Syaf Anton Wr: Menyebrangi “Langit” Zawawi
Oleh: Matroni Musèrang*
Di tahun 1973
Syaf Anton Wr membuka cakrawala kepenulisannya di bidang seni dan budaya.
Pengembaraannya mulai dari SLTP dan pesantren membuat dirinya harus menulis, lalu
mendirikan Bengkel Seni Primadona;
(1984) mendirikan Sanggar Seni Kembara
(1985) dengan menjabat ketua; tahun 1985 mendirikan Sanggar Sastra Mayang; (1997), mendirikan dan Ketua Forum Bias (Forum kajian sastra dan
budaya) (1994), mengkoordinir seniman dari semua bidang seni, sekaligus sebagai
koordinator Jaringan Seniman Sumenep
(JSS) (1999), dan sejak tanggal 14 Oktober 2001, melalui Musyawarah Budaya,
dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan
Kesenian Sumenep. Sebagai ruang gerak untuk menghidupkan kesenian, dan
sastra Sumenep.
Sekembalinya ke
Sumenep (1981) Syaf Anton Wr melakukan gerakan kesenian ke berbagai
kantong-kantong kesenian Sumenep, ia harus turun ke kampung-kampung, khususnya
wilayah pesantren. “Gerakan ke pesantren” ini dilakukan secara kontinu setiap
hari Jum’at (libur pesantren). Sekitar 20 pesantren, yang besar maupun yang
kecil, dijelajahi dengan melakukan pembinaan kesenian, khususnya sastra dan
memunculkan banyak pelaku seni, baik yang menetap di Sumenep maupun keluar,
seperti Jamal D Rahman, Mahwi Air Tawar, Sofyan RH Zaid. Mulai tahun 1990
bergerak membaca puisi di DKS, BMS dan beberapa tempat di Surabaya, Solo,
Yogyakarta, Jakarta atas inisiatif pribadi maupun undangan.
Bagi penyair
Syaf Anton Wr Pesantren merupakan corong kebudayaan Indonesia, terutama seni
sastra yang bernafaskan agama. Perjuangan yang berdarah-darah lahir dari
kepedulian beliau dalam memperjuangkan sastra, sebab dari keringat dan
perjuangan itulah sastra lahir sebagai bentuk bahasa rasa dan rasa bahasa, kata
Abah Yoyok yang menjelma menjadi puisi. Pengorbanan dana untuk menghidupkan roh
sastra di Sumenep pun tidak sedikit, beliau bahkan menjual emas isterinya untuk
satu ijtihad kebudayaan Sumenep. Belum lagi forum dan komunitas yang beliau
bina dan didirikan sendiri.
Ide puisi Syaf
Anton Wr lahir dari pergolakan spiritualitas-religiusitas-empiris dengan
paradigma budaya. Pesantren sebagai instrumen untuk melahirkan “kegelisahan” keilmuan
religius, dengan berbagai kebudayaan yang ada di dalam pesantren, yang menarik
dari puisi-puisi Syar Anton Wr ini adalah cara pandang beliau dalam
menyampaikan pesan, walau pun diksinya kadang “kurang padat”, akan tetapi ini
bukan kelemahan bagi puisi-puisi Syaf Anton Wr, justeru merupakan bentuk
keberanian dalam memberikan diksi yang cukup ringan dan renyah (tidak absurd).
Religiusitas
itu terlihat banyak dalam antologi puisi ini, misalnya dalam langit suasa,
langit pujangga yang dijadikan judul buku ini;
Angin
telah berhenti berhembus dimataku
Karena
bibir ombak bergincu malam
Dan
engkau diamkan cahaya menderaku
Langit
suasa langit pujangga
Diladang
ombak kau percik berita
“kenapa
aku jadi nista gusti”
Orang-orang
kampong yang dulu mencium tanganku
Kini
mencari maki dan bertanya-tanya
“tuhanmu
telah murka”
Religiusitas
dalam puisi nampak sekali dalam menggambarkan kegelisahan penulis dan objek
yang ia tulis. Menggambarkan dirinya yang hina di hadapan tuhan, sementara
orang-orang mempercayai aku lirik, sementara dirinya sadar bahwa dirinya penuh
dengan dosa. Sebenarnya puisi ini kritik sosial yang ditujukan kepada Kiai,
tokoh masyarakat. Di Sumenep Kiai merupakan gerbong kebenaran, jadi ketika Kiai
berkata merah, maka masyarakat ikut merah, pertanyaan yang kemudian muncul dari
puisi ini adalah mengapa hari ini itu hilang? Ketika Orang-orang kampung
yang dulu mencium tanganku. Sekarang tak. Kata Tardji.
