Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan
Esai ini lahir refleksi kemerdekaan yang diadakan Majelis
Wakil Cabang Nahdlatul Ulama Gapura. Acara yang dikemas dengan semacam seminar
yang di isi oleh Dr. Iskandar Zulkarnai, Kiai Halimy dan ibu Raudhatun, esai
ini semacam sharing bersama untuk konteks kecamatan Gapura dengan satu
pertanyaan “apakah masyarakat Gapura sudah Merdeka?, ada kemungkinan pertanyaan
ini di daerah lain.
Apakah Gapura sudah merdeka secara ekonomi? Di Gapura
ada enam (6) swalayan, dua swalayan Nusa Umat yang disingkat NU, ada Migi Mart,
el-Maimon, Basmalah, dan Indormart. Di Gapura ada dua NU yang pertama BMT NU (Nusa
Ummat) yang berideologi Kapitalis (Marx) dan kedua NU (Nahdlatul Ulama) yang
ideologinya keummatan, kebangsaan, keagamaan, kerakyatan. Dua NU ini sama-sama
kuat, meskipun faktanya justeru Nuansa Umat (NU) yang lebih “kuat” Nadhlatul
Ulama (NU) itu sendiri. Pertanyaanya adalah
apakah dengan enam swalayan dan BMT Pusat Nuansa umat (NU) perekonomean
masyarakat Gapura lebih baik? Hal perekonomean ini bisa dijawab oleh lembaga
perekonomean Nadhlatul Ulama Gapura
Apakah Gapura secara keagamaan sudah merdeka? Sependek
saya hidup di Gapura pemikiran keagamaan belum berkembang, keagamaan di Gapura
masih fikih sentris, artinya dalam keputusan hokum, tidak ada pertimbangan ilmu
lain misalnya akhlak, sosiologi, antropologi, tafsir, hermeneutik, filsafat. Kiai
menjadi simbol “pusat kebenaran”, bagi saya kiai memiliki dua makna, kiai
sebagai fisik (manusia) dan kiai sebagai nilai.
Sebagai sebuah nilai maka siapa pun yang menjalankan
dan mengamalkan nilai-nilai ke-Kiai-an, maka dia layak mendapat predikat kiai,
tetapi meskipun dia keturunan kiai atau menantu kiai, tetapi tidak menjalankan
nilai-nilai ke-Kiai-an, hanya mengandalkan perasaan “aku keturunan kiai, Aku
Kiai, aku menantu kiai” yang orang lain harus hormat “ke saya”, maka kiai bagi
dia hanya identitas sosial tanpa makna seperti menara gading yang retak,
berdebu, kusam, kotor dan tak memiliki fungsi apa-apa, adanya seperti tidak ada.
Yang pas pertanyaanya adalah Mengapa shalat, puasa, haji, umrah, orang bisa
baca kitab fikih, tidak berhasil mencegah banyak dari kita melakukan dosa besar
dan angkuh? Jawaban sementara adalah karena kita masih sibuk dengan tatacara,
prosedur, dan symbol, tapi mengabaikan tujuan.
Apakah di Gapura ada aktivis perempuan? Jawabanya tidak
ada, hal ini saya melihat ketika perempuan warga Tapakerbau yang melawan laut
mau dijadikan tambak garam, taka da satu pun aktivis perempuan yang mendampingi
perempuan-perempuan tapakerbau, misalnya saya tidak melihat peran Fatayat,
Muslimat di Gapura untuk mendampingi perempuan-perempuan di tapakerbau bahkan MWCNU
pun “tidak ada”, katanya di Sumenep ada Ulama Perempuan, aktivis perempuan.
Apakah di Gapura di bidang pertanian pun merdeka? Saya
masih melihat bagaimana petani kesulitan pupuk, dan ketika ada harganya mahal. Benih
pun setiap kali mau nanam harus beli, bahkan benih-benih local pun mulai tidak
ada, petani gapura di cekoki benih-benih dari luar, saya tidak menemukan benih local.
Belum lagi pelepasan lahan dan alih fungsi lahan. Ini harus kajian yang
mendalam di MWC NU Gapura ada Lakspesdam, Lembaga Pertanian Nahdlatul Ulama
yang seharusnya bergerak ke arah ini.
Itu refleksi saya dalam konteks Gapura, dengan demikian,
kemerdekaan di Gapura masih kemerdekaan personal atau individual, belum
kemerdekaan sosial-keummatan. Baik dalam konteks agama, ekonomi, pertanian dan
aktivis perempuan.
Gapura, 27 Agustus 2023
Komentar