BAHTSUL MASAIL YANG MISKIN PARADIGMA
Oleh: Matroni Muserang*
Pada tanggal 13 Maret 2022, Acara bahtsul masail Pengurus Cabang Nadhlatul Ulama Sumenep yang bertempat di desa Batudingding kecamatan Gapura tepatnya dirumah H. Alwi yang kebetulan membahas rokok illegal, dalam tulisan ini saya bukan mengacu pada hasil keputusan, tapi saya gelisah terhadap nuansa keilmuan yang dibangun ketika para mujawwib menjawab yang terlalu tekstual. Kegelisahan ini lahir ketika saya bertemu dengan maqasid al-syariah yang dibangun oleh Jasser Auda.
Begini kata Auda dalam bukunya “Maqasid
Shariah as Philosophy of Islamic Law” bahwa Pemikiran Maqasid al Syari’ah berawal dari kegelisahan Jasser Auda terhadap
Usul al-Fiqh tradisional. Pertama, Usul alFiqh terkesan tekstual
dan mengabaikan tujuan teks. Pembacaan literal dan tekstual ini merupakan
dampak dari terlalu fokusnya ulama usul alFiqh terhadap aspek bahasa. Bahkan
menurut Jamal al-Bana, perhatian ulama usul al-Fiqh terhadap aspek kebahasaan
lebih besar ketimbang ahli bahasa itu sendiri. Meskipun kajian bahasa penting,
namun menjadikannya dasar tunggal perumusan hukum adalah sebuah masalah.
Dikatakan bermasalah karena pendekatan linguistik seringkali melupakan maksud
inti dan tujuan syariah itu sendiri. Kedua, Klasifikasi sebagian teori
usul al-Fiqh mengiring pada logika biner dan dikotomis, misalnya pembagian qat’i
dan dhanni, ‘am dan khas, mutlaq dan muqayyad.
Masing-masing kategori ini, menurut ulama tradisional penting untuk
diperhatikan dalam istinbath hukum, terutama ketika ada kontradiksi dalil.
Apabila ada kontradiksi dalil, maka dalil yang dianggap qat’i lebih
didahulukan ketimbang dalil dhanni, dalil khas didahulukan
dibanding dalil ‘am dan dalil muqayyad lebih diutamakan ketimbang
dalil mutlaq.
Menurut Jasser Auda, memahami dalil berdasarkan kategori
seperti ini akan mengabaikan tujuan teks yang dianggap kontradiksi tersebut
memiliki tujuan berbeda dan berada pada konteks yang berbeda pula, sehingga
keduanya dapat diamalkan selama tujuan dan konteksnya masih sama. Ketiga,
Analisa usul al-fiqh bersifat reduksionis dan atomistik, alih-alih holistik dan
komprehensif. Analisa reduksionis atau parsial ini berasal dari kuatnya
pengaruh logika kausalitas dalam usul al-fiqh. Sebagaimana diketahui, logika
kausalitas pernah menjadi trend pemikiran dan sering digunakan filosof muslim
dalam beragumentasi, terutama dalam ilmu kalam. Pengaruh logika kausalitas ini
membuat ahli usul hanya mengandalkan satu dalil untuk menyelesaikan kasus yang
dihadapinya, tanpa memandang dalil lain yang masih terkait dengan persoalan
tersebut. Parahnya, pendekatan reduksionistik dan atomistik ini sangat dominan
digunakan dalam sebagian teori usul fiqh dan istimbat hukum bahkan keputusan
hukum.
Selain kritik terhadap usul al-fiqh, Jasser Auda
pun memberikan catatan kritis atas teori maqasid yang dikembangkan pada abad
klasik. Menurutnya, di sana terdapat empat kelemahan. Pertama, teori
maqasid klasik tidak memerinci cakupannya dalam bab-bab khusus sehingga tidak
mampu menjawab secara detail pertanyaan-pertanyaan mengenai persoalan tertentu.
Kedua, teori maqasid klasik lebih mengarah pada kemaslahatan individu,
bukan manusia atau masyarakat secara umum; perlindungan diri/nyawa individu,
perlindungan akal individu, perlindungan harta individu dan seterusnya,
sehingga hukum islam bisa di pesan. Ketiga, klasifikasi maqasid
klasik tidak mencakup prinsip-prinsip utama yang lebih luas, misalnya keadilan,
kebebasan dan berekspresi. Keempat, penetapan maqasid dalam teori
maqasid klasik bersumber pada warisan intelektual fiqh yang diciptakan
oleh para ahli fiqh.
Perbedaan penafsiran dari teks-teks keagamaan yang
seharusnya menjadi bahan bertoleransi ini oleh sebagian pihak dijadikan pemicu
terjadinya istimbat hukum yang sepihak. Hal ini tidak lain karena klaim
kebenaran mutlak sangat dijunjung oleh masing-masing mujawwib yang memiliki
kepentingan, sehingga mengabaikan hukum yang lain yang sekiranya lebih maslahah.
