak masyarakat mandiri, karena
dengan mandiri masyarakat tidak akan lagi meminta dan tergantung pada orang
lain bahkan korupsi tidak akan terjadi.
Walau
pun hal ini tidak mudah untuk mengajak masyarakat. Setidaknya kami ada usaha ke
arah yang lebih mandiri, karena masyarakat terlalu menderita. Termasuk aku.
Kemanusiaan
adalah perjalanan dan perjuangan suci dan mulia, kita hanya membaca, melihat
dan merealisasikan untuk masyarakat. Ketika berbicara kemanusiaan yang dilihat
bukanlah seberapa besar kapital, melainkan yang harus di lihat seberapa besar
kita terlibat secara langsung dan bercakap-cakap dengan masyarakat. Karena jika
turun ke masyarakat dengan membawa kapital besar dan menjanjikannya, maka sebenarnya
masyarakat akan selalu mengharap, dan menunggu. Jadi untuk turun ke masyarakat,
kami hanya mermodal ke cerdasan dan kerelawanan, walau di belakang kami
sebenarnya banyak teman-teman yang mau invertasi, tapi kami tunda dulu, menunggu
sampai masyarkat mapan. Mapan dalam artian di internal masyarakat tidak lagi
saling iri, dan ingin kaya sendiri dan lain sebagainya.
Masyarakat
menjadi tak berdaya dan dibodohkan selama tiga puluh tahun, sekarang justeru menikmati
dan menerima kapitalisasi.
Ketakberdayaan
adalah korban dari kenyataan yang penguasa ciptakan dan akhirnya aku bertanya: bagaimana
mungkin negeri kaya bisa seburuk ini? Bagaimana mungkin penguasa senaif ini?
“Pemimpin
membuat semua orang menderita”
“Termasuk
aku”
Malam
aku tidak bisa tidur, menemati kumputer yang masih nyala di depan mata, malam
semakin larut, aku masih asyik sambil membuka facebook dan membuka salah satu
media massa, yang memberitakan banyak ketidakpuasan masyarakat terhadap
pemimpin. entah? Apakah pemimpin membaca kabar itu atau tidak. Kalau aku
menjadi pemimpin, billahi aku turun dan berhenti menjadi pemimpin, jika melihat
masyarakat sudah tidak puas terhadap kenerja para pemimpin. anehnya bangsa ini
justeru banyak manusia yang berlomba-lomba untuk menjadi pemimpin, walau hanya
bermodal kapital. Ya, akhirnya tidak ada pemimpin rakyat.
Tidak ada pemimpin kemanusiaan. Tidak ada pemimpin masyarakat. Yang ada adalah
pemimpin kapital. Pemimpin proyek. Pemimpin untuk menyembunyikan maling-maling
Negara. Pemimpin para pembohong. Pemimpin para pembunuh. Pemimpin pengecut.
Pemimpin koruptor dengan membangun lembaga pemberantasan korupsi. Padahal lembaga
itu hanya untuk menutupi koruptor itu sendiri.
“Katakan
tidak untuk korupsi” kata-kata yang sungguh
meracuni masyarakat. Kata-kata yang mampu masyarakat tercengang. Kata-kata yang
membuat masyarakat terhipnotis, sehingga, koruptor enak-enak menikmati hasil
pencurian miliaran dan triliunan rupiah.
Sebenarnya
di balik kata itu, tersimpan para pencuri kelas kakap, yang sekarang menjadi
orang terkaya di negeri ini. Uangnya tak habis-habis dimakan, anehnya kekayaan
itu diperuntukkan sebagai beasiswa, hadiah (award) dan lain sebagainya untuk menutupi
dirinya agar masyarakat tidak curiga bahwa kekayaan itu tidak dianggap hasil
curian.
Pagi,
pada tanggal 17 Agustus 2011, bangsa ini katanya sudah berusia 99 tahun
merdeka. Ini hanya kata saja. Ok, mungkin kita merdeka dari penjajahan secara
fisik. Tapi sebenarnya penjajahan sampai detik ini masyarakat benar-benar luar
biasa menderitanya dengan penjajahan secara pelan-pelan. Mulai dari tubuh, lahan
pertanian, mental, agama, budaya dan kearifan-kearifan yang ada di masyarakat, gotong
royong, saling membantu, menyapa satu sama lain, dan kebiasaan masyarakat atau
kearifal lokal sekarang hampir punah, tidak menutup kemungkinan hal itu akan
hilang.
“Nilai-nilai lokal semakin dibumi hanguskan oleh
ketidakpedulian kita sendiri”
“Lalu dimanakah intelektualmu” tanya orang gila
Perkembangan
semakin tak bisa di bendung, generasi mulai asyik dan larut menikmati produk-produk
orang lain, sehingga tidak heran kalau kearifal yang kita miliki akan hilang
bahkan akan di ambil orang lain.
Aku
berjalan-jalan mencari potensi desa dan dusun banyak sekali kekayaan lokal yang
hampir pemudah tidak lagi peduli, aku menemukan ‘Wiwit’ di Dusun Kaligalang,
Kulonprogo. Wayang dan Srandul di desa Wukirsari, Kenduren, di Gapura, Sumenep
ada Mamaca, saronen, kerapan sapi, primbon
dan ilmu nenek moyang. Mereka hampir tidak mau lagi mendalami bahkan merayakan
kesenian itu, masyarakat lebih enak mencari uang dan membeli apa yang mereka
mau. Yang penting hidup bisa makan, minum dan tidur nyenyak, tanpa memikirkan
keseimbangan alam.
