Pendidikan yang Tak Mendidik
![]() |
Kita sudah
sampai di ruang pendidikan yang tidak lagi hitam-putih paradigmanya, akan
tetapi pendidikan kita sudah sampai di kampung yang membutuhkan sinergitas.
Misalnya pendidikan matematika sudah saatnya bersinergi dengan moral atau
mental, sebab kalau tidak ada siniergi atau integritas maka pendidikan yang
kita miliki hanya akan menjadi biang dan akan menciptakan karakter-karakter
pragmatis-materialis-egois. Karakter ini akan mendiami manusia selagi manusia
ini belum mendapatkan hidayah.
Kalau kita cek
data korupsi di Indonesia, baik yang korupsi uang, korupsi waktu, korupsi
structural, korupsi kualitas bahkan korupsi program, belum lagi pengusaha yang
usahanya illegal. Mereka semua manusia terdidik, pertanyaanya mengapa sikap dan
karakter pragmatis-materialis-egois masih mendiami kita? Jawabannya, pendidikan
yang mereka punyas tak mampu mendidik dirinya sendiri. Walau pendidikan ada,
tapi pendidikan itu akan kalah oleh nafsu egois tadi.
Maka penting di
sini pendidikan yang mendidik, bukan pendidikan yang tak mendidik. Oleh
karenanya sudah saatnya pendidikan diarahkan ke yang lebih
substansial-esensial, daripada ke arah yang administratif-normatif. Kalau lebih
menekankan administratif sangat muda di manipulatif. Maka di sini penting alat
hidden kontrol yang hanya pengawas yang tahu, sehingga proses pendidikan
benar-benar mengarah mendidik. Kita tahu bahwa tugas guru bukan hanya kejar
tayang, tapi proses karakterisasi mental itu lebih penting.
Proses
karakterisasi mental ini membutuhkan integrasi keilmuan yang tidak gampang.
Tapi membutuhkan perjuangan mental yang kuat. Laporan sertifikasi atau laporan
kinerja yang hanya berbentuk hitam di atas putih sangat gampang dimanipulasi,
misal jumlah jam, kegiatan dan program bahkan laporan keuangan. Institusi kalau
melakukan hal itu, jelas ini akan berdampak secara mental-spiritual pada
kinerja guru, dan karyawan bahkan pada peserta didik. Padahal dalam pendidikan
kejujuran lebih utama.
Ini salah satu
bukti nyata, jika proses kejujuran tidak jujur, pendidikan hanya ada tapi tidak
mendidik orang yang berpendidikan. Akhirnya pendidikan hanya hitam di atas
putih, tanpa ada tali mental yang men-diri dikedalaman mental guru dan
karyawan, peserta didik pun kena imbas dari ketidakjujuran itu. Lantas
bagaimana mungkin seorang yang berpendidikan akan menyampaikan pendidikan
kepada anak didik, jika proses karakterisasi mental pribadinya sudah tidak
bermental pendidik?
Pola-pola
seperti ini mulai tampak baik secara person maupun institusi. Di dalam
institusi proses main di anggaran, sementara person ia mulai tidak
peduli terhadap hubungan agama dengan negara, misalnya ia tidak peduli ada
aturan negara yang dilanggar yang penting saya makmur. Karakter seperti
itu sebenarnya memang sejak dalam proses pendidikan yang tidak mendidik itu.
Artinya untuk menjadi pendidik memang dibutuhkan karakter ngabdi dalam
arti memiliki mental “ikhlas”.
Meskipun sering
saya sampaikan bahwa kita hari ini berada di zaman oreng ghun tao ngaji keng
tak tao aji, tao ka huruf keng tak tao
ka essena huruf (orang hanya tahu
membaca tapi tidak tahu menelaah, Cuma tahu huruf tapi tidak tahu makna huruf).
Bukan sedikit orang yang tahu baca dan memakanai huruf-huruf semesta (misal
kitab kuning), tapi hanya bisa baca an sich, tanpa ada upaya
merefleksikan dalam mental-moral. Yang terjadi yang penting benar menurut arti
(terjemah), padahal apa yang kita baca itu sebagai intrumen untuk merefleksikan
realitas sosial-politik.
Akhirnya
pendidikan hanya berkutat di ranah lipstick, tanpa ada upaya untuk masuk
dikedalaman makna. Sehingga cukup di permukaan saja, padahal menurut pespektif
metafisika ada makna dibalik permukaan yang kini mulai hilang, di telan agoisme
identitas sosial, yang seolah-olah hanya kekayaan materi yang mampu
menyampaikan kita pada Tuhan.
Lalu kekayaan
ilmu tidak menjadi hal penting dalam perkembangan sosial hari ini, kebanggan
hari ini adalah kebanggan materi, saya sepakat dengan Kiai Dardiri Zubairi
ketika mengatakan pada saat bedah buku Rebuhan Lahan di Kancakona Kopi
bahwa materialisme-pragmatis sudah ada di lingkungan kita dan kita menikmatinya
tanpa menyadari itu by desain untuk “membunuh” moral-mental.
Ketika moral
“mati” maka terciptalah jantung-jantung kematian, hal ini bukan pendidikan
tidak ada. Ada tapi keber-ada-annya tak mampu mendidik jiwa dan akal manusia,
karena terlalu tebal batu-batu egoisme individual yang bersarang dalam jiwa.
Bila jiwa-jiwa tumbuh batu-batu egoisme maka tak ada kesadaran yang tumbuh di
tanah kemanusiaan, sebab semua penuh bebatuan yang keras bagai baja.
Batu-batu
egoisme kemudian memunculkan sifat sombong dan sok, tetumbuhan batu yang
bersarang dalam jiwa itu akan merongrong semua kampung jiwa agar anak buah
kesadaran tidak tumbuh, sebab anak kesadaran itu akan membahayakan batu-batu
egoisme yang kini tumbuh subur di tanah jiwa dan akal.
Ia tidak
menyadari sifat egoisme yang melanggar aturan negara dan agama, meskipun ia
berteriak NKRI Harga Mati, ia sebatas kata di lisan tapi tidak di hiasan moral.
Kita tahu bahwa penghias keseharian adalah pendidikan yang mendidik diri yang
utama, artinya kalau diri ini belum terdidik, jangan berharap orang lain akan
terdidik dengan keber-ada-anmu yang memiliki identitas pendidik. Lantas buat
apa identitas pendidik bila batu-batu egoisme menjadi seni kehidupan?
Dengan
demikian, ada menjawab begini “kalau pendidik tidak begitu, akan semakin lama alam
ini hancur, jadi biarkan saja, sebab itu tanda semesta ini mulai gersang,
gersang dari keteladanan”. Kini agama sebagai alat justifikasi kepentingan diri
sendiri. Yang penting diri sendiri makmur tidak apa agama dijadikan apa pun. Ketika
kita salah pada negara otomatis kita salah pada agama. Ketika kita berpendidikan
otomatis aktivitas kita dianggap benar dan sah. Ini tidak disadari oleh kaum
berpendidikan. Iya sudah. Jalankan saja. Sekian terima kasih.
Sumber:
Radar Madura, tanggal 15 November 2021
Komentar