Pendidikan Yang Kropos
Matroni Musèrang*
Esai ini berangkat dari kegelisahan saya
ketika mengikuti pendidikan politik perempuan yang diadakan oleh PAC
Fatayat Nadhlatul Ulama Kecamatan Gapura
pada tanggal 14 Januari 2024 di Aula lantai dua MWC NU Gapura. Acara di buka
dari Bawaslu Jawa Timur dan dilanjutkan dengan penelis dari partai Gerindra,
PDI-P, PKB, PPP, Bawaslu Kabupaten Sumenep, KPU Sumenep dan Ajimuddin sebagai
pengamat politik.
Saya hadir ke acara ini sebenarnya ingin
tahun pendidikan politik bagi perempuan seperti apa yang ditawarkan partai atau
calon DPR, tapi saya tidak menemukan karena tidak ada panelis dari partai yang
berbicara secara konseptual pendidikan bagi perempuan, saya berharap pada PKB
dan PPP sebenarnya, tapi justeru PKB dan PPP justeru saling mengunggulkan dan
mengutip ayat dan hadist saja.
Kalau alat untuk menjadi DPR saja tidak
menyampaikan secara konseptual tentang pendidikan bagi perempuan bagaimana
dengan cara berpikirnya? Padahal pendidikan itu mendidik cara berpikir, bukan
dipahami pendidikan ada guru dan murid atau kiai dan santri, tapi pendidikan
sebuah usaha untuk merangsang berpikir kritis, bukan dijejali terus-menerus.
Pendidikan itu membangun fundamental of
mind dari peserta didik.
Yang menarik ada penanya yang bertanya,
jika yang dicalonkan itu tidak berkualitas dan tidak cocok dengan hati nurani,
sementara saya (penanya) “dipaksa” mengekor untuk memilih calon tersebut?
Mengekor ini sebenanrya “pembodohan” bagi orang lain. Siswa ngekor guru untuk
memilih salah satu calon, santri ngekor kiai dan seterusnya. Ngekor kita tahun
bahwa itu perbuatan yang sama sekali tidak memiliki pendapat sendiri. Lalu
dimana pendidikan itu ada. Bila ngekor saja.
Ada yang mengartikan “ngekor” itu sami’na waatho’na sama guru atau kiai. Kalau
tidak ikut guru dan kiai dibilang tidak punya akhlak, padahal ini konteksnya
politik kekuasaan, bukan konteks keilmuan. Di sini kita harus kritis menyikapi,
bagi saya jika ada kiai saya atau guru yang berfatwa “kalian harus memilih
salah satu calon ini dan itu” saya orang pertama yang akan menolak dan tidak
ikut fatwa itu. Fatwa seperti itu kan otoriter, orang tidak diberi ruang untuk
berpikir kritis membaca calon yang ada. Di sinilah pendidikan mulai kropos,
peserta didik tidak di beri ruang untuk berpikir kritis dalam membaca calon.
Kalau memang guru dan kiai mau mendidik,
seharusnya peserta didik itu di ruang untuk berpikir kritis dan membaca calon
yang ada. Bukan kemudian bila calon ini dan itu yang menggunakan ayat itu pasti
baik dan benar, yang tidak menggunakan ayat dan hadist itu tidak benar dan
tidak baik. Itu paradigma yang kurang benar saya kira, bagaimana orang menjamin
bahwa orang yang menggunakan ayat dan hadist dalam partai di anggap baik dan
benar? Tidak ada pendidikan yang mengajarkan seperti itu. Pendidikan selalu
mengajarkan bagaimana membangun fundamental
of mind bagi peserta didik.
A.Warist dari Bawaslu Jawa Timur
mengatakan sekolah dan pesantren hari ini tidak melahirkan peserta didik yang
kritis. Nalar kritisnya mati, kalau saya bertanya siapa yang membunuh nalar
kritis ini mati? Kalau saya boleh menjawab karena pendidikan yang kropos.
Mengapa kropos, karena kita belum mau berubah secara paradigma (manhaj), paradigma kita masih kolonial,
sehingga kita tidak bisa mendefinisikan sendiri makna pendidikan, sehingga
harus guru dan kiai yang mendefinisikan. Akhirnya sarjana-sarjana dan santri
diam di tempat dan mengulang-ngulang ortodoksi agama. Di kira ilmu di dunia ini
diam, tidak berubah, tidak berkembang.
Pendidikan politik perempuan sebenarnya
saya mengira mengarah ke sana, ke arah bagaimana perempuan juga berpikir kritis
membaca calon. Tapi justeru ada penelis yang berbicara kondrat perempuan.
Perempuan salah karena ketika di buka kran 30% partai kesulitan mencari
perempuan yang mau, apakah pengurus partai tidak berpikir, mengapa perempuan
tidak tidak mau? Bukan kemudian menjustifikasi perempuan tidak mau, cek dulu,
ketidakmauan itu karena apa?
Bisa saja perempuan tidak mau maju,
karena pertimbangan dana, hari ini untuk menjadi calon harus memiliki dana atau
uang. Orang desa atau masyarakat hari ini sudah kenak sindrom uang. Partai itu
harus ada uang, kalau tidak ada uang, tidak mau. Apakah pengurus partai
berpikir siapa yang menciptakan bahwa orang memilih calon itu harus uang bahkan
pemilihan kepada desa saja sudah main uang. Berarti ada problem mendasar yang
harus diselesaikan oleh pengurus partai, salah satunya adalah pendidikan.
Dan untuk menyelesaikan problem
pendidikan, kita harus selesai dulu problem mendasar dari dalam diri kita
sendiri yaitu paradigma berpikir (manhaj
al-fikr) kita sendiri atau fundamental
of mind ini yang terdirik dulu terlebih dulu, sebab kalau paradigma kita
sudah kekuasaan yang tujuanya adalah uang. Berarti dari uang, untuk uang dan
bagi uang. Lalu dimanakah pendidikan?
Apakah pendidikan hanya mau dijadikan
lipstick an sich? Mau dijadikan umpan bagi warga, sehingga ada sekolah dan
perguruan tinggi didirikan hanya untuk menjaga ortodoksi dan mengulang-ngulang
kebenaran (habit of mind). Sementara
peristiwa dan fenomena sosial, ekonomi, politik, budaya, sains, dan teknologi
terus berkembang (wa al-waqa’i ghairu
mutanahiyah) di luar kontrol guru dan kiai.
Kalau secara konseptual pengurus partai
tidak mau mengupdate pemahaman terhadap pendidikan berhenti, dihentikan, terhenti,
apalagi sampai dilarang, maka umat, warga termasuk didalamnya santri dan
peserta didik akan mengalami kemandegan, kebuntuan, dan kejumudan dalam
berpikir.
Dengan demikian, generasi perempuan ini
atau pengurus partai menimal berpikir untuk mengambil alih untuk
me-rekontruksi, merekontekstualisasi agar terhindar dari stagnasi pendidikan
dan kejumudan dalam belajar dan berpendidikan yang lebih yang mencerahkan (at-tanwir). Langkah ini diambil untuk menyelamatkan kaum perempuan
agar tidak terjerumus pada luka yang dalam dari keterpurukan.
*Dosen STKIP PGRI Sumenep
Sumber: https://radarmadura.jawapos.com/opini/743964445/pendidikan-yang-keropos.
Minggu, 21 Januari 2024
Komentar