Bahasa Peristiwa Sebagai Sastra Perlawanan
Oleh: Matroni
Musèrang*
Sastra
melawan pernah digayang Wiji Tukul dengan hanya ada satu kata Lawan! Chairil
Anwar, Rendra dengan puisi Famlet dalam puisi. Putu Wijaya dengan Novel dan
dramanya, dan sekarang dimotori oleh Soseawan Leak dengan Sastra Menolak
Korupsi. Namun ada waktu senggang yang menjadikan sastra mengalami kelesuan,
salah satu alasan mengapa kelesuan itu terjadi yaitu karena tidak ada gerakan
progresivitas, salah satu lainnya adalah tidak adanya keinginan untuk mencoba
mencari ide-ide segar, ide-ide baru untuk dituliskan, sehingga yang terjadi
“daur ulang” dari puisi-puisi yang terbit di koran dan buku.
Sastra
melawan merupakan metode untuk digunakan sebagai bentuk perlawanan sastrawan “Sumenep”
terhadap kapital, hal-hal yang mangancam, dan merugikan masyarakat yang kini
menjangkiti masyarakat Sumenep, seperti maraknya penjualan tanah mulai dari
pesisir desa Andulang, Lapa, Lombang, Badur, bahkan Toang yang baru-baru ini
menggelar rokad desa dan istigasah dalam rangka menolak investor asing masuk. Sasatrawa
Melawan haddir dalam rangka untuk mendampingi masyarakat agar tanah yang mereka
miliki tidak di beli dan serobot.
Kompleksitas
agraria yang akhir-akhir marak di Sumenep benar-benar cair kita “sulit”
menentukan “siapa”, oleh sebab itu, Sastra Melawan mencoba membaca lebih dalam
ke-cair-an kompleksitas itu agar benar-benar terkuat itu “siapa”. Sastra Melawan
salah satu bagian dari metode atau cara sastrawan “Sumenep” untuk membaca
sejauh mana dan bagaimana kita harus melawan. Sebab kalau sastra hanya
dijadikan alat untuk melahirkan “karya” tanpa gerakan maka tanah kita akan
habis. Habis pula kita yang mengatasnaman sastrawan, penyair, budayawan,
intelektual. Lalu kemana harapan akan ditumpahkan, bila tipu daya menjadi
seni kehidupan, kata Rendra.
Saat
ini sudah waktunya sastra harus lahir dari peristiwa dan melahirkan bahasa
peristiwa. Bukan hanya sastra yang lahir menjadi monument, menjadi kata-kata di
koran dan buku, akan tetapi sastra yang menjadi peristiwa yang tak lekang oleh
zaman. Kalau ada diksi “madura” tentu penyair harus berpikir apa itu Madura?
Bagaimana Madura? Siapa Madura? Mengapa harus Madura? Tentu orang Madura akan
tahu Madura, iya, saya paham kita tahu Madura. Tapi apakah kita harus Madura
hari ini? Iya, saya tahu. Penyair Sumenep begitu bangganya ia menyebut pohon
siwalan, celurit emas, sawah, dan tegal, tapi bagaimana kita melawan bentuk
dari apa yang penyair sebut itu diksi-diksi siwalan, celurit emas, sawah dan
tegal. Apakah kita hanya bangga hanya dengan menyebut? Kalau iya, larilah
engkau ke laut, berceburlah, lalu jangan kembali. Sebab itulah tempat yang baik
bagi penyair yang hanya suka menyebut, tanpa harus merebut. Maka harapan
kosong, optimisme hampa, kata Rendra.
Dalam
konteks sastra melawan, puisi akan bermakna dan berkualitas ketika sastra
(puisi) yang lahir dari peristiwa kemudian puisi menjadi saksi sosial bahwa
kita memang harus turun ke desa-desa untuk merebut, menjaga dan melestarikan
agar masyarakat desa aman, damai, dan sejahtera. Artinya sastrawan Sumenep
sudah waktunya mengambil nilai-nilai gerakan dan perlawanan misalnya dengan menjadi
Romo Mangun, WS Rendra, Wiji Tukul, Munir, Kuntowijoyo, atau siapa pun, yang
penting kita bukan menjadi penyair yang “merasa” penyair.
Proses
dan tanggung jawab penyair bukan sampai dan berhenti di ruang kata-kata dan
kelihaian membuat diksi-diksi seksi, akan tetapi aksi yang bersih dari ambisi.
Ambisi menjadi penyair, ambisi menjadi budayawan, ambisi menjadi sastrawan,
ambisi menjadi gawat. Bukankah dengan tidak menyebut diri ini siapa, kita sudah
dianggap siapa, yaitu dengan karya, artinya biarkan karya yang berbicara, bukan
pembicara yang mengobral karya.
Sastra
Melawan tidak memiliki visi dan misi ke sana. Akan tetapi sastra melawan hadir
sekali lagi saya tegaskan bahwa ia hadir untuk mendampingi masyarakat desa,
masyarakat kampung, sebab dari peristiwa pendampingan inilah puisi peristiwa
lahir menjadi puisi, menjadi cerpen, menjadi esai bahkan menjadi novel, untuk
menyuarakan jerit, luka dan duka masyarakat yang tanahnya kita terjepit seperi
di Andulang, dan Toabang misalnya.
“Kaule
oreng buduh lakar pak, tape kaule pasrah” beginilah puisi orang-orang
kampung yang hanya memiliki keberanian. Mereka berani tanpa pengetahuan, maka
di sinilah pentingnya kita hadir di tengah-tengah warga untuk memberikan pemahaman
dan pengalaman. Kalau tidak berpendidikan saja berani, bagaimana dengan orang
yang berpendidikan? Saya orang sarjana pak, tapi saya takut inilah puisi
orang-orang yang bertitle bahkan pendidikan dijadikan alat untuk membodoh-bodohi
masyarakat.
Penyair
harus turun gunung berjalan ke kampung-kampung, menemui para petani jagung,
petani kacang tanah atau kacang panjang, warga yang hanya hidup dari hasil
tani, bermain dengan anak-anak yang tidak pernah makan mie instan, menemui air
yang jernih, pohon-pohon hijau, udara yang segar, kehidupan yang damai. Rupanya
orang asing iri pada masyarakat kampung yang damai, air dan udara yang bersih,
kehidupan yang sejahtera, bangunan kedamaian warga seperti inilah yang akan
diaduh, apakah penyair akan diam?
Dimanakah
diksi-diksi puisimu? Dimanakah identitas penyairmu? Dimanakah identitas
sarjanamu? Dimanakah identitas ulama-mu? Maka penting hari ini kita menguatkan
identitas sosial, dengan dalil jujur kepada masyarakat, jujur dalam berpuisi,
jujur dalam beraksi dan jujur dalam melawan ketidakadilan, jujur dalam melawan
penyimpangan. Semoga sastra melawan berjalan jujur, dan berkah.
Berhentilah
mencari diksi jika kita takut ber-aksi. Berhentilah menulis puisi, jika kita
takut dasi. Salam sastra melawan!!!
.
Komentar