Kemerdekaan: Antara Tragedi dan Komedi
Oleh: Matroni Muserang*
Kemerdekaan
yang ke-77 tahun ini, selalu sama dengan tahun-tahun sebelumnya yaitu semarak
lomba, gerak jalan, dan sederet keramaian lain yang dianggap meramaikan hari
kemerdekaan Republik Indonesia artinya perayaan kemerdekaan di isi oleh
pertunjukan dan perlombaan.
Semarak
kemerdekaan yang diisi pertunjukan dan perlombaan tanpa mempertimbangkan spirit
nilai substansial dari kemerdekaan itu akan menghilangkan bahkan “membunuh”
nilai-nilai kesejarahan dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia,
bahwa di dalam kemerdekaan itu ada pertumpahan perjuangan, pertumpahan nyawa
dan raga bahkan jiwa akan sirna oleh keramaian lomba tanpa refleksi
kesejarahan.
Refleksi
kesejarahan dalam moment kemerdekaan Indonesia sebuah keniscayaan, sebab tanpa
ada upaya kearah refleksifitas kesejarahan kemerdekaan Indonesia akan sia-sia
dirayakan tanpa makna apa-apa bagi generasinya. Generasi kita hanya akan tahu
bahwa kemerdekaan hanya berisi lomba, liburan sekolah dan upacara kemerdekaan.
Selebihnya tidak ada.
Kemerdekaan itu
sebuah harapan besar bagi kemerdekaan Indonesia, bukan ratapan apalagi komedian.
Harapan itu merupakan sebuah spirit nilai-nilai yang terkandung dikedalaman
kemerdekaan, oleh karenanya perayaan kemerdekaan itu penting kemudian ada sisi
refleksifitas kesejarahan sebagai bagian dari proses kemerdekaan yang tidak
muda didapatkan dari penjajah.
Kalau kita
tanyakan, apa hubungan lomba makan krupuk, lomba lari karung, lomba seragam
baju terhadap kemerdekaan? Tentu hanya hiburan, kalau di cari alasannya
kebersamaan dan kekompakan. Lalu kebersamaan dan kekompakan dalam hal apa dan
untuk siapa?
Pancasila
sebagai payung besar bagi nilai-nilai universal yang tersimpan dikedalaman Pancasila
sama sekali tidak akan terkuak bila kemerdekaan dimaknai sebagai sebuah
comedian sesaat, lalu What’s nex? Padahal perayaan kemerdekaan yang ke-77 itu
gambaran kita nanti. Padahal kalau kita refleksikan ternyata kita masih
terjajah. Terjajah oleh teknologi, terjajah oleh gaya hidup, terjajah oleh
kroposnya mental pemimpin. Pikiran kita terjajah, identitas sosial pun
terjajah. Tiadanya panutan moral, karakter, dan pola pikir. Apalagi muncul
pancasila bersyari’ah, padahal Pancasila tanpa embel-embil syari’ah lebih
bersyariah daripada Pancasila bersyari’ah. Ada-ada saja orang.hahahaha.
Lalu mengapa
generasi ini yang memiliki “integritas” memadai justeru muda tergoyahkan?
Padahal kita dijajah 350 tahun, secara logika tidak mungkin Kemerdekaan itu
bisa kita gapai. Tapi dengan spirit religiusitas dan nasionalitas yang dimiliki
Soekarno pelan-pelan kemerdekaan bisa kita raih. Artinya kemerdekaan ini tidak
diambil secara gratis, akan tetapi dibutuhkan spirit strategi dan metode dari
Soekarno agar Indonesia harus merdeka. Yang diumumkan pada pukul 10 WIB,
tanggal 10 Ramadhan dengan perintah dari K.H Hasyim Asy’ari maka kemerdekaan
itu diumumkan.
Lalu pendiri
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bersepakat bahwa fondasi dan
ideologinya adalah Pancasila. Oleh karena itu penting kemudian membaca
Pancasila tidak lepas dari nilai-nilai universal dari sebuah kemerdekaan yang
sebenarnya mengandung nilai perjuangan yang tidak mudah didapatkan. Lalu
seremonialitas pertunjukan dan perlombaan itu harus direfleksikan sebagai
sebuah jawaban bagi kemerdekaan, jika tidak ada hubungan yang substansial
dengan kemerdekaan lebih baik dana pertunjukan dan perlombaan diberikan kepada
fakir yang dimiskinkan system pemerintahan yang korup.
Pancasila sudah
saatnya dikembalikan pada sebuah kekuatan pikiran, dan jiwa manusia Indonesia
untuk terus menjaga dan mengawal kemerdekaan yang sesungguhnya. Sebab
kemerdekaan itu hak segala bangsa. Artinya jika ada manusia Indonesia secara
materi masih jauh dari layak jangan katakana Indonesia merdeka. Pancasila sudah
saatnya menjadi kekuatan mental dan pikiran Indonesia. Itulah moment yang harus
dilakukan di tengah semarak pertunjukan dan perlombaan, sehingga Pancasila
melahirkan integrasi bangsa, sosial, keilmuan, budaya dan integrasi pelestarian
lingkungan.
Dari itulah,
penting bagi manusia yang dimerdekaan dari hasil jerih kemerdekaan ini untuk
terus belajar dan membaca untuk menghadirkan pendidikan pancasila dan kewarganegaraan
yang berkualitas. Dari pendidikan yang berkualitas itulah pembangunan
mental-mental kebangsaan itu hidup di kedalaman jiwa bangsa dan negara. Maka
dari sini pulalah keseimbangan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia
(SDM) akan tercapai. Tidak lagi pembisnis illegal, perusaan illegal, dan
koruptor. Sebab kalau tidak kemerdekaan itu akan melahirkan manusia-manusia
yang memiliki daya pandang pendek, literisinya pun akan buruk, asal viral, asal
jiplak, itulah problem kepancasilaan yang serius sebenarnya. Lalu apa implikasi bila manusia seperti itu?
Dengan
demikian, harus dimulai dari literasi yang baik, anak-anak diberi simulasi di
ruang kelas agar kenal dengan pahlawan Indonesia. Di tingkat PAUD, TK, dan
SD/MI kita beri foto satu persatu pahlawan lalu dijelaskan satu persatu,
anehnya gurunya pun tidak paham sejarah pahlawan Indonesia, karena tingkat
literasinya dikalangan guru pun sangat amat minim.hahaha. Apakah masih akan
dikatakan pelajar Indonesia bila literasinya masih buruk?
Semoga
nilai-nilai universal Pancasila menyertai kita dalam menjalankan kehidupan,
agar kita lebih tangguh, lebih inklusif-transformatif-kritis dan lebih
mencerdaskan.
*Dosen Filsafat Prodi Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan STKIP PGRI Sumenep
Sumber: Radar Madura, 21 Agustus 2022
Komentar