Sajak-Sajak: Matroni el-Moezany
di Muat di Kompas.com
ASONGAN
Selalu yang di bawa, itu-itu saja,
Selalu yang itu-itu saja, rela
Selalu yang rela, bimbang bahkan terpaksa
Perkenankan aku menjadi dirimu
Bagaimana hidup nyaman
Seperti dia yang terkaya
Pergi malam pulang pagi
Lalu datang kembali
Seperti hanya ingin menjualnya
Menolak sepah dingin
Sebelum lapar mendera
Tak perlu orang merasa
Menyusuri malam
Sepanjang palataran Malioboro
Mewarnai ramai pasar dan rimbun jajan
Sepanjang engkau bebas dari negara
Dengan seluruh daya, Mempertahankan adamu
Jejak demi jejak yang berlagak, tak henti-hentinya menemukan jalan
Begitulah setelah waktu ajak, kota yang dulu hijau
Menjaga dirimu dari asap bangunan
Terpaksa menyimpan luka
Dalam cela debur ramai orang-orang
Titik itu, pengasong tak tega menuliskan,
yang mesti aku harus terperosok
Jika aku putra bangsawan
Atau setidaknya pernah korupsi dengan aman
Yang melingkari hukum-hukum palsu sepanjang musim
Dia hanya diam, berkarya tak di dengar
Hukum-hukum menuntut moral
Yang barusan terjadi sebenarnya bagaimana
Tetapi tetap saja
Membohongi gema bangsa
Yang telah mengajarkan perjuangan
Di musim engkau keracunan
Seperti patung-patung
Engkau hanya orang tak bernyawa
Dengan tahu hukum kau benci asongan
Di dada dan mulut, di saku dan perut
Alam moral dan kekuasaan
Di kata-kata dan bukan yang sebenarnya
Jogja, 2011
KIYARAN
Mata-mata menyala
Melihat hamparan sawah
Hijau padi dan gemerucuk air bening
Dengan ikan-ikan manja
Menyimpan beribu kekayaan
Kau biarkan indah menyembunyikan
Kau iyakan ia berdiam
Hingga aku datang, menguaknya
Dari kedalaman tanah-tanah
Senyum orang-orang
Menyimpan “aku ingin bersama”
Tak kuasa aku rendam untuk kau cuci, di sana
Setengah senyum
Aku gila di ruang damai
Menyibak tembang kenangan
Kau sabar menuai rasa
Kau lebar memulai masa
Kekayaan kau lantunkan bersama hamparan hijau pepohonan
Serta ikan-ikan nakal yang merayunya
Kau sampaikan kata
Lewat senyum orang-orang, kau biarkan semua menjadi ada
Yang harus kau simpan
Karena ia milikmu bukan milikku
Wukirsari, Kiyaran 2011
Bagaimana dengan Dirimu
Engkau menjadi korban bencana alam
Ada banyak bantuan, tapi tak sedikitpun tersampaikan,
Kau dibiarkan sengsara oleh negara
Hidup itu tidak hanya manusianya, tapi pikirannya juga harus hidup, katanya
Engkau keluarkan keringat perjuangan
Tapi tak ditemui, dimanakah engkau
Di manakah rasa cintamu untukku
Dimanakah kepedulianmu
Sekarang aku tak punya apa-apa
Rumah, lahan tani, uang, harta, hanyut terkubur pasir, rata
Engkau tak merasa
Betapa aku ingin bahagia
Anak, isteri, dan orang lain
Kau bebaskan dari janji kosongmu
Matahari mencoba membantunya
Pagi itu, dengan matahari terang
Tumpukan angin segar
Dengan rumpun kata, seperti sorga sedikit nyeri
Mengiringi kemana dirimu akan di bawa
Hidup di tengah bencana
Lalu, di sebelah timur jalan
Atau di bawah pamataran chelter prosokerep
Melihatmu tengah mengangguri pikiranmu
Dan lekuk puluhan waktu menikam
Muara masa
Setelah menelusuri sawah-sawah dengan angin yang sama
Mengguyur kata-kata ke lubang-lubang pasir
Terus di gali, di semai hingga air mengalir
Di suatu senin pagi, dua orang mendatangimu
Ingin tahu sebenarnya di balik chelter itu
Orang-orang, isteri, anak-anak dan janda
Selalu ingin menikmati kedamaian
Tetapi di bawah langit cangringan
Matahari tak sesempurna yang kubayangkan
Pemerintah yang seharusnya menemuimu
Di masukkan ke sadarmu, malah mencolong
Mental kegembiraan, kalau waktu menuntut kedamaian lebih
Di dalam gedek sederhana, kepalanya bingung di pukul kesombongan negara
Bukankah jika senja datang
Malam mendatangkan harap
Yang rumit di gapai, hanya sedikit marah yang tinggal di sarang
Kemudian agar engkau damai
Engkau cipta waktu dalam dirimu
Mengajak daging, tangan, kuping, mata, mulut, dan kaki berdandan di bawah rembulan
Di jerit katamu, tiap harinya menampung mental-mental keringat
Di sejerit sisanya, di sebuah harapan
Tergambar betapa semesta mulai mendiami kedamaiannya
Beberapa bulan kemudian
Memintanya secara pribadi
Suguhi aku, bantui aku,
Atau doakan aku, sedetik saja
Sayang, pemerintah kembali tuli
Matahari segera bersenja
Lalu seperti para pencari pasir, kayu bakar, dan sapi perah
Kita tak lagi melihat
Bagaimana dirimu meringkih dalam keringat
Setelah berjam-jam kehausan dan dipermainkan
Cangringan, 2011
*Penyair, lahir di desa Banjar Barat, Gapura, Sumenep. Aktif menulis di media massa baik lokal maupun nasional. Buku antologi bersamanya adalah “Puisi Menolak Lupa” (2010) “Madzhab Kutub” (2010) dan Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010 Dewan Kesenian Jatim. Kini tinggal di Yogyakarta.
Hp; 085233199668
ASONGAN
Selalu yang di bawa, itu-itu saja,
Selalu yang itu-itu saja, rela
Selalu yang rela, bimbang bahkan terpaksa
Perkenankan aku menjadi dirimu
Bagaimana hidup nyaman
Seperti dia yang terkaya
Pergi malam pulang pagi
Lalu datang kembali
Seperti hanya ingin menjualnya
Menolak sepah dingin
Sebelum lapar mendera
Tak perlu orang merasa
Menyusuri malam
Sepanjang palataran Malioboro
Mewarnai ramai pasar dan rimbun jajan
Sepanjang engkau bebas dari negara
Dengan seluruh daya, Mempertahankan adamu
Jejak demi jejak yang berlagak, tak henti-hentinya menemukan jalan
Begitulah setelah waktu ajak, kota yang dulu hijau
Menjaga dirimu dari asap bangunan
Terpaksa menyimpan luka
Dalam cela debur ramai orang-orang
Titik itu, pengasong tak tega menuliskan,
yang mesti aku harus terperosok
Jika aku putra bangsawan
Atau setidaknya pernah korupsi dengan aman
Yang melingkari hukum-hukum palsu sepanjang musim
Dia hanya diam, berkarya tak di dengar
Hukum-hukum menuntut moral
Yang barusan terjadi sebenarnya bagaimana
Tetapi tetap saja
Membohongi gema bangsa
Yang telah mengajarkan perjuangan
Di musim engkau keracunan
Seperti patung-patung
Engkau hanya orang tak bernyawa
Dengan tahu hukum kau benci asongan
Di dada dan mulut, di saku dan perut
Alam moral dan kekuasaan
Di kata-kata dan bukan yang sebenarnya
Jogja, 2011
KIYARAN
Mata-mata menyala
Melihat hamparan sawah
Hijau padi dan gemerucuk air bening
Dengan ikan-ikan manja
Menyimpan beribu kekayaan
Kau biarkan indah menyembunyikan
Kau iyakan ia berdiam
Hingga aku datang, menguaknya
Dari kedalaman tanah-tanah
Senyum orang-orang
Menyimpan “aku ingin bersama”
Tak kuasa aku rendam untuk kau cuci, di sana
Setengah senyum
Aku gila di ruang damai
Menyibak tembang kenangan
Kau sabar menuai rasa
Kau lebar memulai masa
Kekayaan kau lantunkan bersama hamparan hijau pepohonan
Serta ikan-ikan nakal yang merayunya
Kau sampaikan kata
Lewat senyum orang-orang, kau biarkan semua menjadi ada
Yang harus kau simpan
Karena ia milikmu bukan milikku
Wukirsari, Kiyaran 2011
Bagaimana dengan Dirimu
Engkau menjadi korban bencana alam
Ada banyak bantuan, tapi tak sedikitpun tersampaikan,
Kau dibiarkan sengsara oleh negara
Hidup itu tidak hanya manusianya, tapi pikirannya juga harus hidup, katanya
Engkau keluarkan keringat perjuangan
Tapi tak ditemui, dimanakah engkau
Di manakah rasa cintamu untukku
Dimanakah kepedulianmu
Sekarang aku tak punya apa-apa
Rumah, lahan tani, uang, harta, hanyut terkubur pasir, rata
Engkau tak merasa
Betapa aku ingin bahagia
Anak, isteri, dan orang lain
Kau bebaskan dari janji kosongmu
Matahari mencoba membantunya
Pagi itu, dengan matahari terang
Tumpukan angin segar
Dengan rumpun kata, seperti sorga sedikit nyeri
Mengiringi kemana dirimu akan di bawa
Hidup di tengah bencana
Lalu, di sebelah timur jalan
Atau di bawah pamataran chelter prosokerep
Melihatmu tengah mengangguri pikiranmu
Dan lekuk puluhan waktu menikam
Muara masa
Setelah menelusuri sawah-sawah dengan angin yang sama
Mengguyur kata-kata ke lubang-lubang pasir
Terus di gali, di semai hingga air mengalir
Di suatu senin pagi, dua orang mendatangimu
Ingin tahu sebenarnya di balik chelter itu
Orang-orang, isteri, anak-anak dan janda
Selalu ingin menikmati kedamaian
Tetapi di bawah langit cangringan
Matahari tak sesempurna yang kubayangkan
Pemerintah yang seharusnya menemuimu
Di masukkan ke sadarmu, malah mencolong
Mental kegembiraan, kalau waktu menuntut kedamaian lebih
Di dalam gedek sederhana, kepalanya bingung di pukul kesombongan negara
Bukankah jika senja datang
Malam mendatangkan harap
Yang rumit di gapai, hanya sedikit marah yang tinggal di sarang
Kemudian agar engkau damai
Engkau cipta waktu dalam dirimu
Mengajak daging, tangan, kuping, mata, mulut, dan kaki berdandan di bawah rembulan
Di jerit katamu, tiap harinya menampung mental-mental keringat
Di sejerit sisanya, di sebuah harapan
Tergambar betapa semesta mulai mendiami kedamaiannya
Beberapa bulan kemudian
Memintanya secara pribadi
Suguhi aku, bantui aku,
Atau doakan aku, sedetik saja
Sayang, pemerintah kembali tuli
Matahari segera bersenja
Lalu seperti para pencari pasir, kayu bakar, dan sapi perah
Kita tak lagi melihat
Bagaimana dirimu meringkih dalam keringat
Setelah berjam-jam kehausan dan dipermainkan
Cangringan, 2011
*Penyair, lahir di desa Banjar Barat, Gapura, Sumenep. Aktif menulis di media massa baik lokal maupun nasional. Buku antologi bersamanya adalah “Puisi Menolak Lupa” (2010) “Madzhab Kutub” (2010) dan Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010 Dewan Kesenian Jatim. Kini tinggal di Yogyakarta.
Hp; 085233199668
Komentar