Maslahah pun kalau atas nama NU tentu maslahah untuk masyarakat atau warga.
Saya melihat perjalanan Bahtsul Masail (BM) ini masih
sebatas tekstual tanpa mempertimbangkan kontekstual, misalnya rokol ilegal ini
mengacuh dan mengandung unsur “suap” agar lolos dari jerat hukum, atau dampak
bagi warga itu apa. Artinya menghubungkan maslahah dan Maqasid sebagai suatu kaidah pokok dengan menyatakan
“suatu bagian dari hukum islami, yang didasari oleh syari‟at, tidak dapat
dianggap sebagai al-Maqasid, kecuali terpaut padanya suatu sasaran yang sah dan
dapat meraih kemaslahatan atau mencegah kemafsadahan”.
Untuk menjadi mujawwib tentu harus melibatkan unsur
kognitif (cognitive nature), artinya bukan satu referensi kitab itu saja
harus melibatkan konteks hukum itu dilahirkan. Keputusan-keputusan hukum dari
seorang pemimpin pun harus demikian, dalam salah satu kaidah usul al-fiqh
diungkapkan „Tasharruf Al-Imam Manuthun Bi Al-Maslahah‟ yaitu kebijakan
seorang pemimpin (harus) mengacu pada kemaslahatan yang dipimpin
(masyarakatnya). Betapapun, mewujudkan keadilan dan kemaslahatan dari suatu
produk hukum di tengah-tengah masyarakat adalah upaya yang tidak mudah dan
harus melibatkan komponen-komponen yang saling berkaitan.
Misal di samping melibatkan unsur kognitif Jasser Auda juga
menuturkan harus melibatkan unsur saling keterkaitan (interrelated),
keutuhan (wholeness), keterbukaan (openess),
multi-dimensionalitas (multidimentionality) dan kebermaknaan (purposefulness).
Enam unsur saya kira penting dimiliki oleh santri yang mampu membaca kitab
klasik agar pemahaman tentang hukum tidak tekstual, tapi teks itu membutuhkan
kontekstual, seperti dalam hukum islam kita membutuhkan ushul fiqih tau tarikh
tasyari’ misalnya.
Nuansa BM seharusnya tercermin akademiknya, karena produk
keputusan ini akan dikonsumsi warga Nahdliyyin, meskipun hasil keputusan BM ini
tidak dipublik oleh LTNNU PC NU Sumenep sebagai media penerbitan. Artinya BM
secara ideal seharusnya ini menjadi sumber rujukan hukum khususnya di Sumenep,
tapi kalau hasil BM ini tidak diseriusi maka acara BM ini hanya menjadi ritual
formalitas an sich, tanpa memberikan pengetahuan baru dalam konteks hukum
islam.
Kita tahu bahwa khazanah
keilmuan Fikih lama tidak lagi memadai untuk menjawab berbagai persoalan kontemporer
yang kompleks akibat perubahan konteks ruang, waktu, budaya, dan ilmu
pengetahuan kontemporer. Meskipun ada upaya dari pemikir Neo-Tradisionalis yang
menjadikan Fiqh Muqāran (perbandingan antar-mazhab) sebagai alternatif solusi,
tetap saja masih muncul sejumlah keputusan hukum yang terasa dipaksakan dan
kedaluwarsa, sehingga posisinya tidak lagi menyelesaikan tetapi justru menambah
masalah. Itulah mengapa upaya reformasi terhadap pemahaman dan penafsiran
ajaran Islam seharusnya tidak ditujukan pada hukum Islam atau Fikih, melainkan
ditujukan langsung pada hukum Islam atau usul al-fiqh yang merupakan produsen
hukum-hukum Fikih. Bahkan ta’shil al-ushul (pembuatan basis untuk ushul
fikih) jauh lebih fundamental dan mendesak untuk dilakukan pada era sekarang
ini daripada hanya terhenti pada dataran usul al-fiqh.
Reformasi pertama yang diusulkan Jasser Auda adalah
mereformasi Maqasid Syariah dalam perspektif kontemporer, yaitu dari Maqasid
Syariah yang dulunya bernuansa protection („Penjagaan‟) dan preservation
(„Pelestarian‟) menuju Maqasid Syariah yang bercita rasa Development
(„Pengembangan‟) dan pemuliaan Human Rights („Hak-hak Asasi‟). Bahkan,
Jasser Auda menyarankan agar „pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)‟ menjadi
salah satu tema utama bagi kemaslahatan publik masa kini. Implikasi reformasi
ini adalah dengan mengadopsi konsep pengembangan SDM, realisasi Maqasid Syariah
dapat diukur secara empiris dengan mengambil ukuran dari „target-target
pengembangan SDM‟ versi kesepakatan atau ijma’. Reformasi kedua adalah
Jasser Auda menawarkan tingkatan otoritas dalil dan sumber hukum Islam terkini
di antaranya hak-hak asasi manusia sebagai landasan dalam menyusun tipologi
teori hukum Islam kontemporer.
Sumber: Radar Madura, 3 April 2022
Komentar