Epistemologi Hidup Iman Budhi Santosa
Oleh: Matroni Musèrang*
Festival
Sastra Iman Budhi Santosa yang diselenggarakan dua hari 2-3 Desember di Magetan
membuat saya berpikir tentang sosok Iman Budhi Santosa (IBS). Siapa Iman Budhi
Santosa? Apa Iman Budhi Santosa? Mengapa ada Festival Iman Budhi Santosa?
Apakah di kabupaten lain bisa dan mau untuk diadakan festival sastra Iman Budhi
Santosa?
Saya ke
Magetan kebetulan saya diajak teman saya Set Wahedi, saya mengiyakan karena mas
Iman juga salah satu guru saya dalam menulis di Yogyakarta. Hadir ke Magetan
berarti menghadiri jamuan guru yang sudah lebih dulu berangkat kea lam yang
berbeda. Oleh karenya tulisan ini sebagai catatan penting bagi saya selama dua
hari di Magetan.
Karena tidak
sembarangan orang atau tokoh acara di gelar untuk menghabiskan dana jika tidak
memiliki efek literasi bagi daerahnya bahkan pahlawan nasional pun tidak mudah
bagi kota kelahiran dirayakan sebagai bentuk penghormatan, maka saya ingin tahu
mengapa Magetan mau seperti itu.
Setelah sampai
di sana saya pun diikutkan pelatihan kepenulisan yang temanya berkaitan dengan
potensi daerah dan pesertanya siswa SMP, SMA, Mahasiswa dan Guru berkumpul di
lantai dua perpustakaan umum di Magetan untuk belajar menulis yang diisi oleh
Hasta Indriyana, besok sore di isi diskusi buku Iman Buhdi Santosa yang terbaru
“Magetan: Bumi Kelahiran 2023” sebagai pembedah Suprayoko, Latief S. Nugraha,
dan Sukandar.
Saya mengikuti
pun seksama sosok yang menjadi saksi atas perjalanan IBS ini, dan apa yang saya
tahu, dan benar memang pantas IBS dijadikan tokoh inspirasi di Magetan, artinya
digelarnya festival sastra Iman Budhi Santosa sebagai perangsang untuk warga
Magetan untuk menjadi pembaca yang baik dan penulis yang baik seperti yang
dilakukan IBS ini.
Untuk menjadi
penulis yang baik tentu harus menjadi pencatat, perenung yang baik dan
memikirkan apa yang mungkin bisa dilakukan. Penulis itu sekaligus pemikir. Bagaimana
mungkin penulis akan menulis bila tak ada bekal data, dan untuk menuliskannya
pun membutuhkan pemikiran yang jernih, sebab mengolah data tanpa pemikiran yang
jernih hasilnya tidak akan sempurna dan cepat basih biasanya.
Mencatat,
belajar, menghayati itu menjadi laku keseharian Iman Budhi Santosa dan itulah
yang saya lihat dari mas Iman, bahkan ketika mas Iman di Sumenep builpoin dan
kertas di bajunya selalu melekat.
Buku “Magetan:
Bumi Kelahiran” refleksi kesadaran akan kota kelahiran, dimana kota kelahiran
mengandung banyak potensi untuk dicatat dan dijadikan tulisan bahkan dijadikan
tawaran teori kepada dunia. Dimana kearifan-kearifan local yang masih belum
tersentuh harus kita catat, di baca dan dipikirkan maknanya dan nilainya agar
kearifan-kearifan itu terkuak dan bisa jadikan fondasi bagi kota Magetan, sebab
eksistensi sebuah kota bisa dilihat dari seberapa banyak tokoh yang
memperkenalkan pemikirannya.
Misalnya
Yogyakarta dengan Malioboronya yang melahirkan sastrawan besar Indonesia dan
kota-kota besar di dunia. Sebagai orang yang berpikir tentu, ia tidak akan
memperkenalkan sebuah kota hanya dengan kecantikan wajah dan badan, akan tetapi
ia akan berpikir untuk memerkenalkan sebuah kota tentu dengan tawaran gagasan
keillmuan, dalam hal ini bisa budaya. “Magetan: Bumi Kelahiran” mas Iman
menawarkan itu, meskipun sebagai generasi tentu memiliki tanggungjawab untuk
terus mencatat, membaca, dan memikirkannya.
Kita kenal
sastrawan besar Indonesia dan dunia bukan lantaran warisan budayanya, bukan
warisan seorang penguasa. Akan tetapi buku dan segala hal tentang isinya
merupakan warisan intelektual yang selamanya akan abadi. IBS ini bukan
penguasa, ia merupakan pemikir yang memikirkan catatan-catatannya dan
menuliskannya menjadi momumen budaya. Karena sudah memiliki monumen budaya maka
karya itu akan membuka kran paradigmatik untuk membaca karya itu.
Kalau kita
menggunakan paradigma pendidikan, maka Iman Budhi Santosa ini menjadi pendidik,
misalnya kearifan local mendidik anak-anak, setelah pulang sekolah jam 12
siang, bisanya istirahat, lalu jam 15.00 anak-anak bermain, dan malam hari
setelah makan malam anak-anak harus berangkat ke mushallah untuk mengaji dan
belajar dan orang tuanya menemani anak-anak belajar dan itulah yang dialami
Iman Budhi Santosa di Magetan. Dari kearifan ini sebenarnya anak-anak diajari
untuk disiplin belajar, menghargai waktu dengan baik, bahkan bermain pun dibatasi
waktu.
Kalau
menggunakan paradigma filsafat Iman Budhi Santosa seorang filsuf, mengapa
tidak, sebab laku filsuf itu untuk membangun fundamental of mind dengan
mencatat, membaca dan berpikir tentang segala sesuatu dan menuliskan dalam
bentuk buku dan catatan hariannya. Artinya Iman Budhi Santosa memiliki progress
of science dalam menapaki kehidupannya, Iman Budhi Santosa tidak ingin ada
puing-puing hidup yang tak terpikirkan.
Itulah yang
dihayati Iman Budhi Santosa sampai akhir hidupnya, saya lalu mengandai, andai
ada banyak sosok seperti Iman Budhi Santosa di Indonesia, betapa makmur dan
berkembangnya budaya Indonesia dengan berbagai pemikiran yang luar biasa. Tapi
itu hanya khayalan saya.
Iman Budhi
Santosa memang layak dan penting untuk di tiru epistemologi hidupnya, sebagai
pencatat, pembaca dan pemikir, dan sastra sebagai media penyampai. Semoga lahir
tokoh lain yang meniru epistemologi hidupnya yang menjadi pencatat, pembaca
yang baik dan pemikir sistematis. Sebab penyair adalah pemikir sekaligus.
Haruskah sastra menjadi sosok-sosok yang tidak dikenal? Mari kita menjadi
pencatat dan pembaca yang baik serta pemikir yang serius.
Yogyakarta,
7 Desember 2023
Komentar