Islam Nusantara: Investasi Islam Kedamaian


Islam dan perdamaian selalu menjadi momok yang menggerakan pemikir dan tokoh Indonesia maupun dunia. Maka dalam esai ini saya ingin mencoba memaparkan Islam Nusantara ketika harus mendidirikan pesantren-pesantren di Nusantara, sebab bagaimana pun para penyebar agama Islam khususnya di Nusantara berasal dari para ulama dan kerajaan Islam Nusantara. Di sini penting kemudian kita mencoba membaca teks-teks asli bahasa Jawa yang di tulis oleh orang-orang kerajaan dalam menyebarkan ajarannya ke masyarakat.  
Kedua saya ingin mencoba ingin membedakan Islam sebagai agama dan Islam sebagai Ilmu yang dalam hal ini pernah dilepaskan oleh Kuntowijoyo, namun saya penting untuk me-refresh kembali untuk merangsang pikiran kita bahwa kita bukan lagi para konsumsi produk pengetahuan, akan tetapi memproduksi pengetahuan melalui refleksi-refleksi filosofis.
Tentu kita harus paham apa Islam Nusantara, mengapa harus Islam Nusantara? Saya ingin mencoba menggambarkan sedikit batas wilayah Nusantara, apakah Nusantara identik dengan Islam. Pemahaman kita tentu akan beragam tergantung pada paradigma apa yang kita pakai.
Ketiga saya ingin mencoba membedakan Islam dan pemikiran keislaman, sebab seringkali kita belum mampu membedakan antara Islam dan pemikiran Keislaman, padahal dua hal ini sangat jauh berbeda. Dengan tidak mampu membedakan dua hal ini kita seringkali terjebak pada konservatisme pemahaman yang akhirnya jatuh pada justifikasi kebenaran individu yang menutup pemahaman dari orang lain.  
Terakhir dalam esai ini akan ditutup dengan solusi dan rangsangan bagaimana seharus dan sewajarnya kita menjadi orang Islam Nusantara yang selalu berkaitan dengan kebudayaan lokal yang itu tidak bisa dibantah. Mencoba karena dalam esai ini merupakan refleksi saya dalam melihat fenomena keagamaan dan keberagaman di Nusantara.
A.    Islam Nusantara sebagai Awal Menelusupnya Kedamaian
Perdamaian, seperti halnya pembebasan dari segala macam bentuk penderitaan, adalah hasrat dan dambaan hati setiap manusia. Tetapi perdamaian tidak bisa disederhanakan menjadi sekedar situasi atau kondisi bebas dari konflik. Bebas dari konflik merupakan indikator atau prakondisi bagi perdamaian dan tidak identik dengan perdamaian. Jadi perdamaian jauh lebih luas dan kaya dimensi dan maknanya (Peter Aman; Perdamaian).
Dalam dunia masa kini peperangan (dan kekerasan) adalah peristiwa manusiawi yang tak terhindarkan, kendati semua sadar dan tahu bahwa keduanya itu jahat. Peperangan (dan kekerasan) nampaknya sulit terhindarkan, karena itu pertanyaannya adalah bagaimana merefleksikan syalom (biblis dan teologis) dalam dunia masa kini? (Dwi Rahayu, 2014)
Sejarah mencatat dalam kehidupan umat manusia di dunia ini tidak lepas dari konflik yang diakibatkan oleh politik, ekonomi, agama dan budaya. Konflik agama, politik, budaya dan ekonomi bahkan menjadi fenomena yang terus berulang dan selalu hadir dalam setiap segmen kehidupan manusia dengan segala logika yang menyertainya. Berbagai respon kebudayaan dalam setiap masyarakat melihat fenomena ini sebagai akibat dari berbagai macam tindakan manusia dengan alasan seperti agama, etnis, budaya, dan politik kerap mewarnai munculnya kekerasan. Terlebih agama sebagai faktor yang seringkali mewarnai konflik kekerasan diseluruh dunia.
Ketegangan konflik di tengah masyarakat yang plural memang sering tidak dapat dihindari, hal ini disebabkan oleh adanya benturan kepentingan dan kebutuhan komunikasi antara pihak-pihak yang bertikai. Konflik memang tidak dapat dihindari karena konflik selalu hadir dalam segmen kehidupan manusia dan hingga kapanpun umat manusia tidak dapat pernah terbebas dari konflik, pertengkaran, dan perselisihan. Akar konflik adalah sebuah perbedaan. Perbedaan ras, etnis, kulit, kelas, ekonomi, bahas, budaya, agama, pengetahuan, tingkat iptek, gender, pemahaman, umur merupakan daerah yang sangat subur sebagai cikal bakal dan sekaligus sebagai tempat subur untuk persemaian konflik. Amin Abdullah menegaskan bahwa perbedaan ada secara alamiah karena terbentuk oleh keyakinan (belief) pandangan hidup atau word view. Keyakinan atau belief, lebih-lebih yang dogmatis-ideologis, dibentuk oleh kepentingan-kepentingan untuk mempertahankan diri atau kelompok (survival for the fittest). Dengan begitu maka konflik adalah bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sosial (Amin Abdullah dalam Abdul Mustaqim, Membangun Harmoni Sosial: Dalam Bingkai Kerukunan Umat Beragama, hal. 02).
Tentu kita harus banyak belajar dan membaca para pahlawan dan ulama yang dikader dari pesantren serta tokoh yang peduli pada pesantren. Bangsa kita Indonesia sudah pernah melawan kolonialisme penjajah telah menempuh likuan jalan dan dunia menyaksikan hal itu. Mulai dari perjuangan melalui tembak, tombak sampai perjuangan melawan politik, pendidikan, ekonomi, budaya, dan teknologi. Digalakkannya partai politik dan lembaga pendidikan baik Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Taman Siswa dan pesantren-pesantren.
Berbicara pesantren tentu kita harus paham asbabun nuzul atau konteks dan latar belakangnya. Sebab di tahun 1930-an lembaga pendidikan terus digoncang dan di ganggu penjajah, namun pesantren dan pendidikan seperti Taman Siswa tidak tingggal diam, ia terus bergerak dengan kader-kader dari pesantren untuk “melawan” gangguan tersebut walau pun Sutan Takdir Alisjahbana dengan Pujangga baru-nya dalam polemik kebudayaan memberanikan diri membawa pendidikan ala Barat.
Penting kemudian bagaimana pesantren bergerak dan tokoh-tokoh dalam memperjuangkan kebangsaan dan kebudayaannya seperti Soetomo, Ki Hajar Dewantara, Adinegoro yang memberikan contoh dalam merawat tradisi Indonesia dan bangsa ini. Wajar jika kemudian hari ini mereka menjadi aktor-aktor gerakan kebangsaan dan nasionalis yang sampai hari ini seharusnya terus dijaga dan dirawat sebagai substansi nilai dari tradisi lokal Indonesia sebagai inspirasi bagi generasi muda. Bangsa ini tidak akan menjadi apa-apa tanpa ada dorongan dari tokoh nasionalis yang terus berjuang mempertahankan NKRI yang sampai hari ini terus digoncang dengan isu-isu ideologi dan aliran-aliran baru.  
Hal ini penting untuk kita pertegas kembali, kalau Jepang bangkit melawan Barat dengan merawat kebudayaan. Padahal kita mengetahui bahwa kebudayaan merupakan kekuatan dan fondasi epistemologi dalam memperkuat kebangsaan dan kenegaraan kita. India misalnya juga menggalakkan peradaban kultural untuk memperkuat bangsanya seperti yang dicontohkan tokoh Mahatma Gandhi (Ahmad Baso, Pesantren Studies, 2a).
Dari tokoh dan ulama penting kita membangun etika perdamaian demi hidup yang terus berdampingan tanpa perselisihan dan pertengkaran. Padahal kita sendiri mengetahui bahwa kedamaian ada sebelum Indonesia merdeka, sayangnya kedamaian tidak dikembangkan dalam khazanah kepesantrenan, keIndonesiaan dan kebudayaan, seperti tertelan lumpur lapindo. Padahal kalau kita kaji makna kedamaian (sholhu) luar biasa maknanya. Kedamaian begitu pentingnya untuk didalami, apalagi ketika dihubungkan dengan Islam di Nusantara dan Negara kita yang masih penuh dengan konflik dan bom yang seringkali bersumber dari penafsiran yang sempit atau jumud. Hidup berdamai merupakan sebuah pohon yang berbuah.