Dulu pesantren
memiliki kebudayaan spiritualitas (baca:sufi) yang sangat kuat, kini “jarang”
kita temukan. Apakah Tuhan telah murka? Ketika kebudayaan pesantren sebagai
basis epistemologi keagamaan dicemari dengan aroma politik, aroma pasar, dan
aroma degradasi etika/moral. Bagaimana peran pesantren yang dulu banyak
melahirkan tokoh-tokoh besar dan hebat? Inilah yang ingin disampaikan dalam
antologi puisi Syaf Anton Wr, walau pun tidak semua dalam antologi puisi ini beraroma
religius, ada puisi cinta, puisi alam dan puisi diri pun puisi laut.
Namun,
tema-tema tersebut tetap dalam perspektif kebudayaan, artinya pesantren sebagai
intrumen untuk mengolah kegelisahan si penyair dalam mengeluarkan diksi-diksi
estetik-puitik. Untuk itulah, ketika membaca antologi puisi ini kita harus
mampu membedakan “pesantren” dan “pemikiran kepesantrenan”.
Syaf Anton Wr dan Puisi
Perkenalan
saya dengan puisi-puisinya Syaf Anton Wr , sebenarnya sejak di Yogyakarta, lantaran
Mahwi Air Tawar suka mengarsip penyair-penyair dari Madura, kebetulan saya
membuka tumpukan kertas tebal diketik manual didalamnya ternyata kumpulan puisi
Syaf Anton Wr. Setelah saya pulang dan menetap di Sumenep barulah saya bertemu
dan banyak sharing pengalaman dengan beliau. Perkenalan saya di awali dari guru
saya Mahwi Air Tawar, kita datang ke rumah Syaf Anton Wr , di situlah awal kita
bertemu dan langsung akrab, karena beliau terbuka kepada siapa pun, sehingga
nyaman kita sharing.
Perjalanan pun
terus berlanjut, sehingga selama lima tahun fakum di dunia sastra, akhirnya dengan
ajakan murid dan teman-temannya Forum Bias pun dihidupkan kembali, beliau turun
gunung untuk bergerak menghidupkan sastra Sumenep kembali. Baru berjalan dua
kali banyak apresiasi dari berbagai kalangan, mulai dari pengamat sastra dan
seni, pelaku seni, pelukis, dosen, politisi, sastrawan, budayawan dan penyair
ikut sharing tentang masa depan kebudayaan Sumenep yang kini mengalami
kegersangan dan kelesuan.
Mahwi Air
Tawar sebagai perantara saya kenal Syaf Anton Wr , di situlah saya tahu bahwa
Syaf Anton Wr seorang tokoh penggerak gerakan sastra Sumenep yang berbeda
dengan gerakan sastra di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Tegal, Semarang. Segera saya
menyadari spirit, kegigihan dan ketekunannya. Ketika progresivitas ini jarang
saya temukan dikalangan ahli sastra di Sumenep bahkan pengajar sastra dan
bahasa. Terlalu banyak dari sahabat saya yang bekerja individualis, curiga
terhadap gerakan dan komunitas yang bergelorah di Sumenep. “buat apa menulis
puisi, mau kemana belajar sastra” Tanya mereka. Akhirnya pelajaran sastra dan
bahasa hanya sebatas formalitas an sich, sehingga tidak sampai pada siswa,
siswi dan mahasiswa/i.
