Pentingnya Etika Memilih Guru dalam Keilmuan

 

Oleh: Matroni Muserang*

 

Di Korea seorang artis akan di blok (tidak diakui lagi keartisannya) jika memiliki prilaku yang tidak etis atau memiliki latar belakang membully teman di masa remaja misalnya. Menjadi  artis di Korea benar-benar harus memiliki etika yang baik sejak kecil. Di dunia Islam begitu banyak cerita dan contoh-contoh betapa pentignya memilih guru. Artinya etika berlaku untuk semua kalangan makhluk hidup, kita tahu bahwa etika merupakan fondasi dalam menapaki kehidupan, menapaki proses intelektual, menapaki dalam mencari pekerjaan dan menapaki dalam proses komunikasi.

Cerita di Korea ini saya ambil sebagai contoh sederhana bahwa dalam dunia artis saja begitu ketatnya dan begitu pentignya sebuah etika, apalagi dalam dunia keilmuan. Ilmu yang jelas-jelas peta bagi kita untuk membawa manusia sampai keperkampungan Tuhan. Dalam hal ini saya mencontohkan memilih pondok pesantren yang secara dunia guru menjadi sentral yaitu kiai, bindara dan menantu kiai sebagai contoh keilmuan dan contoh etika “terbaik” bagi santrinya. Bagi santri kiai, dan bindara menjadi tokoh tunggal dalam teladan kebaikan etika dan ilmu.

Disinilah kita membutuhkan daya kritis membaca etika yang terdapat dikedalaman karakter kiai dan bindara atau tokoh agama. Cara untuk melihat etika gampang, kita lihat tata caranya dalam mencari nafkah keluarga, tatacara berpolitik, tatacara kehidupan kesehariannya. Dengan ketajaman daya kritis sosial-religius kita akan tahu bahkan sangat tampak jelas. Bagi kita yang tidak mampu membaca hal itu, ada kemungkinan tertutup oleh keyakinan dan tradisi bahwa sang tokoh agama itu sosok yang “pasti benar”. Bahasa “pasti benar” ini berbahaya bahkan bisa menutup daya kritis kita.

Padahal di tengah ketakmenentuan zaman dan di tengah tamaknya manusia yang diakibatkan kapitalisme global yang tidak disadari kita, daya kritis benar-benar dibutuhkan untuk menjaga “kemurnian etika”. Untuk menjaga “kemurnian etika” pertama kita harus memiliki daya kritis dalam membaca sosok tokoh agama, kedua pikiran dan hati kita harus bersih dari iri dan dengki, ke tiga selalulah asa daya kritis dengan membaca.

Sebab kalau kita salah memilih guru sebagai patutan atau teladan keilmuan, dapat dipastikan kita akan salah dan tidak selamat di dunia dan akhirat. Artinya kalau ada sosok tokoh agama yang tata caranya tidak sesuai, tentu kita harus menghindari dan tidak mencontohnya, karena biasanya kalau tokoh agama menutup diri, karena dirinya sudah merasa benar dan santri tidak akan berani mengkritik kebobrokan yang tampak itu, makanya ada doa yang berbunyi, “tutupilah celah dan keburukan guruku”. Hal ini agar tetap terjaga kemurnian ilmu dan etika yang kita akan petik dari sosok guru tersebut.

Seperti apa sosok yang ideal itu, tanya seorang santri. Pertama dia yang tidak tamak, tidak sombong, dan gawat, kedua tata cara mencari nafkah keluarga tidak melanggar aturan negara, ke tiga dia yang tidak mengagung-agungkan kealimannya sendiri, ke empat dia yang memiliki rasa ingin belajar pada siapa pun termasuk pada santrinya sendiri. Karena kadang sang tokoh agama itu tidak yakin bahwa jimat etika sama pentingnya dengan shalat, puasa, haji, mengenakan jilbab bahkan umroh.

Buat ap akita ikut hataman kitab, menumpuk kitab dan buku jika jauh dari efek sosial? Iya buat agamaku. Lalu agamamu buat apa? Tentu agama ini untuk sosial, andai tidak ada sosial dapat dipastikan agama tidak mungkin ada. Jadi, jangan mentang-mentang paling alim agama lalu tidak memedulikan negara, karena negara di anggap dzalim pada masyarakat, padahal yang lebih dzalim itu adalah orang yang “paham agama” tapi tidak mengindahkan aturan negara (syariat).

Sudah saatnya manusia abad ini membuka dan mengasah daya kritis itu agar anak kita tidak masuk pada gerbang kemerosan etika. Tentu hal ini harus mulai dari sejak kita mencari sekolah dan pondok pesantren untuk anak-anak kita. Jangan sampai anak-anak kita dipondokkan ke sosok yang saya sebutkan di atas pun dengan sekolah. Kalau kita salah, kasihan anak kita menyerap ilmu dari sosok yang etikanya bobrok, karena etika lagi-lagi merupakan fondasi keilmuan bahkan keimanan anak kita dalam menapaki kehidupan.

Maka orang tua sebagai penentu anak dalam menapaki pondok dan sekolah. Hari ini tidak bisa kita mengukur sanad keilmuan pondoknya harus sama dengan sesepuh kita, atau karena dulu sesepuh kita sekolah di sana atau di sini, hari ini kita harus membaca dulu sosok, siapa yang yang kini menjadi pengasuh dan guru-guru yang mengajar, sebab kalaut tidak anak kita akan salah mencontoh keteladanan tokoh agama.

Anak kita adalah asset keilmuan, kalau kini banyak pelecehan seksual, tawuran, anak-anak membunuh, bahkan santri mencuri, atau nakal, jangan kemudian kita menyalahkan santri atau siswa, tanyakan dulu pada dirimu sendiri, apakah kita sudah benar dan baik tata cara mencari nafkah? Benar di sini sesuai dengan tata cara syariat (negara dan agama)?. Jangan-jangan kita jadi guru karena sertifikasinya, jadi guru ngaji karena ada bantuannya, atau karena isi salaman (buana pondok atau buana langar) kata orang Madura.

Dengan demikian, marilah kita rawat daya kritis kita hari ini, carilah sosok yang bisa dijadikan teladan, teladan keilmuan dan teladan dalam etika, sebab itu juga bagian dari car akita mendidik anak-anak kita. Madrasah pertama itu keluarga artinya di mulai dari cara kita memberi nafkah pada anak, dapat darimana uang yang kita berikan untuk keluarga kemudian dimakan lalu menjadi darah, daging, dan tulang, lalu menjadi karakter.

 

 

Sumenep, 9 April 2023.   

 

 

    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani