Proses Kreatif dan Gerakan Sastra Kampung
Oleh: Matroni
Musèrang*
Bagi
saya sastra, khususnya puisi sebuah perjalanan mistik. Mistik di sini harus dimaknai secara luas yaitu mistik yang membuka diri
(inklusivitas) terhadap penyingkapan dasar-dasar kenyataan dan kehidupan
sehari-hari. Artinya sastra mistik di sini bukan sastrawan yang harus
menyendiri, tertutup diri (ekslusif), akan tetapi membuka diri terhadap
berbagai fenomena kehidupan (kemanusiaan), dan keilmuan filsafat, budaya, seni,
politik, dan agama, lebih-lebih sastra agar kita tidak “iri” terhadap seseorang
dan institusi apa pun.
Belajar sastra juga belajar isi
semesta. Sejak tahun 2004 saya belajar sastra di Madrasah Aliyah, masa dimana saya
tidak tahu bahwa sastra selalu berkaitan dengan keseharian semesta. Kesadaran
bahwa sastra berbanding lurus dengan keseharian semesta, pada tahun 2005 saya masuk
pondok pesantren Hasyim Asy’arie, jalan Minggiran MJ II, Krapyak, Yogyakarta.
Di sana saya diajari membaca diri,
membaca realitas. Diajari cara mandiri, dijari cara mendidik mental yang kuat. Sebab
prinsipnya “Gengsi itu tahi kucing” kata Gus Zainal, pengasuh dan guru saya di
sana. Dari tesis guru inilah saya memiliki semangat untuk terus membaca dan
menulis. Karena bagi Gus Zainal orang yang sukses adalah orang yang mampu
mensukseskan orang lain (khairunnas anfa uhum linnas). Artinya proses
kreatif tidak akan bermakna apa-apa jika hanya untuk pribadi, akan tetapi
proses kreatif itu berbagi ilmu pengetahuan, dan pengalaman bagi generasi
bangsa.
Selama sepuluh tahun saya belajar
di Yogyakarta, membaca puisi di UGM, di Taman Budaya Yogyakarta, di Tembi Rumah
Budaya, di UNY, di UIN SUKA tempat saya kuliah, di Teater Eska, di Nol
Kilomiter, di pendopo Lkis, menulis di koran lokal dan nasional dan diskusi-diskusi
sastra, budaya, pendidikan, filsafat pun saya nimbrung sekedar untuk mengisi
rohani kepenyairan saya. Sebuah karya besar tidak serta-merta lahir tanpa
proses rohani, jadi benar apa yang dikatakan oleh penyair berkewarganegaraan
Inggeris kelahiran Amerika T.S Eliot yang dikutip oleh Muchtar Lubis dan
dikutip lagi oleh W.S Rendra: “Kesusastraan diukur dengan kriteria estetis,
sedang kebesaran karya sastra diukur dengan kriteria di luar estetika”.
Tahun 2005 Yogyakarta masih kuat
dengan wacana sosial, gerakan dan aktivis kemanusiaan, diskusi bagitu massif,
sehingga di tahun 2006 saya resmi menjalani masa-masa menjadi mahasiswa. Manusia
mahasiswa adalah manusia yang murni logika dan wacana, namun logika tanpa rasa
bahaya, rasa pun bahaya tanpa logika. Filsafat yang saya pelajari sejak 2005
sampai tahun 2014 bukanlah proses yang mudah saya lalui, proses mengisi rohani
dan pikiran itu bukanlah jalan mulus dan lurus, akan tetapi dibutuhkan ketekunan
dan kesungguhan untuk menata jalinan filsafat dan sastra. Sebab sastra
merupakan integrasi antar pikir dan zikir (rohani/mistik). Untuk itulah
“kengerian jiwa yang kau mengerti apa, adalah tanda keberhentian waktu”
Sepuluh tahun sebuah perjalanan, kadang
naik dan kadang juga turun. Lapar, malas, dan seolah-olah putus asa. Semua saya
jalani dengan penuh keseriusan. Saya yakin likuan perjalanan itu pasti memiliki
makna yang diberikan kepada saya. Hanya menunggu waktu saja. Mendapatkan
penghargaan terhormat dari MASTERA merupakan kebanggaan tersendiri bagi saya,
di samping ini juga bagian dari proses kreatif saya ke depan.
Setelah melewati sepuluh tahun di
Yogyakarta, pada tahun 2015 sampai sekarang saya memutuskan untuk pulang dan
menetap di Sumenep, tempat dimana saya dilahirkan. Di pulau Garam inilah saya meneruskan
rohani kesusastraan yang dimulai dengan gerakan kesusastraan dari komunitas kecil
seperti ASAP yang beranggotakan siswa putra MA, Sanggar Kencana yang khusus
siswa putri di sana saya ikut belajar bersama, sharing pengalaman proses
kreatif.
Dari komunitas-komunitas kecil
inilah kemudian, lahir gagasan untuk mendirikan komunitas SEMENJAK yang memiliki
tujuan jalan-jalan ke sekolah-sekolah se-timur daya yang ada komunitas
menulisnya, kalau tidak ada, kami dari SEMENJAK berusaha untuk mendirikan dan
kami siap datang untuk terus memantau perjalanan komunitas yang ada di sekolah.
Komunitas SEMENJAK memang memiliki agenda untuk jalan-jalan ke daerah se-timur
daya, saya juga ikut sharing bersama di Ngopi Sastra dan Alhamdulillah sudah
berlajan.
Agenda untuk menumbuhkan “rasa
rohani” melalui jembatan sastra merupakan hal paling mendasar dari manusia. Dikatakan
paling mendasar karena itu menyangkut masa depan manusia baik yang aktual
maupun yang spekulatif, yang rohani maupun yang jasmani, yang filosofis maupun sosial-budaya-ekonomi-politik,
yang mistik maupun yang logis, artinya yang menyangkut kebutuhan dasar manusia sebagai
totalitas. Totalitas ini penting, agar berjalan bersama sastra itu tidak jenuh
(main-main), banyak di antara teman-teman saya yang lebih memilih ekonomi-politik
daripada sosial-filosofis, sehingga mereka berhenti di tengah jalan menjadi
penyair. Alasanya karena dunia rasa adalah dunia tanpa tepi. Inilah yang
mengantarkan Imam Al-Ghazali menyerang para filosof itu tersesat.
Agenda dari jalan-jalan ini salah
satunya menciptakan cinta baca bagi anak-anak SMP/Mts atau MA/SMA. Saya yakin
dengan membaca siswa-siswi akan mampu mengusai pelajaran dengan baik dan akan
menjadi manusia yang terdidik di masa depan. Membaca kebutuhan mendasar
manusia. Membaca juga melatih kepekaan. Kepekaan inilah yang akan mengantarkan
kita keperkampungan sastra. Maka setiap karya yang lahir pada akhirnya lahir
dengan baik, karena berangkat dari proses pembacaan kreatif-realis.
Karya yang besar dan gagasan yang
besar selalu berkaitan dengan kebutuhan dasar itu. Apakah ada maknanya sastrawan
menggarap hal-hal kecil yang ada dikampungnya? Tentu tidak semua gagasan besar
memiliki wadah yang besar. Orhan Pamok justeru sengaja mengambil hal-hal kecil
di Istambul untuk mengutarakan gagasannya mengenai kemanusiaan Istambul, ada
juga Anton Chekov sebagaimana dikutip WS Rendra yang sengaja memakai peristiwa
kecil dan datar untuk mengutarakan gagasannya mengenai hubungan jalan hidup
manusia yang konyol dan macet dengan keterbatasan kebudayaan kota kecil di
daerah yang jauh dari ibu kota.
Kampung halaman dewasa ini menjadi
momok yang eksotik, banyak orang-orang borjuis berlomba-lomba ke kampung
mencari tempat sejuk, indah dan damai, sementara yang di kampung pergi ke kota.
Orang kampung mencari gagasan besar di kota sehingga sastrawan yang “sok
penyair” tertipu dengan gagasan besar yang katanya lahir di kota, padahal “daya
kesusastraan/rohani kesusastraan” berada di kampung-kampung, di desa-desa.
Oleh karenanya puisi yang lahir adalah
puisi yang tidak anti realitas, akan tetapi lahir dari realitas. Maka lahirlah
gagasan untuk mendirikan Komunitas Sastra Melawan. Yang memiliki tujuan
berbeda dengan komunitas ASAP, SEMENJAK, ngopi sastra dan sanggar Kencana. Komunitas
Sastra Melawan merekam kegelisahan-kegelisahan fenomena ketidakadilan, “pemaksaan”
pembelian tanah, maraknya pendirian tambak udang di tepian laut dan maraknya
pembelian tanah oleh investor asing.
Kegelisahan Komunitas Sastra
Melawan lahir dari bahasa peristiwa dan “rasa peristiwa”, bukan “rasa
pemaksaan” diksi. Sajak yang dituliskan seperti sajak “Tanah Jimat” yang
dikenal orang Madura dengan “Tanah Sangkol” salah satu contoh penyair harus
bersuara. Dasar keterlibatan sajak itu adalah moral (tèngka kata Madura) dan
akal sehat, sehingga lahir sifat untuk tidak menjual tanah. Sarana diluar
estetika yang saya pakai adalah filsafat kemanusiaan, dan filosofi orang tua
Madura yang penuh nilai dan etika. Di situ bagi saya untuk memberikan sokongan
bahasa peristiwa kepada pembaca yang masih “tidur” dari kesadaran akan
pentingnya makna tanah bagi kelangsungan anak cucuk kita (kemanusiaan).
Akan tetapi, untuk menulis
sajak-sajak yang terlibat dalam persoalan sosial-kemasyarakatan, saya tidak
bisa hanya menggunakan filsafat an sich. Saya harus memakai ilmu tentang
tanah, termasuk riset akan data dan fakta serta disiplin ilmu pengetahuan yang
lain, seperti sosiologi, antropologi, filsafat, sejarah, hermeutik dan lainnya.
Bukan hanya sekadar duduk manis di kamar, berspekulatif, tapi sarana yang
kongret dan logis. Sebab itulah “isi” dalam sebuah karya. Dari dulu saya memang
tidak pernah mencari ilmu bagaimana cara menjadi penyair, meskipun saya gemar
bersyair. Wawancara dan observasi memang lebih utama bagi saya.
Semakin lama berjalan di ruang
sastra itu, saya semakin mantap. Rohani dan filsafat harus saya ganti dengan
mistik-filosofis. Tanpa itu, sajak sosial-kemasyarakatan tidak memiliki
relevansi kontekstual. Dan inilah yang saya ingin dan mengapa saya menulis
sajak sosial-eksistensial: relevansi dalam membangun kesadaran dari dalam
(diri).
Saya bersyukur bisa masuk dalam 10
penyair muda MASTERA, artinya impian saya dikabulkan. Sajak yang saya tulis
sudah bersayap dan menerbangkan saya untuk bertemu dan belajar dari
penyair-penyair dari Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura dan Tailand.
Saya akhiri tulisan ini di sini. Sementara
selesailah tugas saya untuk menulis proses kreatif saya sebagai penyair. Perjalanan
proses kreatif itu tidak mutlak batasnya. Saya sepakat dengan WS Rendra bahwa
batas bukan dalam gambaran tahun atau masa, walau pun di situ ada unsur masa,
tetapi dia ada dalam moment tertentu sehingga dia bergairah dan semangat
kembali.
Oh,
iya lupa, dewasa ini di tanah Madura lagi mengalami cultural shock. Dasar
kebudayaan Madura mulai “ditinggalkan” dan diguncang-guncan oleh gempa kebudayaan
“gaya hidup mewah” dan saya merasa miris dan gelisah. Saya merasa sajak yang
saya tulis selama ini, ah, saya belum siap bicara mengenai proses yang sekarang
lagi mengguncang Madura dan diri saya.
Madura, Juli
2017
Sumber: http://www.kawaca.com/2017/10/proses-kreatif-dan-gerakan-sastra.html
Komentar