Sebuah Tanya
itulah yang selalu mengganggu saya, selama 10 tahun di Yogyakarta, saya belajar
di komunitas Kutub, kemudian mendirikan komunitas Rudal, aktif di PKKH UGM,
aktif di Tembi budaya Bantul, dan diskusi-diskusi sastra, skemudian saya pulang
ke Sumenep dan bertemu dengan roh gerakan sastra Sumenep. Gerbang kesusastraan
Sumenep adalah Syar Anton Wr yang sejak 1973 berijtihad untuk menghidupkan
kantong-kantong kesusastraan Sumenep. Sumenep di akui menjadi ikon kesusastraan
Jawa Timur sejak tahun 1998 yang ngomong adalah Syaf Anton Wr dan tidak ada
yang protes sampai detik ini, dan Syaf Anton Wr memuat banyak gerakan dengan membaca puisi di
radio-radio, di undang membaca puisi imtihanan pesantren. Walau pun lima tahun
waktu senggang yang dibiarkan begitu saja oleh Syaf Anton Wr , namun beliau
tetap sharing bersama teman-teman di rumah, sehingga pada akhirnya harus
kembali menyuarakan gerakan sastra Sumenep harus kembali dihidupkan.
Kalau pun dulu
Syaf Anton Wr turun ke jalan
kampung-kampung, kini ia turun dari kota ke kota. Akhir-akhir ini beliau ke
Yogyakarta dalam rangka peluncuran antologi puisi Langit Suasa, Langit
Pujangga, kemudian melanjutkan ke Jakarta untuk menemui Jamal D Rahman dengan
tujuan gerakan sastra di Sumenep ke depan. Benar apa yang pernah dikatakan
Sofyan RH Zaid penyair itu ada dua, pertama penyair lapangan dan penyair
langit. Penyair lapangan, ia akan turun ke kampung-kampung ke desa-desa untuk
menemui dan mengetahui apa yang sebenarnya, sementara penyair langit ia banyak
menulis di kamar, membaca buku di kamar, ia menjadi penulis kamar, dan penyair
kamar (bukan penyair kamar yang dimaksud Agus R Sarjono). Syaf Anton Wr adalah penyair yang pertama yang turun lapangan
yang mencari keinginan masyarakat, kebutuhan masyarakat. Baginya sastra bukan
hanya milik kalangan elit, akan tetapi sastra harus dinikmati semua kalangan.
Aku dan Doa
(perjalanan
menuju Surabaya)
Kota lama
mendulang mega mengucur airmata
Dan
bercakap-cakap sambil menguyah matahari
Siang tunduk
dan bergetar
Di jok mobil
yang aku tumpangi
Sarat doa tak
terhingga
Geliat
batu-batu adalah simponi
Menebar
bayang-bayang
Dalam tangis
anakku
Semalam
Rindu
Syaf Anton Wr pertama-tama seorang pengembara. Pengembaraan
itu ia lakukan sejak muda. Seorang pengembara tentu paham makna rumah, makna
perkampungan sebuah tempat atau perkampungan berharga dalam perjalanan menuju
kepulangan. Seorang pengembara selalu diberi pengetahuan oleh pengalaman bahwa
rumah yang ia bangun dengan diksi-diksi indah akan tenteram dalam kesejukan
rohani. Pengembaraan yang dijalani Syaf Anton Wr adalah pengembaraan realitas-sunyi yang ada
dalam semangat rantau budaya orang Madura yang berprinsip abantal ombak,
asapo’ angin (berbantal ombal berselimut angin). Dalam budaya Sumenep
mengembara adalah rumah bagi seorang laki-laki. Di rantaulah tersedianya nafkah
dan kekayaan ada, karena di rantaulah tempat semangat kerja. Demikian pula
dengan Syaf Anton Wr . Rantau atau pengembaraan adalah upaya dan semangat kerja
yang harus dibarengi dengan doa, sebab aku dan doa adalah kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan.
Pengembaraan Syaf
Anton Wr bukanlah pengembaraan untuk
mendapatkan kekayaan material, akan tetapi didasarkan pada disebutkan sebagai biarkan
aku menempa angin, langit jingga bercahaya/ di seruak camar yang datang
berbisik/ Madura adalah ombakmu (sajak “Antara Kalianget-Panarukan”).
Maka mulailah
beliau menjelajahi jantung perkampungan. Hasilnya:
Lihatlah
saudaraku tulang-belulangku remuk
Bintang-bintangku
jatuh di jantung diperkampungan
Tak
berpenghuni
Sajaknya adalah
upaya mencari roh-roh sastra kampung berupa perang antara eksistensi dan
pengembaraan. Kalau D. Zawawi Imran konsisten dengan tradisi kata-kata (tak
bergerak untuk re-generasi), sementara
Chairil Anwar adalah seorang yang memutuskan diri dari kesetiaan kata Agus R
Sarjono, maka Syaf Anton Wr ada di antara keduanya.
Nyaris seluruh
sajak D. Zawawi Imran ditulis dalam estetika dengan rima yang teratur. Dalam
puisi Zawawi memadahkan Perahu Cadik yang bercerita tentang puisi laut,
perahu, alam, perempuan dan Tuhan. Kontruksi sajak-sajaknya rapi, tertib dengan
aku lirik yang menenggelamkan pada keindahan laut Madura, perahu Madura. Air
Terisak Membelah Batu yang menghimpun sajak tahun 1980-an sampai tahun
2014. Walau pun tidak menyuarakan Madura.
Chairil Anwar kata
Agus R Sarjono memutuskan harmoni antara diri dan tradisi. Chairil menempatkan
diri sebagai binatang jalang dari kumpulannya terbuang. Aku lirik dalam
sajak-sajaknya menempati posisi sentral. Chairillah yang menutup pantun Melayu,
buktinya penyair sesudah Chairil Anwar tidak lagi menengok khazanah pantun
sebagai sumber kreativitas.
Syaf Anton Wr berada
di antara dua kutub esktrem tersebut. Kesetiaan membawa re-generasi untuk
membuka inklusivitas khazanah kesusastraan Sumenep yang telah di tutup oleh
individualitas, namun ia tidak pula mau
merenangi dunia yang dihidupi D.Zawawi Imran.
Dalam sebuah
antologi Langit Suasa, Langit Pujangga ini, strukturnya mengikuti sajak
pada zamannya yang banyak memuat pengalaman langsung yang ia tulis, sehingga
estetikanya terjaga, Syaf Anton Wr menggambarkan dirinya sebagai seorang
pengembara yang menyadari makna rumah, berarti ia harus kembali dan membangun
rumah, secara batiniah ia benar-benar kembali ke rumah budaya Madura. Petikan-petikan
akhir sajak “Aku dan Laut” dengan mengharukan menggambarkan situasi ini:
Ada suasana
meradang
Galau yang
biru
Riak yang riuh
Ombak yang
debur
Angin yang
siut
Menjejal-jejal,
menjala-jala dihadapan kita
Hingga labuhku
terperangkap dekapmu
Yang gelisah
Kesetiaan pada
kampung halaman Madura dengan kenyataan bahwa Madura selalu hidup dalam
dirinya, Syaf Anton Wr sang pengembara telah merasa dirinya menjelma menjadi
anak Madura, yang memiliki tanggungjawab besar untuk merawat Madura, menjaga
Madura, dan menjual harkat/syakal kemaduraan.
Namun, dalam
sajak “Aku dan Laut” yang lahir kemudian digambarkan kesan bahwa si anak
pengembara, tidak pernah terhempas oleh kehidupan pengembaraan, sebab akhirnya
ia harus pulang memberikan pengetahuan yang ia dapatkan di pengembaraan agar
roh sastra di Madura, khususnya di Sumenep kembali hidup dan diterima dengan
tangan terbuka oleh tradisinya.
Gerakan
inklusivitas kesusastraan Sumenep yang sudah jarang kita temukan karena
menganggap dirinya sudah menjadi “penyair” dan sudah merasa paham sastra modern
Indonesia itu oleh Syaf Anton Wr dihadirkan dengan didirikan
komunitas-komuntias dan diskusi-diskusi kebudayaan.
Maka datangkanlah
darah moyang kami
kami dahaga
dalam waktu yang tersisa.
Gerakan ini
tidak digunakan untuk membuat dirinya paling berpengaruh, paling paham sastra, akan
tetapi ia ingin menciptakan harmoni alam tradisi Madura untuk menggambarkan
bahwa Sumenep memiliki kekuatan yang cukup besar untuk mengebom Indonesia
dengan sastra. Caranya kita tunggu enam bulan yang akan datang.
Sajak “Tanah
Kelahiran” ini Syaf Anton Wr ingin menujukkan kesetiaannya ada estetika
sastra dan roh sastra Sumenep dengan estetika kampung halaman (lokal though) merupakan
hasil dari pengembaraan dan gerakan ke kampung-kampung. Hal ini juga terjadi
pada sajak “Langit Suasa, Langit Pujangga” yang dijadikan judul buku
ini:
Ketika kulabuh
lautmu
Ketembang
kalam-kalam langit dan bumi
Yang
mengantarkan seorang anak musafir
Dan terdampar
di pusaran waktu
Lalu kau
ajarkan aku bercengkrama walau tanpa kata
“duh gusti,
darah nadiku mengalir deras ke muara”
Posisi budaya Syaf
Anton Wr sebagai penggerak tidak lain adalah posisi antara. Antara harmoni
puisi dan re-generasi sastra. Sebab ia Yang gelisah dengan budaya
Sumenep. Wajar bila aku datang isteriku/ tak aka nada lagi lelah/ sebab
hari-hariku semakin mengenal aku. Sebab kerinduan pengembara bisa diibaratkan
debur samudera yang tidak bisa tenteram di dataran manapun. Syaf Anton Wr dalam
pengembaraanya, puisi merupakan gerakan itu sendiri, sebab ia rela tidak
menulis puisi, asalkan gagasannya bisa tersampaikan kepada orang lain, dan
orang lain menuliskannya, itu sudah lebih dari cukup. Bahkan di suruh berhenti
oleh Zawawi untuk tidak bergerak dan pengembara, diam lalu nulis. Akan tetapi
bagi Syaf Anton Wr itu tidak baik bagi perkembangan sastra Sumenep, bukti nyata
bahwa Zawawi di Sumenep tidak memiliki peran aktif bagi gerakan sastra Sumenep,
ia lebih aktif di luar Madura, kemudian nulis dan melukis. Dengan bahasa lain,
fondasi epistemologi kesusastraannya Zawawi kalah jauh dengan Syaf Anton Wr.
Progresivitas
kesusastraan ini yang membawa Syaf Anton Wr pada situasi dimana Syaf Anton Wr harus
turun ke kampung-kampung yang kemudian mendapatkan semangat sastra ada di sana,
bahkan Sastra Jawa Timur yang menjadi ikonya Sumenep itu pun karena roh-roh
sastra kampung dan pesantren dihidupkan oleh Syaf Anton Wr, sehingga polemik
kebudayaan itu sendiri hidup di dalam satu tubuh.
Hal dominan
dalam persajakan Syaf Anton Wr selain
spiritualitas dan pesantren adalah sajak-sajak pengembaraan, atas alam, suatu
fenomena tertentu, atau sebuah renungan. Dalam kumpulan sajak “Langit Suasa,
Langit Pujangga” Syaf Anton Wr ingin
menunjukkan kepiawaiannya dalam mensajakkan kesan yang mendalam pada pembaca. Sajaknya
“Jadikan Aku” merupakan salah satu sajak yang selalu ada di setiap buku
antologi puisi Jawa Timur dan dibacakan di depan publik, sajak yang sulit
dilupakan dengan intens menyuarakan gambaran akan “diri” “tanah”, dan “sejarah”
dengan padat dan kuat: lihat potongan sajaknya
Jadikan Aku
Aku mencoba
meniadakan kesangsian tapakmu
Tapi jangan
kau Tanya
Mengapa
tubuhku berlumur darah
Lantaran beban
bumi ini makin sarat dan berkarat
Maka jadikan
aku tanah tempat pijakmu
Diksi aku
seringkali digunakan dalam sajak Syaf Anton Wr . Sajak lainnya yang menjadi
judul antologi sajak “Langit Suasa, Langit Pujangga” yang akan saya
kutip sepenuhnya:
Angin telah
berhenti berhembus di mataku
Lantaran bibir
ombak bergincu malam
Dan engkau
diamkan cahaya menderaku
Langit suasa
langit pujangga
Di ladang
ombak kau percik berita
“kenapa aku jadi
nista, gusti”
Orang-orang
kampung yang dulu mencium tanganku
Kini mencaci
maki dan bertanya-tanya
“kenali
tuhanmu”
Sajak ini
menjadi judul antologi puisi Syaf Anton Wr , tentu memiliki alasan tersendiri.
Sebab judul dalam sebuah antologi tunggal akan mewakili semua isi buku. Antologi sajak Syaf Anton Wr ini cukup mewakili sajak-sajak lain, walau pun
dengan paradigma yang beragam. Salah satu sebab mengapa menjadi judul adalah ia
cocok mewakili nilai spiritualitas, nilai re-generasi, dan nilai progresnya. Tidak
mudah untuk “meniadakan angin yang berhembus”, bagaimana mungkin angin
akan berhenti, sementara jalan masih panjang dan gerak sastra masih harus
diperjuangkan. Ini menandakan angin berhenti lantaran Syaf Anton Wr ,
tidak lagi memperdulikan angin yang
dingin yang masuk dalam tubuhnya yang progresnya tinggi. Menjadi pujangga bagi Syaf
Anton Wr sangat mudah, tapi menjadi
“langit pujangga” itulah yang sulit. Kita harus mendera cahaya, pada akhirnya
kita di anggap nista oleh banyak orang,
lantaran apa yang diperjuangkan tidak membawa hasil materi. Tidak membuahkan
bentuk-bentuk dan kekayaan materi. Akhirnya Orang-orang kampung yang dulu
mencium tanganku/ Kini mencaci maki dan bertanya-tanya. Mengapa Syaf Anton
Wr berjalan dari kampung ke kampung,
dari radio ke radio, dari komunitas ke komunitas, dari panggung ke panggung,
dari pesantren ke pesantren untuk memperkenalkan sastra. Kita lihat sajak
berikut:
Ketika kulabuh
lautmu
Ketembang
kalam-kalam langit dan bumi
Yang
mengantarkan seorang anak musafir
Dan terdampar
di pusaran waktu
Lalu kau
ajarkan aku bercengkrama walau tanpa kata
“duh gusti
darah nadiku mengalir keras ke muara”
Dari situasi
ini, terlihat cakrawala pengembaraan imajinasi estetik Syaf Anton Wr pun luas. Meskipun Syaf Anton Wr melanglang buana ke berbagai tempat dengan
beragam budaya dan tradisi sastra, ternyata terdapat kecendrungan kuat pada Syaf
Anton Wr untuk memanfaatkan gaya dan
progresivitas persajakan modern yang telah mapan seperti sajak-sajak Chairil
Anwar. Kecendrungan yang kuat pada ide-ide pengembaraan nampaknya tidak dapat
dipisahkan dari semangat yang menggelora untuk terus bergerak dan bergerak.
Sebagaimana
penyair-penyair Sumenep ketahui, di depan seorang penggerak seperti Syaf Anton
Wr tentu di hadapannya ada sebuah
perkampungan yaitu perkampungan kepastian. Kepastian bahwa sastra Sumenep hidup
dan memiliki masa depan yang gemilang. Sebab ia sudah berlabuh di laut, dengan modal
kalam-kalam langit (Tuhan) dan bumi (semesta). Cakrawala langit sebagai simbol
religiusitas-spiritual dan semesta sebagai simbol rasionalitas, maka dengan
mudal dua pemikiran itulah Syaf Anton Wr bergerak untuk menghidupkan keilmuan sastra
Sumenep. Banyak orang (baca:penyair) yang mengetahui religiusitas dan
rasionalitas, akan tetapi bagi mereka pemikiran ini tidak mampu mereka
aktualisasikan sebagai bentuk gerakan keilmuan, justeru mereka bergerak sendiri
(individualitas), sehingga terpotonglah tali silaturrahmi kebudayaan dan tali
komunitas kesusastraan yang ada di Sumenep. Maka pilihan Syaf Anton Wr pada dua ikon keilmuan sastra merupakan
proforsionalitas sekaligus pegangan bagi seorang penggerak dan pengembara untuk
sanggup menjalani “kekosongan materi” di sepanjang jalan pengembaraan. Persajakan
Syaf Anton Wr yang bergaya modern
membantu pembaca untuk menikmati pengembaraan Syaf Anton Wr dalam menggapai dan memadukan dua harmoni
tersebut. Karena meskipun dua kekuatan keilmuan di pakai untuk memadukan,
akankah dua keilmuan tersebut mampu menghilangan jurang pemisah individualitas
yang begitu dalam?
O, anak ombak
anak musafir yang turun dari jagat raya
Nyalimu
terbang ke bukit bara jemputlah aku, jemput
Selendang
pelangi kan kugerai sebagai jalanmu
Padahal kita
anak ombak, anak pengembara, tapi mengapa individualitas masih menjangkiti
pikiran sastrawan Sumenep? Mengapa demikian? D. Zawawi setenar itu ia berangkat
sendiri. Tidak ada penyair-penyair Sumenep yang dibawa Zawawi atau dididik
secara langsung. Justeru Syaf Anton Wr hidup di Batang-Batang (desa Zawawi tinggal)
yang menghidupkan sastra, komunitas di sekolah-sekolah? Mengapa demikian? Entah
ini karena faktor orang Sumenep yang “ingin di atas” dalam segala hal, tapi
tidak Syaf Anton Wr sesama orang
Sumenep? Lalu apa penyebab lahirnya virus individualistik?
Ataukah karena
nyalimu selalu di bukit, yang selalu semangat, sehingga kalau kita tinggi akan
terlihat banyak orang (terkenal)? Padahal tujuan menulis puisi bukan untuk
terkenal, akan tetapi menulis puisi adalah fatwa kebudayaan. Kalau pada
akhirnya di kenal banyak orang itu akibat dari tulisan itu sendiri. Maka betul
apa yang dikatakan Syaf Anton Wr, bukan penyairnya (penulis) yang dimunculkan,
tapi tulisannya, karyanya dan kreativitasnya. Sementara hari ini yang
dimunculkan ke-penyairan-nya karena sudah merasa mampu menulis puisi dan di
muat dimana-mana, bukan karyanya. Dengan mengetahui makna puisi sebenarnya,
kita akan selalu tenang menggerai jalan, sebab selendang pelangi menjadi jalan
menuju tujuan.
O, ombak anak
musafir
Yang tidur
berbantal kalamullah
Ajari aku
bermimpi dan bercita-cita
Aku penat
mengurai luka dalam doa
Penyair
sebagai anak ombak dan anak musafir yang kemana-mana selalu membawa agama untuk
berfatwa, sehingga pemahaman agama yang ia pahami yang paling benar, pemahaman
agama orang lain “salah”, akibat dari pemahaman inilah yang kemudian
menyebabkan kita jarang berdiskusi karya, sharing karya, sehingga yang menjadi kompetisi
bukanlah kualitas karya, tapi buru-buru ingin menerbitkan antologi. Padahal ia
belum pernah luka dalam memperjuangkan sastra, belum pernah berdarah-darah
berproses menulis sastra.
Ternyata Syaf
Anton Wr belum mampu menyatukan jurang
pemisah, sebab Syaf Anton Wr mengalami
kepenatan mengurai luka-luka yang ia alami ketika turun ke kampung-kampung ke
desa-desa. Terlihat betul bagaimana menaiki motor kuno (pespa) sementara jalan
belum di aspal, dengan dana sendiri. Doa saja tidak cukup untuk memperjuangkan
roh sastra, akan tetapi perjuangan mencari “pahala sastra” dari sastra itu
sendiri tidak mudah, butuh pengorbanan jiwa dan raga serta materi yang tidak
sedikit. Lalu siapa penyair Sumenep yang mampu menelusuri jejak Syaf Anton Wr ?
kita tunggu.
Re-generasi
kepenyairan Sumenep memang ada di tangan penyair-penyair yang
inklusif-progres-spiritualis-rasionalis. Sebab inilah yang akan menciptakan
langit suasa, dan langit pujangga. Bagaimana mungkin kita akan menciptakan jiwa
dan pikiran menjadi suasa, jika tanpa perjuangan dan pengorbanan, dengan
demikian langit pujangga akan di isi oleh penyair-penyair yang kuat, baik dari
segi keilmuan maupun karyanya.
Secara
tematik, sajak-sajak Syaf Anton Wr berkisar antara laut, pemandangan, cinta,
renungan alam dalam himpitan individualitas kepenyairan Madura. Bedakan puisi
dan penyair, inilah Syaf Anton Wr . Syaf Anton Wr sebagai penyair, ia bergerak untuk
menghidupkan sastra dan komunitas Sumenep, sementara sajaknya tidak segarang
perjuangannya dalam menciptakan gerakan sastra Sumenep. Artinya sajaknya lebih
bersifat eksistensial, sementara dirinya sebagai pencipta adalah menerjemahkan
pengalaman eksistensial tersebut ke ranah realitas.
Dilihat dari
segi ini, sosok Syaf Antn Wr sebagai penyair dan sebagai penggerak yang aktif
mengikuti diskusi-diskusi membawa pada situasi yang paradoksal. Secara
re-generasi atau penggerak ia berada di ranah inklusivitas. Ia juga aktif
menggawangi forum BIAS dan mendirikan sanggar-sanggar sekolah. Maka sang
penggerak yang dibesarkan dari pengalaman bahwa semesta tidak memiliki sekat,
justeru memiliki posisi penggerak sebagai seorang penyair yang mengandalkan
“gerakan sastra” sebagai sebuah tempat tinggal tempat nilai-nilai terkuak dan
dijalani. Wajar kemudian jika sajak ini harus dilahirkan;
O, anak ombak
anak musafir
Langitmu suasa
Langitmu
pujangga
Posisi
penggerak dan kecendrungannya untuk tidak
populis ia tidak mau sebenarnya menerbitkan antologi puisi tunggal, sebab baginya
lebih baik disampaikan dengan lisan daripada pada tulisan, sebab baginya dengan
lisan akan cepat sampai pada masyarakat, daripada dengan tulisan, sebab tidak
semua orang suka membaca.
Dengan
demikian, lahirnya antologi puisi ini, menawarkan kepada pembaca keberagaman
paradigma dalam menulis dan menyampaikan ide-ide dalam bentuk puisi. Syaf Anton
Wr mencoba ingin sharing pengalaman,
atau silaturrahmi kebudayaan untuk saling menyapa baik yang muda, sampai yang
tua, agar memadukan harmoni yang selama ini terpisah oleh ketidakadaan
komunikasi dan diskusi.
Mengapa
penting diskusi sastra, karena sastra adalah ruang kepadatan. Ruang dimana yang
panjang di pendek-pendekkan, tetapi mengandung makna yang holistik-universal. Perjuangan
seorang penyair adalah pergulatan dengan diri, pergulatan dengan kata-kata,
pergulatan dengan cinta. Mengapa demikian? Karena Syaf Anton Wr tidak ingin menjadi “penyair moment”,
akan tetapi ingin menjadi “penyair monument”. Pergulatan menyusun kata,
mencari kata, mencari diksi-diksi yang cocok, menggabungkan kata demi kata. Maka
ditengah ketidakmampuan seseorang mengurai jejak hidup, ia akan berpuisi,
presiden berpuisi, ulama dan Kiai pun berpuisi, filsuf apalagi.
Sebagai
penutup dari esai ini, saya akhiri dengan “Doa Penyair”
Doaku yang kau
panggang
Telah
kujadikan sebait puisi dalam hum
*Esais, aktif d forum BIAS dan
pengelolah Perpustakaan Uliefa, tinggal di Sumenep
Komentar