Merayakan “Kematian Ta’lim Bil Isyarah”

 
Oleh: Matroni Muserang*

 Salah satu tanda bahwa ta’lim bil isyarah itu mati pertama tokoh agama yang tidak mengindahkan nilai-nilai keagamaan, kedua tokoh pendidikan agama islam tapi tidak mengamalkan nilai-nilai keberislaman, ketiga tokoh yang tidak mengindahkan Undang-Undang Negara sebagai rumah bersama. Ke empat tokoh yang mengagung-agungkan keturunan dan identitas sosialnya. Ke lima tokoh yang egois terhadap ilmu dan pengetahuan lain selain kitab klasik.

Mari kita diskusi bersama dan tulisan ini tentu jauh dari sempurna karena saya akan refleksikan lima hal ini sependek pengetahuan saya, pertama tokoh agama yang tidak mengindahkan nilai-nilai keagamaan contohnya di dalam ajaran agama tentang jujur, tidak sombong, akan tetapi faktanya banyak di antara kita yang tidak jujur, tidak jujur ini bisa saja terjadi dimana saja, baik dalam laporan keuangan, cara membuat RAP, tidak jujur pada diri sendiri artinya sudah tahu salah masih saja dilakukan, sudah tahu lapar tidak makan, tidak jujur pada waktu, artinya tidak tepat waktu, seharusnya jam 7 di kantor tapi masih di jalan. Ini baru satu perintah agama yaitu jujur belum yang lain.

Kedua tokoh pendidikan agama islam tapi tidak mengamalkan nilai-nilai keberislaman contohnya dari kecil pendidikannya di madrasah atau di pesantren, sudah alim dalam ajaran islam sudah bisa baca kitab klasik (gundul), tapi ia hanya bisa membaca dan tahu artinya, tapi tak paham makna kontekstualnya. Salah satu pendidikan islam adalah dilarang bermusuhan, tapi ketika cek lapangan dan keseharian justeru yang banyak bermusuhan orang-orang islam, entah bermusuhan karena beda partai, entah karena beda pilihan dan berbeda karena kepentingan.

Ketiga tokoh yang tidak mengindahkan Undang-Undang Negara sebagai rumah bersama, contohnya pembisnis rokoh illegal yang dilakukan para tokoh atau kiai. Padahal dalam ajaran islam kita harus taat ulil amri atau pemimpin. Kalau saya mengibaratkan bagaimana seorang ayah dalam keluarga yang tidak ditaati anak-anaknya. Padahal tokoh yang berbisnis rokok illegal paham agama islam, buktinya paham agama islam, ia keturunan kiai bahkan menantunya kiai.

Ke empat tokoh yang mengagung-agungkan keturunan dan identitas sosialnya, dikalangna para kiai atau tokoh bangga dengan keturunan ini masih menjadi karakter, sehingga kalau keturunan kiai dan menantu kiai seolah-olah suci dari dosa, suci dari amoral, sehingga ketika berbisnis rokok illegal yang jelas-jelas berdosa tidak berani orang apalagi santrinya mengkritik.

Ke lima tokoh yang egois terhadap ilmu dan pengetahuan lain selain kitab klasik, contohnya ketika sudah sah menurut fikih ansich di anggap baik dan pantas dilaksanakan, padahal kepantasan dan sahnya harus disesuaikan dengan konteks. Kalau konteks Indonesia tentu kita harus alim ilmu-ilmu budaya, ilmu-ilmu yang lain selain agama. Akhirnya ada justifikasi bahwa belajar ilmu umum itu tidak wajib, yang wajib hanya ilmu agama. Ini kan pernyataan yang tidak baik bahasa kasarnya orang yang berkata begitu jelas-jelas mereka pasti tidak belajar ilmu umum hanya belajar ilmu agama (kitab klasik) sejak kecil. Sehingga memiliki pemahaman jika melanggar undang-undang negara di langgar tidak apa-apa.

Lima penyebab kematian itu sebenarnya bagi yang melakukan ia tidak akan merasakan, sebab sudah biasa dan nyaman. Padahal kalau kita refleksikan dengan menggunakan ahlakul karimah yang menyeluruh tentu tokoh tersebut tidak akan melakukan lima hal itu, Karena sifat dorongan nafsu dan kesombongan yang dianggap nyaman itulah dia kemudian mencari dalil fikih tanpa mencari dalil ahlakul karimah yang sebenarnya harus berjalan bersama dalam menjalani aktivitas hari-hari.

Apa akhlakuk karimah? Adalah sebuah nilai universal yang jika kita menjadi tokoh harus mempertimbangkan segalanya, sebab seorang tokoh akan menjadi panutan santri dan panutan masyarakat. Maka dapat dipastikan agama akan mati, jika seorang tokoh tidak mengajarkan nilai-nilai ahlakul karimah. Itulah esensi dari ta’lim bil-isyarah, yaitu pendidikan melalui contoh. Memberikan contoh pada santri dan masyarakat.

Contoh mentaati negara, contoh mentaati Undang-Undang Negara, contoh menjadi sosok yang tidak egois dan ini semua ada di figur atau seorang tokoh. Dengan demikian, jika seorang tokoh tidak lagi mengindahkan ajaran dan nilai-nilai akhlakul karimah itu artinya ta’lim bil-isyarah sudah mati, dikubur oleh tanah-tanah egois, dikubur oleh kebodohan-kebodohan.

 

Battangan, 8 Juli 2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani