Ngopi Sastra dan Semangat Kesusastraan
Oleh: Matroni Musèrang*
Sastra selalu
menarik untuk di baca dan di raba. Sastra seperti ayat-ayat Tuhan yang tidak
habis untuk di baca dan di tulis. Sastra adalah sabda yang tidak akan pernah
selesai ditafsirkan. Oleh karenanya sampai deti ini dan detik kapan pun ia
terus dicari dan dicintai, itulah mengapa ngopi sastra tiba-tiba lahir.
Munculnya Ngopi
sastra berangkat dari obrolan saya dengan Sofyan RH Zaid vie WA, yang inti
obrolan itu hanya satu yaitu bertemu. Saya yang sudah lama di balut rindu sama
Sofyan RH Zaid karena dia tinggal di Bekasi, maka malam itu saya lupa malam apa
dan tanggal berapa? Sehingga Sofyan RH Zaid memutuskan untuk bertemu di Taman
Bunga Sumenep, namun biar pertemuan ini berkesan akhirnya muncul ngopi sastra di
obrolan itu dan disepakati untuk bertemu di tanggal 18 jam 18 tahun 2017 dengan
tema “sastra dan Sekitarnya”.
Maka
dibuatkanlah pamflet ngopi sastra yang di moderatori saya dan Sofyan RH Zaid
sebagai pemantiknya. Sofyan memulainya dengan satu issu yaitu apakah penting
Sumenep mengadakan event besar tentang sastra, seperti yang dilakukan
Bangkalan, Yogyakarta, Purwokerto, Tegal, Jambi, Ubud dan lainnya? mayoritas
tidak penting, sebab Sumenep adalah gerbong para penyair, banyak
komunitas-komunitas sastra yang hidup karena semangat dari teman-teman untuk
belajar sastra, ada juga yang berpendpat sekali-kali penting.
Dari isu itulah
muncul beragam kegelisahan teman-teman yang hadir mulai dari mereka yang
berproses bersama, namun ketika satu dari mereka hijrah ke Yogyakarta, atau
Bekasi karya-karya mereka melejit cepat dan kualitas puisinya bagus. Banyak
komunitas di Sumenep yang belum melakukan gesekan wacana kesusastraan dan
kebudayaan, sehingga komunitas-komunitas yang ada berjalan monoton, perkembangan
sastra di Sumenep memang luar biasa cepat dan beragam, namun masih ada
“kekurangan-kekurangan”, seperti kurangnya kepekaan terhadap perubahan sosial,
problem sosial seperti bagaimana sastra menyikapi persoalan-persoalan darurat
agrarian, FPI, HTI dan aliran-aliran baru, komunitas-komunitas sastra cuek-cuek
aja.
Saya akui
Sumenep memang banyak penyairnya, event-event yang dilakukan di Purwokerto,
Ubud, Bangalan, Tegal, Jambi, misalnya pesertanya mesti lebih banyak dari
Sumenep, kalau pun tidak banyak dapat dipastikan Sumenep pasti ada. Ini menjadi
nyata bahwa masyarakat Sumenep masih menjaga tradisi sastra, hal ini karena
dukungan dan sokongan dari pesantren (bukan dari pemerintah setempat).
Pesantrenlah
sebenarnya yang menjadi fondasi epistemologi kesusastraan di Sumenep. Kualitas
puisi pun menjadi momok yang hangat diperbincangkan, tak kalah menariknya ada
salah satu peserta yang mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki wadak dalam
berproses dalam menulis. Maka seolah-olah Mahendra “marah” dengan pernyataan
itu, padahal Sumenep komunitas-komunitas sangat banyak, untuk sekedar menyebut
misalnya ada Forum BIAS, yang dimotori penyair senior Syaf Anton Wr, Masyarakata
Seni Pesisiran (MSP) yang sekarang dimotori Rofayat yang juga hadir, Mahendra,
Amin, Semesta Menulis Jejak (SEMENJAK) yang di motori F. Rizal Alief, Matroni
Muserang, Warist Rovi, Zainol Munfashil.
Belum lagi
komunitas yang berkembang di pesantren dan kampus seperti Relaxa Nasy’atul
Muta’allimin, Sanggat Bintang Sembilan STKIP, ASAP Nasy’atul Muta’allimin,
Kencana Nasy’atul Muta’allimin, sanggar Cemara, dapat dipastikan setiap sekolah
dan pesantren dan kampus pasti memiliki sanggar dan komunitas menulis.
Ini keniscayaan
bagi Sumenep, ngopis Sastra yang awalnya tiga orang untuk temu kangen, namun justeru
yang terjadi mencengangkan yang datang hanya untuk berkumpul dari Krujugan ada
Fauzi pemangku komunitas Matlatul Amin, Longos Abdullah Mamber, Songsongan ada
Shohifuridha Ilahi, Maniro, Saini pemangku komunitas Bintang Sembilan, Tamidung,
ada sesepuh juga seperti mas Alfaisin, Mahendra, Amin, mas Don, mas Imam dan
teman-teman dari berbagai daerah Sumenep hadir untuk sekeder merefresh tentang
sebuah persoalan kebudayaan dan kesusastran di Sumenep.
Ngopi sastra
pun dipungkasi dengan tadarus puisi. Dan keputusannya ngopi sastra akan ada
setiap bulan, di bulan ketiga dengan pembedah puisi dan moderator yang bulan
depan itu pemantiknya Mahendra dan moderatornya mas Alfaizin Sanasren dengan
tempat dan waktu yang sama.
Ngopi sastra
hanya fokus dalam diskusi persoalan-persoalan sastra (puisi, cerpen, novel).
Ngopi sastra menjadi ruang pengadilan sastra bagi teman-teman yang ingin
berproses dalam menulis sastra. Sebab gesekan wacana menjadi penting untuk
mengasah sensitifitas kita dalam membaca dan menulis. Saya yakin membaca adalah
pupuk yang menyuburkan produktifitas menulis, makanya Ahmad Tohari pernah
berkata; membaca harus dimulai dan tidak boleh berhenti. Semoga ngopi sastra untuk
siapa saja, artinya siapa pun kita silahkan hadir untuk belajar bersama dengan
syarat harus membawa uang/kopi sendiri, tidak boleh meminta uang pada siapa
pun, apalagi pemerintah setempat. Ngopi sastra untuk kita yang kangen akan phol-ghumpol
sambil ngopi bersama di Taman Bunga, Sumenep.
Dengan phol-ghumpol
kita sama-sama menghargai proses, bahwa proses kreatif itu beragam, penting
kemudian kita menyadari bahwa keberagaman merupakan sebuah keniscayaan.
Komentar