Dewan Kesenian Sumenep, Apa Kabar

Oleh: Matroni Muserang*

 

Dulu ada acara silaturrahmi Seniman Sumenep, 200 Seniman 8 Februari 2020 di hotel Utami, saya pun di undang tapi tidak hadir dalam pertemuan tersebut disekpati pertama tidak akan membentuk dewan kesenian, karena dinilai banyak madharatnya daripada manfaatnya, kedua khawatir ada kepentingan, subordinasi, intervensi pemerintah dalam berkesenian, ketiga menghindari terjadinya bentukan seniman plat merah, plat kuning dan plat hitam, keempat membiarkan komunitas/sanggar seni berkembang sesuai habitatnya di masing-masing wilayah dimana mereka berada.

Akhir-akhir ada wacana dari kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata (Disbudporapar) mau membetuk Dewan Kesenian Sumenep (rri.co.id/sumenep 18 Januari 2022), dan saya membaca berita ini pada tanggal 26 Januari 2022. Sebenarnya secara pribadi saya kurang sepakat jika memang tidak akan dibentuk dewan kesenian, apalagi dibiarkan berkembang sesuai dengan habitatnya. Bagi saya berkesenian merupakan komunikasi seni dari berbagai daerah atau komunitas/sanggar, sebab dialektika seni di samping sebuah seni itu sendiri, dialektika itu terjadi diskusi keilmuan seni diberbagai sanggar atau komunitas-komunitas.

Artinya komunitas itu sebagai gerbong untuk mencetak seniman, karena di komunitas itu ada kajian-kajian yang pasti komprehensif tentang keilmuan seni, tentu kajian-kajian itulah yang kemudian membuahkan mentalitas seniman inklusif dalam aktivitas kesenian. Disinilah pentingnya kajian seni dan saya berharap para suhu dewan kesenian sumenep di isi oleh orang-orang yang memang memiliki mentalitas inklusifitas berkesenian.

Saya sebagai orang baru di Sumenep yang tidak tahu dinamika kesenian Sumenep, tentu saya secara pribadi sepakat bahkan harus dibentuk dewan kesenian Sumenep, pengalaman saya ketika ikut event kegiatan seni di berbagai daerah motornya adalah Dewan Kesenian di daerah tersebut, maka orang dinas cukup membentuk saja sebagai mediator karena dewan kesenian itu butuh struktur. Semua kegiatan diserahkan kepada pengurus dewan kesenian, sehingga kegiatan-kegiatan kesenian akan sesuai dengan kebutuhan seniman dan pelaku seni, bukan keinginan orang-orang dinas.

Sebagai orang yang tidak mengetahui dimanika kesenian Sumenep, saya berharap dewan kesenian Sumenep diberikan kepada yang memang tekun berkesenian, kalau di Nahdlatul Ulama yang saya tahu LESBUMI, penting kemudian Lesbumi mengambil kesempatan ini dan melibatkan semua Lesbumi di MWC NU se-Sumenep, sehingga kepengurusan itu terwakili dari berbagai daerah.

Tidak pengurus Lesbumi pun tidak apa-apa, yang penting memiliki kepekaan seni, sehingga ada rasa kepedulian, sebab jika dikedalaman pengurus dewan kesenian ini benar-benar memiliki tujuan seni dan melestarikan seni serta mengembangkan kesenian di Sumenep, tentu kesenian di Sumenep akan maju. Sebab tidak ada artinya intelektualitas dan jabatan structural pemerintahan itu memuncak, jika tidak memahami seni dan berkesenian.  

Saya kira ini point pentingnya, artinya bagi saya siapa pun yang menjadi pengurus dewan kesenian Sumenep, asal memiliki kepedulian dan idealisme kesenian tidak apa-apa. Seni itu memang dibutuhkan untuk menjaga harkat dan martabat sebuah negara atau daerah. Semakin kuat seni suatu daerah maka daerah akan menjadi kuat, tentu hal ini tidak boleh dibarengi dengan kepentingan apa pun.

Kalau dewan kesenian itu dibentuk untuk sebuah kepentingan kekuasaan, kepentingan kelompok atau komunitas bukan kepentingan kesenian, akan sia-sia dewan kesenian itu dibentuk. Ia akan menjadi menara gading yang retak tanpa makna apa-apa. Keber-ada-annya sama dengan tidak ada. Maka penting kemudian orang-orang yang serius mengurus kesenian untuk kepentingan menjaga harkat dan martabat suatu daerah dalam hal ini Sumenep.  

Dewan kesenian menjadi jembatan dari sekian banyak kesenian yang ada di Sumenep, agar tidak berjalan sendiri, mendapat penghargaan sendiri, menjadi juara pun sendiri, padahal seharusnya jika kesenian Sumenep misalnya di undang ke event-event kesenian diberbagai daerah tampil maksimal dan persiapan yang matang, bukan asal jadi. Dan ini membutuhkan orang-orang yang memang paham betul akan kesenian. Di samping itu, dibutuhkan mentalitas kesenian yang inklusif, agar tidak terjadi “aku paling seniman” di antara seniman-seniman yang lain, “aku paling senior dalam berkesenian”, sebab dalam berkesenian yang dibutuhkan adalah dialektika keilmuan seni dan hal ini tidak memandang tua, dewasa atau muda, semuanya sama dalam proses dialektika keilmuan seni. Sama-sama belajar seni. Meskipun tujuannya bukan seni untuk seni, tapi seni sebagai jembatan pemahaman saja agar aktivitas berkesenian memiliki spirit kemanusiaan.

Untuk melahirkan dialektika keilmuan seni, tentu dibutuhkan mentalitas inklusif dalam menghidupkan seni di Sumenep. Kalau pun ada yang melakukan dosa berkesenian, seniman yang lain tidak harus mengikuti bahkan membenci pelaku dosa seni tersebut, sebab dosa ditanggung sendiri, sementara seniman yang lain, tetap pada spirit kesenian untuk kepentingan kesenian Sumenep yang lebih bermartabat.

Sebab bagi saya dengan dibentuknya dewan kesenian sumenep ini menjadi jembatan untuk menuju kampung seni yang bernama “seni martabat” yang dikelolah oleh orang-orang yang memang serius dalam berkesenian. Seni martabat artinya segala aktivitas kesenian di sumenep dalam rangka untuk menjunjung tinggi martabat sumenep di mata orang lain, kalau bukan berharap pada seniman lalu ke siapa lagi.

Hanya seni yang mampu membaca denyut nadi kemanusiaan. Semoga dewan kesenian segera di bentuk dan di isi oleh orang-orang yang paham seni, memiliki kepedulian seni, dan orang-orang yang memiliki mentalitas inklusifitas berkesenian. Amin.

 

 

 

 

*Dosen filsafat STKIP PGRI SUMENEP

 

Sumber: Radar Madura, 6 Februari 2022


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani