Esai ini lahir refleksi kemerdekaan yang diadakan Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama Gapura. Acara yang dikemas dengan semacam seminar yang di isi oleh Dr. Iskandar Zulkarnai, Kiai Halimy dan ibu Raudhatun, esai ini semacam sharing bersama untuk konteks kecamatan Gapura dengan satu pertanyaan “apakah masyarakat Gapura sudah Merdeka?, ada kemungkinan pertanyaan ini di daerah lain. Apakah Gapura sudah merdeka secara ekonomi? Di Gapura ada enam (6) swalayan, dua swalayan Nusa Umat yang disingkat NU, ada Migi Mart, el-Maimon, Basmalah, dan Indormart. Di Gapura ada dua NU yang pertama BMT NU (Nusa Ummat) yang berideologi Kapitalis (Marx) dan kedua NU (Nahdlatul Ulama) yang ideologinya keummatan, kebangsaan, keagamaan, kerakyatan. Dua NU ini sama-sama kuat, meskipun faktanya justeru Nuansa Umat (NU) yang lebih “kuat” Nadhlatul Ulama (NU) itu sendiri. Pertanyaanya adalah apakah dengan enam swalayan dan BMT Pusat Nuansa umat (NU) perekonomean masyarakat Gapura lebih baik? Hal perekonomea
Oleh: Matroni el-Moezany* Selintas judul di atas remeh, tak mutu, tapi tak salah kita mencoba membaca dan berpikir radik, sehingga menemukan apa makna dari ke tiga kata di atas. Dan kita refleksikan bersama, sharing, diskusi bersama, untuk menyatukan kata-kata itu menjadi kehidupan, agar apa yang diharapkan oleh ketiga kata di atas menjadi kenyataan. Perjalanan sejarah dan ilmu pengetahuan akhir-akhir ini menjadi angin yang selalu di serap dan di keluarkan, tanpa di ada unsur refleksivikasi kritis di dalamnya. Ilmu pengetahuan, informasi, globalisasi, kapitalisme, modernisasi, budaya asing, hedonisme, dan gaya hidup, dengan sadar semua di serap dan di rekam oleh kita. Dalam hal ini, kita membutuhkan refleksi kritis terhadap data yang di serap. Menyadari yaitu melakukan tranformasi, eksplorasi, implementasi, realisasi terhadap data yang kita serap dari keseharian. Menyadari merupakan aktivitas, keselaluan dalam melaksanakan hasil serapan itu. Menyadari sebuah ruang dimana kita
Oleh: Matroni Muserang* Indonesia yang semua penduduknya bergantung pada pertanian atau kehidupan orang-orang yang ada didalamnya pun bergantung pada pertanian. Dan Indonesia mengklaim sebagai negara agraris, sebuah negara yang perutnya bergantung pada sector pertanian. Tapi akhir ini justeru petani “dipermainkan” mulai dari pupuk misalnya belum lagi ada tren penurunan produksi pagi (baca jawa pos, Ancaman Bernama Ketahanan Pangan, 16/03/2023,hal.4). Tapi tulisan ini bukan mau menanggapi berita itu, tapi kita sampai sekarang belum menyadari bahwa krisis lingkungan sudah berada di titik puncak yang mengerikan. Tulisan akan memberikan data-data penelitian yang dilakukan agama Kristen, mengapa tidak agama Islam padahal saya orang Islam, karena Islam belum respek terkait dengan isu lingkungan sementara Kristen sudah sejak tahun lama peduli dengan isu lingkungan, misalnya 2.400 pendeta dan 1.600 anggota jemaat dari gereja-gereja di Amerika Serikat. Hal ini kelanjutkan dari isu yan
Komentar