Islam Nusantara lahir padadasarnya bertujuan menciptakan perdamaian. Cita-cita dan tujuan ini harus kita kuak kembali agar dialog antar manusianya dan budayanya tidak hanya saling menyalahkan satu sama lain. Dialog perdamaian ini diharapkan mampu menciptakan masyarakat yang beradab, bersaudara, damai dan harmoni. Islam sebagai cara hidup masyarakat seharusnya menjadi jembatan yang baik untuk menciptakan masyarakat Nusantara berdamai. Islam tentu tidak boleh dipolitiskan. Islam harus menjadi motor dan promoter hidup yang beretika, bersaudara, harmoni. Hal inilah yang diperjuangkan tokoh-tokoh Islam Nusantara dan sekaligus tantangan bagi kehidupan kita selanjutnya dan membutuhkan sikap kritis.
Salah satu dari sekian banyak yang mesti dilakukan oleh generasi Islam Nusantara di zaman ini ialah tetap menjadi harmoni keislaman, dikuatkannya ide-ide segar, dan gerakan multikulturalisme-dialogis, yang memiliki perhatian khusus akan laju perjalanan Islam Nusantara dengan segala aspeknya. Islam Nusantara harus dikembangkan sebagai penjaga gawang kebudayaan dan berdialog dengan budaya orang lain dengan tidak meninggalkan budaya kita sendiri sebagai basis Islam Nusantara. Sehingga Islam Nusantara ini akan menjadi surga di bumi bagi umat Islam dan non-Islam. Mungkinkah hal itu? Semua tergantung dari kehendak dan kemauan umat Islam yang inklusif dalam menatap nilai-nilai keislaman yang selama ini dikembangkan oleh walisongo, nasionalis, ulama dan pesantren.
Islam Nusantara yang didalamnya ada gerakan pesantren. Pesantren yang memiliki cita-cita kedamaian, sebab bukan saatnya kita mencontoh Solo yang dewasa ini terjadi 32 konflik agama, ideologi, perbedaan agama, dan keyakinan kekerasan terhadap budaya dan isu moralitas (Draf Naskah Akademik Mekanisme penanganan Kekerasan berbasis agama di kota Surakarta, Agustus 2010.) ini menunjukkan bahwa pemahaman kita akan agama masih jauh dari konsep kemanusiaan (al-insaniyah) yang diusung Islam itu sendiri.
Islam Nusantara hadir salah satunya untuk memberikan solusi agar terbangun kehidupan yang damai dalam beragama dan menjalankan kebudayaannya dan pemahamannya masing-masing umat. Di sinilah tanggungjawab kita sebagai bagian dari Islam Nusantara untuk membangun perdamaian (peace building) sebagai substansi atau nilai dari Islam Nusantara. Namun harus kita sadari bahwa konflik itu akan membawa kerugian, ancaman, dan pertanda kegagalan dalam berpikir dan memahami agama.
Kedamaian sebagai nilai dari beragama justeru dihilangkan begitu saja tanpa mempertingkan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam itu sendiri. Buat apa kemudian Islam dianggap agama jika dalam keseharian kita justeru sering mengganngu dan merasa benar sendiri dalam memahami agama?.
Horace M. Kalle mengidentifikasi agama Islam ini dengan empat ciri pertama mereka memperjuangkan Islam secara kaffah (totalitas) yakni Islam sebagai Negara, dasar Negara, Islam dijadikan sistem politik, biasanya pemahaman Islam seperti ini menolak demokrasi karena dianggap bukan ajaran Islam. Kedua ada yang melaksanakan keislamannya yang berorientasi pada masa lalu, masa dimana Nabi masih hidup, sahabat dan tabi’en. Ketiga mereka tidak suka Barat dengan segala produk keilmuan dan peradabannya, sekularisasi dan modernisasi misalnya (Khamami Zada; Islam Radikal; Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia).
Dengan kembali pada nilai-nilai universal Islam Nusantara, maka sangat mungkin perdamaian akan menjadi keseharian umat Islam di Nusantara. Tentu dengan bekal pengetahuan dan keilmuan yang inklusif dengan tidak mengesampingkan ilmu-ilmu yang lain seperti teologi, sosiologi, filsafat, antropologi, dan ilmu-ilmu yang lain, sehingga menumbuhkan dialog keilmuan yang berkesinambungan.
  
B.     Islam sebagai Keseharian Beradab
Membangun Islam yang beradab demi kehidupan yang damai merupakan bagian yang cukup sulit dilihat dari umat Islam hari ini. Istilah keseharian yang beradab sudah muncul sebelum negara Indonesia merdeka. Istilah ini tidak dikembangkan dalam khasanah ilmu agama Islam, seperti tenggelam tergerus ombak, padahal istilah ini kaya dan luar biasa jangkauannya jika kita membaca lebih dalam nilai-nilai universal dari Islam itu sendiri. Kehidupan Islam yang beradab sangatlah penting untuk didalami, apalagi kalau dihubungkan dengan realitas negara kita yang penuh dengan konflik, yang sering kali bersumber dari penafsiran agama yang sempit atau jumud. Hidup berislam yang beradab mengarahkan untuk mencapai damai yang berkesinambungan.
Sebagai contoh Teppak bahasa Madura, bahasa Indonesianya mungkin sama dengan Benar atau tepat, tapi Teppak tidak pas kalau diartikan ‘benar’ atau ‘tepat’, sebab kata Teppak berkaitan dengan tengka/ adat/ tradisi/ ahlak/ moral/ etika. Misal, kalau ada orang tak teppak (salah), maka orang tersebut memiliki cap tidak baik ahlak, dan tengka-nya, sebab konsep teppak bagi masyarakat Madura merupakan ruang dimana di dalamnya ada tengka, kepemimpinan, ke-Kiai-an, guru, dan tokoh masyarakat.
Meskipun ada seorang Kiai, guru dan tokoh masyarakat yang hidup di tengah-tengah masyarakat, entah itu pengasuh pesantren, namun Kiai atau guru itu tidak teppak, maka bagi masyarakat identitas Kiai dan guru hanya sebatas title, namun title itu kosong keseharian masyarakat, walau pun seringkali masyarakat tidak berani menegur Kiai karena ke-Kiai-annya, namun masyarakat menyadari bahwa Kiai dan guru itu tak teppak.
Dhina maske benni katoronan kiai/raja, tape daddi oreng teppak (tidak masalah meskipun bukan keturunan Kiai/raja yang penting menjadi orang baik). Ini pernah saya temui di masyarakat ketika ada seorang suami. Si A keturunan Kiai dan si B keturunan orang biasa. Si A di dalam rumah tangga selalu ingin menjadi raja yang hanya memerintah, tidak mau bekerja, hanya santai merokok, namun rokoh harus ada, kopi harus ada, sementara isterinya bendring dan menagih para penghutang ke rumah-rumah sambil membawa barang dagangan. Si B isterinya bekerja ke sawah, dan suaminya menjadi tukang bangunan. Maka dalam hal ini yang menjadi orang teppak adalah si B yang sama-sama bekerja isteri dan suami.
Si A sebagai keturunan Kiai, merasa dirinya pemimpin sebagaimana dijelaskan bahwa “laki-laki adalah pemimpin” sehingga untuk menyentuh barang dagangan pun tidak mau. Padahal sebagai seorang pemimpin, dia harus bijaksana (hikmah/philoshopia) dalam menjalankan roda kepemimpinan keluarga, baik urusan materi maupun non-materi. Si A karena merasa Kiai, mengatakan bahwa shalat menggunakan pengeras suara hukumnya haram, membeli buah yang masih di pohonya haram tanpa mempertimbangkan kontekstualisasi (azbabun nuzul/azbabul wurud) mengapa harus memiliki hokum haram?
Masyarakat tidak melihat bentuk dari seseorang entah orang tersebut memakai kopyah/songkok putih, sorban, baju putih dan bentuk-bentuk lain, namun tengka-nya maka orang tersebut tetap memiliki predikat orang tak teppak. Sebab Abu Jahal juga memakai jubah, jengkotan, memakai sorban, kopyah putih, namun tengka-nya tidak benar bahkan memusuhi Nabi, apakah songkok putih, sorban dan lainnya masih akan bertahan menjadi pertanda bahwa orang yang  berpakaian putih, bersorban, berkopyah putih adalah orang baik? Pikirkan sendiri yach… Maka, wajar jika konsep Teppak digunakan orang Madura untuk membaca kemanusiaan manusia.  
Contoh di atas menunjukkan bahwa membangun hidup berislam yang beradab merupakan suatu tantangan yang cukup berat di jaman sekarang ini, di tengah-tengah anak muda yang linglung dan melempem dalam membaca dan belajar, apalagi di manja oleh orang tuanya, bagaimana mungkin agar hidup bermasyarakat pun semakin beradab?. Dengan demikian mungkinkah damai yang berkesinambungan pun akan terlaksana secara tenteram dan harmonis?
Kehidupan berislam yang beradab merupakan kehidupan yang dicita-citakan sejak Islam dibawa oleh Nabi Adam sampai Nabi Muahmmad  SAW. Sehingga gagasan ini pernah di bawa oleh Ir. Soekarno, yang sungguh original, kehidupan berislam haruslah menjadi kehidupan yang beradab, beretika, bermoral. Wajar jika Ir. Soekarno menyatakan di Dasar Negara Indonesia di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, 1 Juni 1945 bahwa “Marilah kita semua ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada 'egoisme agama'. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan. Marilah kita amalkan, jalankan amal, baik Islam maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara keadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain. Nabi Muhammad s.a.w telah memberi bukti yang cukup tentang verdaagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun menunjukkan verdaagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah ke-Tuhanan yang berkebudayaan, Ke-Tuhanan yang berbudi pekerti yang luhur. Ke-Tuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia merdeka berazaskan  ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Wajah Islam Nusantara dari sejak masa kerajaan sampai proklamasi sampai saat ini menunjukkan keadaban yang luhur, tetapi di dalam prakteknya, masih diliputi dan juah hidup berislam yang penuh dengan adab/moral/etika dan bahkan dapat dikatakan berislam yang masih biadab. Kita dapat menyaksikan betapa banyaknya rumah ibadat, yang dibakar, dirobohkan dan dihancurkan, adanya konflik antar atau bahkan antar agama yang memakan korban jiwa manusia. Suatu realitas dan tatanan yang mengerikan, terkadang berbagai kelompok agama menggunakan ajaran agamanya sebagai tindakan provokasi untuk menghancurkan pihak lain, yang tidak seagama dengannya atau seagamana namun tidak sealiran dengannya. Keislaman yang beradab, bebas dari dari tindakan anarkis dan kriminal itu, tetap menghormati orang yang beragama lain atau berbeda aliran, sebagai teman dialog yang selalu harus saling menjaga, hidup rukun dan berdampingan dan bermesraan.
Mencita-citakan hidup berislam yang beradab merupakan suatu pemikiran yang harus dikembangkan dan diwacanakan, sebab di Nusantara khususnya Negara kita hidup beragama itu merupakan masalah hidup kemasyarakatan yang menyangkut kemanusiaan. Berislam seharusnya menjadi saluran pewahyuan Tuhan, banyak tempat-tempat malah dijadikan sebagai sarana kejahatan (anarkis) terhadap orang lain. Banyak penganut Islam mayoritas tetap takut akan berkurangnya anggotanya, karena murtad ke agama lain, dan juga takut akan bertumbuhnya agama-agama minoritas. Sebab dalam kenyataannya mayoritaslah, keputusan politik diambil. Dengan demikian bagaimana mungkin menghidupkan keberislaman yang beradab tidak diskriminatif dalam hidup beragama? Selama masih berkecamuk diskriminasi dalam hidup berislam atau beragama, tidaklah dapat dikatakan bahwa di Nusantara ini sudah beradab. Dalam hal ini nilai spiritualitas agama belumlah membudaya, tetapi malah dikhianatinya dan menjadi tanda Tanya besar. Untuk itu perlulah suatu tindakan membudayakan nilai-nilai universal keberislaman, agar hidup bermasyarakat dan beragama beradab. Ini terjadi karena diakibatkan oleh keringnya kesadaran pemikiran Islam yang selama ini diperjuangkan pemikir Islam Nusantara dan dunia seperti yang akan dipaparkan berikutnya. Apa salahnya kita belajar pada Kuntowijoyo, belajar pada Pram, belajar pada Cak Nun, Cak Nur, Cak Lontong, Cak Kus, dan lainnya.   
C.    Keringnya Kesadaran akan pemikiran Islam
Saya pernah menulis puisi di Yogyakarta pada tahun 2010 yang menggambarkan bahwa seseorang di zaman sekarang sungguh sulit untuk mengeluarkan kesadarannya dalam hidupnya, karena dihantui rasa takut miskin, rasa takut tidak bisa membeli rumah dan mobil. Setiap kita memiliki hati dan pikiran namun hati dan pikiran seringkali tidak digunakan untuk membaca ayat-ayat kauniyah dan qualiyah sehingga mengakibatkan pada pemahaman yang sempit dan dangkal, Sakitnya Melahirkan Kesadaran;  

Aku berlari di hatimu
Karena takut kata-kataku mengering
Kegersangan, kedangkalan, dan kebingungan

Dipantai ketiadaan
Hidup dari tubuhku yang berwaktu
Walau masa lalu kejam
Kekinianku lebih kejam

Baru sekarang aku kesakitan
Melihat kematian kesadaran

Padahal sadar itu  milikku
Menyadari juga milikku
Mengapa dibiarkan
Tersandung kekinian

Hidupku menjadi sampah
Mati dan terlempar
Aku tak ingin terbunuh oleh diriku

Malam
Tak berdetak melihat di tepi rindu
Kesunyian yang mengitari tradisi
Hidup di ruang waktu
Akan hampa
Jika kita tak mampu memberi roh pada mereka

Selintas judul di atas remeh, tak mutu, tapi tak salah kita mencoba membaca dan berpikir radik, sehingga menemukan apa makna dari puisi di atas. Dan kita refleksikan bersama, sharing, diskusi bersama, untuk menyatukan kata-kata itu menjadi kehidupan dialogis, agar apa yang diharapkan oleh Islam Nusantara menjadi kenyataan (terealisasi).    
Perjalanan sejarah dan ilmu pengetahuan akhir-akhir ini  menjadi angin yang selalu di serap dan dikeluarkan, tanpa ada unsur refleksivitas kritis di dalamnya. Ilmu pengetahuan, informasi, globalisasi, kapitalisme, modernisasi, budaya asing, hedonisme, dan gaya hidup, dengan sadar semua di serap dan di rekam oleh kita bahkan dijadikan keseharian.
Dalam hal ini, kita membutuhkan refleksi kritis terhadap data yang di serap. Refleksi dalam hal ini kita menyadari bahwa itu data mentah yang harus dibaca lebih lanjut dan lebih mendalam. Menyadari yaitu melakukan tranformasi, eksplorasi, implementasi, realisasi terhadap data yang  kita serap dari keseharian. Menyadari merupakan aktivitas, keselaluan dalam melaksanakan hasil serapan itu. Menyadari sebuah ruang dimana kita selalu aktif-progresif. Jadi menyadari dalam ini kita di tuntut untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan sebagai ladang kita untuk menciptakan menyadari itu sendiri.
Menyadari merupakan hasil atau buah yang sudah bisa kita makan. Tahu seperti apa rasanya. Manis, pahit, kecut. Jadi kita akan tahu apa yang kita serap dalam keseharian melalui menyadari-nya kita terhadap sesuatu yang kita serap selama ini. Sebab kesadaran merupakan pupuk yang menyuburkan pengetahuan, agar pengetahuan yang kita dapatkan tidak kering.  
Ambil contoh, Karl Marx, dan Nietzsche yang hanya Sadar menjalani kehidupannya dengan melahirkan banyak teori, banyak buku. Marx melalaikan keluarganya dan Nietzsche yang menderita jiwa. Mengapa mereka seperti itu. Karena mereka hanya Sadar. Jadi beda antara Sadar dan Menyadari. Kalau Sadar kita hanya mampu menyerap. Menyadari lebih pada tindakan. Tindakan kita untuk melakukan sesuatu yang di serap oleh ilmu pengetahuan. Dimakah Kesadaran?
Kesadaran adalah keberulangan menyadari. Sudah menjadi adat, atau tradisi. Misalnya berbuat baik, shalat, zakat, atau perbuatan kita yang di dorong oleh ilmu pengetahuan atau diri kita sendiri selalu berulang-ulang, itulah kesadaran. Buah dari menyadari itu adalah kesadaran. Contoh lain, kita sekolah, kuliah, baca buku, menulis, kalau itu selalu berulang, maka itu buah dari menyadari.
Sadar berbuah menyadari. Menyadari berbuah kesadaran. Karena ketiga terori ini kita akan mampu mengatasi kompleksitas kehidupan, budaya, agama, ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan.
Kita boleh melakukan apa saja, asal ilmu pengetahuan yang kita dapat menyeruh. Misalnya Mencuri, korupsi, membunuh, berzinah, minum minuman memabukkan, dan sebagainya, asalkan ilmu pengetahuan menyuruh berbuat seperti itu. Tapi adakah ilmu pengetahuan yang menyuruh seperti itu? Kalau pun ada ilmu pengetahuan seperti apa?
Koruptor itu Sadar bahwa dia mencuri, bukan uang baik, salah pada hukum, salah pada rakyat, tapi mengapa masih melakukan hal itu? Karena mereka hanya Sadar. Andai saja koruptor Menyadari, dia tidak akan akan melakukan hal yang di larang hukum.
Tidak menyadari berarti kita terlalu tekstual memahami agama. Padahal agama ada di tengah-tengah masyarakat, dilakukan masyarakat, tapi mengapa agama jauh dari kebutuhan masyarakat? Seharusnya agama mampu menjawab semua problem masyarakat. Inilah akibat dari keringnya kesadaran akan pemikiran Islam. Islam harus dipahami sebagai pengetahuan di samping sebagai tauhid, akan tetapi tauhid pun harus termanifestasi dalam kehidupan masyarakat.
Mengapa sampai hari ini Islam Nusantara masih belum jelas identitas pemikirannya? Salah satu penyebabnya karena keringnya metodologi pemikiran (manhajul fikr). Artinya Islam Nusantara yang notabeni berakulturasi dengan tradisi lokal justeru kita harus lebih progress menelaah agar tidak ketinggalan zaman atau pemikiran Islam yang kadaluarsa.