Sehingga
kita semua kebingungan menjalani hidup. mencari uang susah, cara kerja susah,
semuanya serba bingung, karena ada penyakit yang mengalir dari dirimu yaitu
menyogok. Ketika kau menyogok maka semua apa yang ada dirimu adalah kotor. Nah
kotoran inilah yang membuat kau bingung menjalani hidup. Niji teringat cerita
dari seorang guru bahwa Nabi Ibrahim orang yang kaya raya, tapi beliau kalau
mau makan menunggu ada tamu, kita sudah miskin dan kebingunan masih saja ingin
makan enam kali sehari, bahkan tak mau makan kalau tidak dengan lauk pauk yang lezat.
“Engkau tidak
lagi bertanya pada dirimu”
Di atas jembatan keikhlasan dan kesetiaan kita bangun
rumah cinta dan emosi kita tejemahkan menjadi aforisme filosofis, agar hidup ini
berbuah kebijaksanaan, hidup yang serba tak layak di hidupi, kecuali dengan
cinta dan kerinduan. Kepergianmu adalah tetes air yang tak terlihat dari dekat,
sebenarnya engkau bayang-bayang, lalu aku mencari di rumah kesetiaan, di rumah
ini tersusun senyum indah dan hidup bahagia. Seakan-akan mimpi adalah kebenaran
mutlak yang tak bisa di ubah/berubah oleh kenyataan.
Percuma airmata mengalir hanya untuk keperluan sesaat,
nasibmu yang tak kunjung reda dari kemalangan, nasib buruk yang digulung-gulung
waktu, kau tak berdaya memalingkan tubuhmu ke arah permata, permata yang lahir
dari airmatamu, airmata yang tumpah karena cinta dan kerinduan.
“Di zaman yang penuh gabalau ketidakmenentuan ini, sangat
sulit mencari manusia setia. Kecuali manusia memilih kejernihan hati, pikiran
dan hati”
Semangat zaman kadang membuat kita lupa mencatat, lupa
akan proses hidup, dan lupa diri, bahkan rasa malu pun “mati”. Kita di setir
oleh zaman sementara diri kita dibiarkan ikut arus zaman, mengikuti arah zaman,
kemana zaman melangkah kita ikut saja, tanpa membaca, menelaah dan memaknai apa
makna zaman bagi diri sendiri dan kehidupan kita.
Hilangnya esensi dalam hidup berasal dari
ketidak-kritisan kita membaca luka, membaca rasa dan membaca keindahan. Orang yang
mampu membaca keindahan adalah orang yang benar-benar menyadari bahwa dirinya
dilahirkan dari rahem seorang ibu.
Inilah yang membuat Niji selalu risau akan zaman yang
kadang berjalan di luar jangkau kapasitas kemanusiaan. Ternyata setelah berjalan, hidup memang harus
selalu seimbang, antara pikir dan zikir, spiritualitas dan rasionalitas, dan
lain sebagainya, karena Tuhan menciptakan benda-benda selalu seimbang, dan
berpasangan satu sama lain, maka jika seseorang hanya hidup di satu dunia,
materialitas misalnya ia akan kering dari rasa sejuk kehidupan ini karena
selalu memikirkan materi, padahal di dunia ini tidak hanya materi yang harus
dipikirkan. Pengabdian misalnya, suami, isteri, orang tua dan lain sebagainya
itu semua dihadirkan oleh Tuhan untuk kita pikirkan dan kita maknai agar hidup
kita tak merugi.
Niji terperanjat dari igauan waktu yang memberinya lahan
untuk menanam biji cinta, menanam kebahagiaan, menanam kedamaian dan menanam
keindahan.
“Lalu apa yang kau temukan di ladangmu” tanya Hasta
“Pelajaran hidup”
“Terus”?
“Nilai-nilai agung yang pernah dilahirkan oleh sesepuh
kita”
“Buat apa masih mempertahankan nilai-nilai yang
kadaluarsa” tanya Hasta
“Iya, untuk direnungkan dan dimaknai, karena aku yakin nilai
agung itu diciptakan oleh sesepuh kita, bukan untuk dibiarkan kosong, akan
tetapi untuk wariskan kepada generasi muda, agar tidak terjebak terhadap budaya
orang lain yang kadang tidak sesuai dengan budaya kita, agama kita dan
keyakinan kita”
Aku sebenarnya ingin sekali lepas dari ikatan-ikatan apa
pun, agama, pernikahan, keyakinan dan apa pun yang mengikat, termasuk Tuhan, tapi
ketika aku membaca sejarah banyak tokoh besar Marx, Freud, Durhem dan
tokoh-tokoh lain yang ingin lepas dari ikatan-ikatan, tapi pada akhirnya mereka
menyesal tak memiliki apa-apa kecuali teori yang dihasilkan sementara dirinya
sebagai penghasil teori hancur dengan hampa. Betapa sangat menyesalnya mereka. Nah,
aku tidak ingin seperti mereka. Cukup sejarah yang mengalaminya dan aku harus
memiliki sejarah sendiri dan itu baru untukku.
Komentar