Merayakan “Kematian Ta’lim Bil Isyarah”
Mari kita
diskusi bersama dan tulisan ini tentu jauh dari sempurna karena saya akan
refleksikan lima hal ini sependek pengetahuan saya, pertama tokoh agama
yang tidak mengindahkan nilai-nilai keagamaan contohnya di dalam ajaran agama tentang
jujur, tidak sombong, akan tetapi faktanya banyak di antara kita yang tidak
jujur, tidak jujur ini bisa saja terjadi dimana saja, baik dalam laporan
keuangan, cara membuat RAP, tidak jujur pada diri sendiri artinya sudah tahu
salah masih saja dilakukan, sudah tahu lapar tidak makan, tidak jujur pada
waktu, artinya tidak tepat waktu, seharusnya jam 7 di kantor tapi masih di
jalan. Ini baru satu perintah agama yaitu jujur belum yang lain.
Kedua tokoh
pendidikan agama islam tapi tidak mengamalkan nilai-nilai keberislaman
contohnya dari kecil pendidikannya di madrasah atau di pesantren, sudah alim
dalam ajaran islam sudah bisa baca kitab klasik (gundul), tapi ia hanya bisa
membaca dan tahu artinya, tapi tak paham makna kontekstualnya. Salah satu
pendidikan islam adalah dilarang bermusuhan, tapi ketika cek lapangan dan
keseharian justeru yang banyak bermusuhan orang-orang islam, entah bermusuhan karena
beda partai, entah karena beda pilihan dan berbeda karena kepentingan.
Ketiga tokoh
yang tidak mengindahkan Undang-Undang Negara sebagai rumah bersama, contohnya
pembisnis rokoh illegal yang dilakukan para tokoh atau kiai. Padahal dalam
ajaran islam kita harus taat ulil amri atau pemimpin. Kalau saya mengibaratkan
bagaimana seorang ayah dalam keluarga yang tidak ditaati anak-anaknya. Padahal tokoh
yang berbisnis rokok illegal paham agama islam, buktinya paham agama islam, ia
keturunan kiai bahkan menantunya kiai.
Ke empat
tokoh yang mengagung-agungkan keturunan dan identitas sosialnya, dikalangna
para kiai atau tokoh bangga dengan keturunan ini masih menjadi karakter,
sehingga kalau keturunan kiai dan menantu kiai seolah-olah suci dari dosa, suci
dari amoral, sehingga ketika berbisnis rokok illegal yang jelas-jelas berdosa
tidak berani orang apalagi santrinya mengkritik.
Ke lima
tokoh yang egois terhadap ilmu dan pengetahuan lain selain kitab klasik, contohnya
ketika sudah sah menurut fikih ansich di anggap baik dan pantas dilaksanakan,
padahal kepantasan dan sahnya harus disesuaikan dengan konteks. Kalau konteks
Indonesia tentu kita harus alim ilmu-ilmu budaya, ilmu-ilmu yang lain selain
agama. Akhirnya ada justifikasi bahwa belajar ilmu umum itu tidak wajib, yang
wajib hanya ilmu agama. Ini kan pernyataan yang tidak baik bahasa kasarnya
orang yang berkata begitu jelas-jelas mereka pasti tidak belajar ilmu umum
hanya belajar ilmu agama (kitab klasik) sejak kecil. Sehingga memiliki
pemahaman jika melanggar undang-undang negara di langgar tidak apa-apa.
Lima penyebab
kematian itu sebenarnya bagi yang melakukan ia tidak akan merasakan, sebab
sudah biasa dan nyaman. Padahal kalau kita refleksikan dengan menggunakan
ahlakul karimah yang menyeluruh tentu tokoh tersebut tidak akan melakukan lima
hal itu, Karena sifat dorongan nafsu dan kesombongan yang dianggap nyaman
itulah dia kemudian mencari dalil fikih tanpa mencari dalil ahlakul karimah
yang sebenarnya harus berjalan bersama dalam menjalani aktivitas hari-hari.
Apa akhlakuk
karimah? Adalah sebuah nilai universal yang jika kita menjadi tokoh harus
mempertimbangkan segalanya, sebab seorang tokoh akan menjadi panutan santri dan
panutan masyarakat. Maka dapat dipastikan agama akan mati, jika seorang tokoh
tidak mengajarkan nilai-nilai ahlakul karimah. Itulah esensi dari ta’lim
bil-isyarah, yaitu pendidikan melalui contoh. Memberikan contoh pada santri dan
masyarakat.
Contoh mentaati
negara, contoh mentaati Undang-Undang Negara, contoh menjadi sosok yang tidak
egois dan ini semua ada di figur atau seorang tokoh. Dengan demikian, jika
seorang tokoh tidak lagi mengindahkan ajaran dan nilai-nilai akhlakul karimah
itu artinya ta’lim bil-isyarah sudah mati, dikubur oleh tanah-tanah egois,
dikubur oleh kebodohan-kebodohan.
Battangan, 8 Juli 2022
Komentar