17 Agustus
Oleh: Matroni Musèrang*
17 Agustus dicatat
sebagai hari raya kemerdekaan Indonesia, terlepas dari perdebatan tanggal dan
bulan kemerdekaan. 17 Agustus seringkali identik dengan berdenyutnya
umbul-umbul bendera merah putih yang diikuti bendera instansi lain di
sampingnya, libur nasional (sekolah libur, instansi libur, dan sebagainya), upacara,
setalah itu selesai perayaan kemerdekaan.
Karena di
tandai dengan libur nasional agar kita total merayakan kemerdekaan, namun
nyatanya hari libur 17 Agustus justeru diisi oleh siswa/i dengan main, mancing,
dan lainnya, mereka anak-anak muda tidak mengerti bahwa 17 Agustus merupakan
hari yang bersejarah, penuh makna filosofis, dan pejuang-pejuangnya pun sangat
gagah, namun siswa/i tidak mengerti hal itu, maka seharusnya 17 Agustus di isi
dengan refleksi para pahlawan bangsa.
Dengan refleksi
pahlawan bangsa anak-anak muda akan mengambil spirit untuk memperjuangkan
negara ini sebagai negara yang dibangun di atas ijtihat kemanusiaan, negara
merdeka karena memperjuangkan kemanusiaan, memperjuangkan hak-hak rakyat,
memperjuangkan kemiskinan, memperjuangkan manusia Indonesia harus merdeka.
Merdeka dalam artian tidak menjadi “penipu” dalam memperjuangkan keutuhan NKRI.
Di tengah-tengah
hangatnya para korupsi, dan penuhnya kepentingan individu untuk mencapai puncak
kekuasaan, kasus Narkoba, pembunuhan, pelecehan seksual, 17 Agustus menjadi perangsang
kesadaran mental dan pikiran kita untuk membaca kembali sejarah kemerdekaan
sebagai cermin besar bagi kita sebagai penerus bangsa ini, akankah sejarah
luka, duka dan ketidakmenentuan akan terulang kembali di zaman kita nanti?
Tentu kita akan
menjawab “tidak”, namun jawaban ini hanya akan menjadi jawaban kosong bila
mental spiritual dan cara berpikir kita hanya “ritual atau merayakan an sich”
tanpa ada upaya membaca kemerdekaan lebih dalam, baik dari sisi sejarah, makna
filosofinya, para pejuangnya, dan semangat apa yang mendorong pejuang bangsa
ini harus memerdekaan bangsa?
Akhir-akhir
kita 17 Agustus sebatas ritual, tanpa ada upaya untuk membaca lebih dalam makna
kemerdekaan. Tidak ada teguran mental dalam diri kita untuk memperbaiki bangsa
ini, para pemimpin pun sibuk dengan kepentingan masing-masing dan masuknya
orang-orang asing ke negeri ini merupakan pertanda bahwa bangsa kita akan
diselimuti “kemuraman” budaya, anak-anak kita tidak lagi mengenal identitas
keindonesiaan dan kebudayaan sendiri, sebab sudah bercampur aduk, tak menentu,
anak muda lebih suka meniru penampilan pemain sinetron.
Meniru merupakan
karakter manusia tak kreatif, cara berpikirnya dangkal, dan tidak suka membaca.
17 Agustus sebagai momentum untuk refleksi bagi pemuda untuk berubah dari
manusia peniru menjadi menusia yang kreatif, manusia memiliki semangat belajar,
semangat untuk belajar budaya Indonesia, budaya kita sendiri, agar 17 Agustus
tidak hanya menjadi tugu mati.
Momentum 17
Agustus merupakan sarana bagi kita untuk terus ber-refleksi untuk menjaga NKRI.
Memelihara, dan selalu membacanya sebagai kitab kebudayaan yang tiada duanya. Perkenalkanlah
anak-anak kita dengan 17 Agustus, makna kemerdekaan, dan para pejuangnya, dengan
begitu penerus bangsa ini tidak lagi buta sejarah, buta pengetahuan.
17 Agustus menjadi
penegur mental kita untuk belajar menghargai sejarah. Menghargai perbedaan,
menghargai kemanusiaan.
Madura, 8 Agustus 2016
Komentar