Darurat Keteladanan = Merayakan Kematian
Oleh: Matroni Musèrang
![]() |
Masyarakat kini ada dipusaran keterbukaan, sehingga masyarakat pelosok pun dengan muda mengakses informasi tanpa batas. Dengan tanpa batas kita mengakses, tanpa batas pula daya konsumsi informasi menjadi asupan harian. Akhirnya asupan itu sebuah keniscayaan. Akibatnya ada yang lupa makan, lupa mengerjakan Pekerjaan Rumah, bahkan lupa shalat dan keterlupaan-keterlupaan yang lain.
Ini benih awal
“kematian” itu, kita tidak lagi peduli akan hal-hal yang sifatnya immateri,
karena di kepung materi yang menjanjikan dan diagungkan bahkan dituhankan. Oleh
karena itu, siapa yang bertanggungjawab atas hal ini, tentu ini masalah
bersama, kalau lebih khusus tentu kita membutuhkan sosok yang mampu memberikan uswah
(keteladanan) bagi masyarakat, kalau di pondok keteladanan bagi santri,
kalau di sekolah keteladanan bagi siswa, kalau perguruan tinggi keteladanan
bagi mahasiswa.
Kalau kita cek,
akhir-akhir justru kita dikagetkan dengan perlakuan dan pelecehan seksual di
perguruan tinggi pun di jawab Barat yang menghamili santrinya, belum lagi
mafia-mafia, hal itu menjadi bukti nyata bahwa kini kita berada di tengah darurat
keteladanan di berbagai hal.
Padahal kalau
kita belajar pada Nabi Muhammad SAW (bagi yang mau), keberhasilan Nabi Agung
dalam mengislamkan itu dikarenakan “keteladanan”, lalu bagaimana konteks hari
ini keteladanan itu mampu menjadi keseharian kiai, guru, dosen dan pengusaha?
Tentu keteladanan dalam konteks kemanusiaan, bukan konteks keagamaan, saya kira
keteladanan Nabi Agung kita bukan sekadar keteladanan dalam konteks keagamaan,
akan tetapi dalam konteks kenegaraan, dimana waktu itu pemimpin negara adalah
Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Jika Islam hanya ibadah dan muamalah, niscaya
Rasulullah SAW tidak akan pernah di angkat pemimpin dan tidak akan maju di
medan perang.
Sebagai warga
negara (yang mengakui NKRI Harga Mati) tentu kita menjadi teladan menjadi warga
negara dan menjadi pemangku negara dalam setiap aktivitas sosialnya dengan baik.
Meskipun hal ini “masih jauh dari harapan”, sebab dewasa ini di desa (tidak
semua desa) untuk memilih kandidat kepala desa sudah “harus” memberi bekal
(uang untuk nyoblos) harga suara pun macam-macam, tanpa saya sebut berapa.
Kalau hal ini
menjadi “tradisi” setiap pemilihan, kita tinggal menunggu kematian moral,
etika, ahlaq bahkan kematian Tuhan, mengapa tidak? Ketika perintah Tuhan hanya
diketahui tanpa ada ijtihad untuk melaksanakan, diperintah taat pada negara
atau pemimpin (ulil amri), justru korupsi dan menjadi pengusaha ilegal. Kalau
tradisi ini terus-menerus ditradisikan dengan dalih “akadnya" sah, maka
kematian keteladanan menunggu kita semua. Jadi saya merasa betul apa yang
dikatakan filosof Nietzsche bahwa Tuhan Telah Mati, siapa pembunuhnya? Tentu
kita sendiri, ko’ bisa? Di saat perintah Tuhan tidak lagi menjadi pertimbangan
dan tidak lagi penting, yang penting “aku kaya” meskipun hasil dari suap, uang
dari usaha illegal. Lalu dimana makna keteladanan bila karakternya adalah
“aku”.
Kharisma seorang
pemimpin, guru, dosen bahkan kiai pun akan dikebumikan bersamaan dengan dibumikannya
keteladanan. Sebab bintang-bintang pengetahuan, bulan ilmu, matahari tauhid tidak
akan hidup dikedalaman batin manusia padahal itu adalah hati dan relung batin manusia
kata Ibnu Atha’illah as-Sakandari, dalam hikam, kitab pertama di nomor 153).
Mereka hanya
mampu Kasyaf shuwari (pengungkapan bentuk), tanpa mampu kasyaf
maknawi (pengungkapan immateri), inilah yang disebut sebagai zaman manusia
hanya tahu pada bentuk tanpa tahu isi, hanya tahu baca tanpa tahu arti. Hanya
tahu cahaya tanpa tahu daripada lahirnya sebuah cahaya. Belum lagi ke-aku-an
identitas sosial yang melekat pada diri seorang, yang merasa dirinya keturunan
“darah biru”.
Betul memang,
kita hari ini berkecimpung dengan bentuk-bentuk (“lipstick”) tanpa
peduli dibalik bentuk. Mengapa tidak? Di satu sisi kita dituntut untuk sekolah
dan kuliah agar wawasan kita tidak sempit, tapi disisi yang lain kadang kita
meninggalkan sisi pendidikan moral, padahal moral ini seharusnya menjadi
sajadah ilmu pengetahuan, artinya ilmu pengetahuan tidak memiliki makna apa-apa
tanpa adanya moral. Tentu antara moral dan ilmu pengetahuan harus selalu
berganding tangan menuju suatu tujuan.
Etika dan tata
nilai bisa menjadi pedoman berkehidupan dalam negara. Ibnu Taimiyah juga
mengatakan bahwa agama tidak bisa direalisasikan tanpa negara dan Penegakan
pemerintahan merupakan perintah agama.
Kita sudah
sampai di ruang pendidikan yang tidak lagi hitam-putih paradigmanya, akan
tetapi pendidikan kita sudah sampai di kampung yang membutuhkan sinergitas.
Misalnya pendidikan matematika sudah saatnya bersinergi dengan moral atau
mental, sebab kalau tidak ada siniergi atau integritas maka pendidikan yang
kita miliki hanya akan menjadi biang dan akan menciptakan karakter-karakter
pragmatis-materialis-egois. Karakter ini akan mendiami manusia selagi manusia
ini belum mendapatkan hidayah (Matroni Muserang: Pendidikan yang Tak
Mendidik, Radar Madura, 15/11/2021).
Di sini
pentingnya ada interkonektif keilmuan, sebab kalau kita menggunakan fikih sentris
(sebagai contoh), menjual rokok illegal pun sah menurut fikih, tapi di sana ada
unsur (uswah) keteladanan, menjadi tidak baik secara etika, jika seorang
tokoh atau pemimpin memiliki perusahaan illegal, bagaimana masyarakat nantinya,
nanti kan meniru bahkan akan lebih parah, kayak pepatah, jika guru kencing
berdiri, siswa kencing lari. Berarti menjual narkoba juga sah dan menjual
wanita pun sah, jika menggunakan akad jual beli, kita tahu bahwa agar hukum
jual beli sah adanya pembeli dan penjual yang melakukan transaksi dengan sadar,
menyadari dan ridha.
Dengan
demikian, kita sebagai figur tentu harus berpikir ulang jika mau mambangun
bisnis illegal. Bagi saya urusan bisnis ini pribadi, tapi jika seorang figur
yang memiliki hal itu, kita menunggu waktu berapa banyak akan lahir pebisnis
yang lahir dan lebih parah dari yang dilakukan tokoh tersebut. Semoga mereka
paham apa akan pemikiran agama (bukan agama).
Komentar