Surat Buat Petani di Madura
Sajak-sajak: Matroni el-Moezany*
Surat Buat Petani di Madura
sehabis azan kau jejakkan kaki
di perut bumi yang berkeringat
menapaki sesuatu yang jauh
dengan raga kau guyurkan segala rasa
untuk mencapai klimaks inginmu
yang ada di cakrawala
kau mencari ada
kau percaya bahwa klimaksmu itu ada di sana
di tepi tanah dan tubuh semesta
Sumenep, 09, 06, 2008
Pada Matamu
pada matamu rumpun gelisah di rancak daun-daun
memanggil hujan
pada matamu reroncean mengurai rambutmu
menyebarkan bunga musim panas
pada matamu angin meminta jalan
untuk bersama dalam sunyi
pada matamu kuurai segala yang kuimpikan
agar menjadi impian
lalu sejenak makna di haluan matamu
ada yang tak terlihat untuk kusanding
di perjalanan nanti
aku hanya bisa melihat pada matamu
yang telah terurai dengan rapi
hingga diam pun ada
Sumenep, 2008
Keringat Api di Bulan Juni
setelah selesai kuurai inti keringat ini
jadi aku:
itu desis keringat tubuh
atau bunyi seru jiwa terbuang
kepada seorang tani yang tersedu
kau puisikan dengan sedih
semesta ini menangis karena pesta pertanian
tapi di pagi yang segar
kau bangun dengan tubuh yang menduga
bisa menerka tak ada malam yang menjadi semu
di bawah sorot matahari
di bawah kilau pilu angin-angin
kau mual, sakit sepanjang malam
mengenang di atas putian bulan Agustus
di lembar almanak panen raya
kau dingin, tak tahan, lesuh, sakit miskin
jadi keringat api
yang menyimpang benih barah kehidupan
tuhan kuselamatkan
terbakar di atas api yang besar
terbang jadi cakrawala
tak sanggup menggenggam dingin tangan
yang gemetar di tepi remang pagi
malam selanjutnya
setelah inti keringat padam
sisa basah menyala penuh tanya
tak paham nyawa siapa yang kini menyambutnya
bau cinta dan bunyi angin
mengepungmu di tepi sawah
remang serupa bayang, kau dengar sajak
parau di miskin seolah keluh pada malam
“kasih, kata-kata itu keringat,
benih keringat yang memanaskan ”
lalu di bawah matahari muram kitakita
kau lihat pelan-pelan, beda air atau keringat api
inilah yang tak terlihat oleh penguasa
oleh apa, dan bagaimana
serta pada siapa
Sumenep, Juni, 2008
Ada Bulan di Matamu
kulihat ada bulan di matamu
berpuisi mengisi cakrawala
mengiang seperti cahaya kelaparan
kutak kuasa melihat
akhirnya kusuguhi ia huruf
agar bisa menjadi bahasa
untuk mengeja semesta
di lain hari kau datang menemuiku
di bawah rumpun kata
ternyata kau bisu
untuk menata huruf-huruf itu
kutunjukkan jalan
jalan itu adalah derita dan rasa
Sumenep, 2008
Di Ruang Lain
di ruang lain
kau temui waktu
untuk mengisi ruangmu
yang tak terjamah
di ruang lain lagi
kau suruh waktu
untuk mememani rasa
yang akan hilang bersamamu
tapi, di ruang lain yang sama
kau ajak aku bersama-sama
dalam ruang waktu yang sama pula
di sana seakan terjalin sesuatu yang jauh dari ruang
entah, aku tak mengerti maksud tuhan
Sumenep, 2008
*Penyair kelahiran Sumenep 03 Maret 1984, aktif di Forum Sastra Pesantren Indonesia (FSPI). Bergiat di Komonitas Rumah Tanya (KRT). Sekarang tinggal di Yogyakarta menyelesaikan kuliahnya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Surat Buat Petani di Madura
sehabis azan kau jejakkan kaki
di perut bumi yang berkeringat
menapaki sesuatu yang jauh
dengan raga kau guyurkan segala rasa
untuk mencapai klimaks inginmu
yang ada di cakrawala
kau mencari ada
kau percaya bahwa klimaksmu itu ada di sana
di tepi tanah dan tubuh semesta
Sumenep, 09, 06, 2008
Pada Matamu
pada matamu rumpun gelisah di rancak daun-daun
memanggil hujan
pada matamu reroncean mengurai rambutmu
menyebarkan bunga musim panas
pada matamu angin meminta jalan
untuk bersama dalam sunyi
pada matamu kuurai segala yang kuimpikan
agar menjadi impian
lalu sejenak makna di haluan matamu
ada yang tak terlihat untuk kusanding
di perjalanan nanti
aku hanya bisa melihat pada matamu
yang telah terurai dengan rapi
hingga diam pun ada
Sumenep, 2008
Keringat Api di Bulan Juni
setelah selesai kuurai inti keringat ini
jadi aku:
itu desis keringat tubuh
atau bunyi seru jiwa terbuang
kepada seorang tani yang tersedu
kau puisikan dengan sedih
semesta ini menangis karena pesta pertanian
tapi di pagi yang segar
kau bangun dengan tubuh yang menduga
bisa menerka tak ada malam yang menjadi semu
di bawah sorot matahari
di bawah kilau pilu angin-angin
kau mual, sakit sepanjang malam
mengenang di atas putian bulan Agustus
di lembar almanak panen raya
kau dingin, tak tahan, lesuh, sakit miskin
jadi keringat api
yang menyimpang benih barah kehidupan
tuhan kuselamatkan
terbakar di atas api yang besar
terbang jadi cakrawala
tak sanggup menggenggam dingin tangan
yang gemetar di tepi remang pagi
malam selanjutnya
setelah inti keringat padam
sisa basah menyala penuh tanya
tak paham nyawa siapa yang kini menyambutnya
bau cinta dan bunyi angin
mengepungmu di tepi sawah
remang serupa bayang, kau dengar sajak
parau di miskin seolah keluh pada malam
“kasih, kata-kata itu keringat,
benih keringat yang memanaskan ”
lalu di bawah matahari muram kitakita
kau lihat pelan-pelan, beda air atau keringat api
inilah yang tak terlihat oleh penguasa
oleh apa, dan bagaimana
serta pada siapa
Sumenep, Juni, 2008
Ada Bulan di Matamu
kulihat ada bulan di matamu
berpuisi mengisi cakrawala
mengiang seperti cahaya kelaparan
kutak kuasa melihat
akhirnya kusuguhi ia huruf
agar bisa menjadi bahasa
untuk mengeja semesta
di lain hari kau datang menemuiku
di bawah rumpun kata
ternyata kau bisu
untuk menata huruf-huruf itu
kutunjukkan jalan
jalan itu adalah derita dan rasa
Sumenep, 2008
Di Ruang Lain
di ruang lain
kau temui waktu
untuk mengisi ruangmu
yang tak terjamah
di ruang lain lagi
kau suruh waktu
untuk mememani rasa
yang akan hilang bersamamu
tapi, di ruang lain yang sama
kau ajak aku bersama-sama
dalam ruang waktu yang sama pula
di sana seakan terjalin sesuatu yang jauh dari ruang
entah, aku tak mengerti maksud tuhan
Sumenep, 2008
*Penyair kelahiran Sumenep 03 Maret 1984, aktif di Forum Sastra Pesantren Indonesia (FSPI). Bergiat di Komonitas Rumah Tanya (KRT). Sekarang tinggal di Yogyakarta menyelesaikan kuliahnya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Komentar