D.    Semampu Apakah Kita Membaca Islam Nusantara
Islam Nusantara tentu mengandung perbedaan pandangan yang tidak mesti difonis hitam putih. Keberagaman carapandang masyarakat Islam Nusantara tidak mesti berada di jalur sesat, sebab keberagaman pemikiran masyarakat Islam Nusantara berada di bentang keluasan pemikiran Islam itu sendiri.
Yang namanya al-Qur’an dan Hadist selalu mampu menggerakan pikiran dan jiwa masyarakat. Bahwa al-Qur’an ikut memproduksi budaya baru itu memang kata Amin Abdullah (2004). Maka kalau ada al-Qur’an tidak mampu memberikan nilai-nilai baru yang mampu menggerakkan masyarakat, perlu dipertanyakan masyarakat yang mengaku dirinya menggunakan al-Qur’an sebagai kitab sucinya.
Mengapa? Turunnya al-Qur’an jelas selalu berkaitan dengan kontesknya (asbabunnuzul), artinya Islam yang dibangun oleh Nabi Muhammad tidak kemudian berkoar-koar “ini haram, ini dosa,” tidak, Islam dibawa dengan tangan lembut, pemikiran kritis. Tidak main-main al-Qur’an diturunkan. Artinya al-Qur’an tidak akan pernah lepas dari konteks kesejarahan yang didalamnya ada sisi sosialitas, budaya, ekonomi maupun politik.
Setiap waktu masyarakat terus berubah seiring dengan perubahan itu sendiri, maka al-Qur’an secara kontekstual juga harus mampu menjaga nilai-nilai tradisi yang ada di dalam masyarakat. Artinya kita juga harus mempertimbangkan pemahaman orang lain (qira’ah al-muntijah). Membaca Islam Nusantara tentu kita tidak boleh mengesampingkan budaya, sebab Nusantara sendiri memiliki ribuan budaya yang itu jelas berbeda dan beragam. Lantas bagaimana Islam menghadapi keberagaman budaya? Inilah tanggungjawab Islam Nusantara, agar Islam Nusantara tidak hanya sebuah nama an sich, akan tetapi memiliki pijakan epistemologi yang jelas.
Mampukah kita kemudian membaca secara detil keberagaman pemikiran Islam Nusantara? Bagi saya kita mampu, tapi dengan catatan kita harus bisa berdialektika dengan pemahaman orang lain meskipun itu beda agama dan beda pemahaman, sehingga tercipta peradaban Nusantara yang saling sapa, saling hormat menghormati. Peradaban Nusantara di sini adalah ahklak baru yang bertujuan saling dialog budaya satu daerah dengan daerah lain.
  








Diri Peserta
Matroni Muserang, pengurus Lesbumi Majelas Wakil Cabang Nadhlatul Ulama Kecamatan Gapura (MWC NU GAPURA),


Komentar

Assalamu'alaikum wr WB.
Maaf kami dari santri pp. Al Masyhad mambaul falah wali Sampang pekalongan. Sebelumnya mautanya untuk mendapatkan buku itu dimana ya? Karna sudah saya cari di berbagai toko online tidak ada. Matursuwun🙏
Buku Islam Nusantara Inspirasi Peradaban Dunia.
Ladang Sunyi mengatakan…
buku ini memang tidak dijual secara komersil, harus pesan ke PBNU

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani