Memudarnya Sastrawan Publik

Oleh: Matroni Muserang
         ______________________
 
            Indonesia pada umumnya dan Yogyakarta khususnya, akhir-akhir ini, bukanlah tempat yang adem, nyaman untuk membaca WS. Rendra, Pramodya Ananta Toer, Chairil Anwar, Wiji Tukul, Sitor Situmorang, Umbu Landu Paranggi, Umar Kayam, Romo Mangun dan Kuntowojoyo. Meskipun kepenyairannya cukup dikenal dan beberapa sajaknya menjadi wacana dan didiskusikan di kampus-kampus dan komunitas-komunitas, namun terasa jauh jarak antara diskusi dan aksi, keterkenalan mereka dalam berproses, menciptakan sejarah sastra Indonesia dan apa yang sudah dan mungkin bisa kita kembangkan darinya Yogyakarta secara khusus dan Indonesia secara umum.
Kita boleh mencela, mengkritik, bahkan membenci sajak-sajak mereka (WS. Rendra, Pramodya Ananta Toer, Chairil Anwar, Wiji Tukul, Umbu Landu Paranggi, Umar Kayam, Romo Mangun dan Kuntowojoyo). Tapi rasanya banyak orang suka dengan berbagai acara sastra, diskusi sastra, seminar sastra dan banyak orang suka pada sisi mereka sebagai manusia yang bebas mengekspresikan imajinasinya dan gairah kreativitasnya, seolah-olah hidup tak beraturan. Namun kita mengelu-elukan dengan memperingati dan selalu menyebut mereka sebagai sastrawan, meskipun belum tentu kita mau atau mampu, mengikuti jejaknya karena darinya kita berharap bahwa kran kepentingan sosial-kemasyarakatan dan kepentingan publik bisa terus dibela dan diperjuangkan.
Mereka adalah pemikir, ilmuwan dan sastrawan publik dengan santun memancing pikiran dan imajinasi kita, yang seolah-olah merongrong kemapanan dan realisme-strukturalisme bukanlah filsafat yang disukainya. Mereka semacam bintang film dengan senjata pemikiran, dan ketajaman kata-kata yang darinya kita berharap apa yang tak dipikirkan dari kelompok kepentingan dan partai politik dan kita berharap kepada mereka apa yang tak mungkin menjadi mungkin. Dari orang seperti mereka, kita bisa berharap muncul keberanian-keberanian sikap dan kesediaan untuk menjadi teman, menjadi speaker kebenaran dengan segala ongkos, termasuk hidup “kaya pengetahuan” dan di usir dari panggung kepahlawanan.
Sosok mereka yang matang dan sekaligus berani, terkadang diromantismekan oleh pemuda. Secara sosial-spikologis mereka lah kelompok yang paling mungkin untuk hidup bohemian. Pemuda yang merasa bebas dari nasehat orang tua, pemuda yang tidak memiliki tanggungjawab mencari nafkah untuk menghidupi keluarga sendiri. Romantisme seperti yang pernah digambarkan oleh Ben Aderson tentang revolusi pemuda pada tahun 1972.
Untuk orang-orang seperti mereka itu, Yogyakarta secara khusus dan Indonesia secara umum hari ini bukanlah kota yang ramah. Sebab hari ini yang dinomersatukan di sini sekarang adalah “kuliah cari ijasah-karir” dan “profesionalisme”. Dan dua kata ini seperti mantra suci yang harus di zikirkan setiap malam dan siang hari untuk mengumpulkan sebanyak mungkin uang dari keahlian teknis yang maknanya semakin sempit se-sempit-sempitnya. Sesudah itu waktu senggang dihabiskan di tempat wisata, di jalan-jalan raya yang semakin macet, dengan dana hidup yang terus mahal, pikiran dan hati didorong terus untuk menjauh dari humaniora, pada novel, puisi, cerpen, pada literatur antropologi, psikologi, sejarah, dan filsafat yang mempertajam kepekaan kita pada manusia, mempertebal rasa gotong royong kita, sesuatu yang diagungkan dalam karya-karya mereka. Ketika waktu kita hilang tanpa makna, sementara kita terus dikejar target, bukankah humaniora makin tampak tak bermaknanya, ini sejalan dengan prediksi yang pernah dilontarkan Jurgen Habermas?
Maka tidak nyaman membaca karya mereka hari ini, sementara mereka lebih mengedepankan manusia dan kemanusiaan, Indonesia menuntut agar kita lebih rela tunduk pada orang asing, dan lebih individualistik-pragmatis-materialistik. Saya tak bisa membayangkan bagaimana seandainya WS. Rendra, Pramodya Ananta Toer, Chairil Anwar, Wiji Tukul, Romo Mangun dan Kuntowojoyo masih ada di tengah-tengah tungganglanggangnya Indonesia, mungkin mereka akan lebih sering difitnah dan dikafirkan bahkan dimusuhi, mungkin tidak ada keberanian untuk menciptakan teori sendiri dan berjuang atas nama rakyat yang sebenarnya, sebab karya-karyanya tidak dimaknai dan direnungkan dengan serius, dan saya ragu apakah Romo Mangun masih mau bersama rakyat di Yogyakarta, apakah Pram masih bisa membuat karya sehebat karya-karyanya terdahulu, apakah Umbu masih layak di sebut presiden penyair, sementara ada penyair yang menyebut dirinya presiden penyair, apakah Kuntowijoyo akan marah-marah lagi karena kita hanya mengkonsumsi teori-teori orang lain, apakah Wiji Tukul akan melawan ketidakadilan dan koruptor, apakah Rendra akan mengkritik habis para birokrat sementara birokrat santai saja, apakah Chairil Anwar akan mencuri buku lagi untuk proses kreativitasnya, apakah Sitor Situmorang akan memberikan pemahaman para politisi yang kini suka berdebat di tv-tv?
Merenungkan mereka di Indonesia atau di Yogyakarta hari ini, teringat akan judul esai ini “memudarnya sastrawan publik” sastrawan/penyair kita hari ini dan orang-orang yang mengaku sastrawan.penyair belakangan ini mayoritas sudah tidak mau lagi hidup sebagai bohemian, menghabiskan waktu senggang untuk berdiskusi, berdialektika, berpikir serius tentang hubungan antara berbagai disiplin keilmuan dan menulis, membaca tentang berbagai problem sosial dan public yang bisa dibaca oleh kalangan terdidik, untuk menyadarkan, mencerahkan dan berdialog dengan mereka.
Tiba-tiba kita lebih memilih hidup berisiko di kota-kota, lebih suka untuk hidup lebih teratur dan disiplin, lebih siap nikah, dengan konsep KB, berakhir pekan dengan nonton film di bioskop, nonton televise, nonton bola di stadion, kita jarang di warung-warung atau di rumah-rumah sesepuh untuk membahas problem publik dan wajar jika karyanya dicirikan oleh ketidakterbacaannya oleh publik, dan ir-relevansinya dengan keseharian.
Saya selalu iri pada tahun 1980-an dan 1999-an, ketika membaca sejarah kesusastrawan dan kesanstrawanan Indonesia dengan generasi Goenawan Mohamad yang tumbuh subur dengan iringan bacaan yang bermutu, seprti Horison, Budaya djaya yang terbit teratur. Namun saya senang masih bisa membaca buku-buku sosial-humaniora yang dikeluarkan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial (YIIS), seri filsafat Driyarkara, jurnal Filsafat UGM. Yang lebih memprihatinkan penerbitan makin merosot mutunya. Tokoh-tokoh buku lebih PD memajang buku-buku how to dan self help yang seringkali best sellers. Orang-orang masa kini sudah kehabisan daya dan energi untuk membaca karya-karya yang merangsang pemikiran dan menuntut untuk berpikir.
Maka saya memutuskan untuk tidak pergi ke toko buku karena di sana tidak dipajang karya Nietzsche, Kierkegaard, Sartre, Arendt atau Kafka, Pramdya atau Chairil yang menarik untuk dilirik. Saya juga tidak akan ke warung-warung kopi yang bersaingan satu sama lain, selain harga kopi mahal di sana, karena di dalamnya ada para aktivis, politisi dan pengusaha yang mempertukarkan kepentingan demi kepentingan.
Tapi jarak antara mereka dengan kita hari ini bukan saja tampak pada sulitnya sisi bohemiannya, yang menjadikan kesastrawanan/kepenyairannya sebagai sastrawan publik untuk kita refleksikan hari ini. Kesenjangan yang menonjol dapat kita lihat dari apa yang mereka idealkan untuk berbuat secara riil atau tidak dan apa yang secara aktif-aktual kita lakukan.
Apakah sekarang ini yang disebut zaman jahiliyah, zaman dimana perang ideologi, pemikiran tertentu disebar untuk meracuni keilmuan kita. Jangan-jangan kita masih berada dalam posisi tragis, walau pun semangat pemuda berkoar-koar, namun pemuda masih ragu-ragu karena lahir dari ketidaksukaan membaca buku bermutu, pemuda banyak berpegangan pada “lawan”, dan “hidup atau mati”, sehingga pemuda banyak yang hanya hafal nama-nama sastrawan besar yang kemudian dengan PD mengutipnya tanpa tahu maksudnya, sebab bukan hanya namanya yang mampu memperjuangkan kemerdekaan manusia dan vitalitas hidup, tentang kedamaian, cinta, dan kemanusiaan. Apalagi sastrawan hari ini memang bukan tipe orang yang serius, bagaimana mungkin kita akan nyaman membaca karya-karya mereka hari ini?
                                                                                            Madura, 21 Juli 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani