Pendidikan yang Tak Mendidik

Oleh: Matroni Musèrang*

 

Kita sudah sampai di ruang pendidikan yang tidak lagi hitam-putih paradigmanya, akan tetapi pendidikan kita sudah sampai di kampung yang membutuhkan sinergitas. Misalnya pendidikan matematika sudah saatnya bersinergi dengan moral atau mental, sebab kalau tidak ada siniergi atau integritas maka pendidikan yang kita miliki hanya akan menjadi biang dan akan menciptakan karakter-karakter pragmatis-materialis-egois. Karakter ini akan mendiami manusia selagi manusia ini belum mendapatkan hidayah.

Kalau kita cek data korupsi di Indonesia, baik yang korupsi uang, korupsi waktu, korupsi structural, korupsi kualitas bahkan korupsi program, belum lagi pengusaha yang usahanya illegal. Mereka semua manusia terdidik, pertanyaanya mengapa sikap dan karakter pragmatis-materialis-egois masih mendiami kita? Jawabannya, pendidikan yang mereka punyas tak mampu mendidik dirinya sendiri. Walau pendidikan ada, tapi pendidikan itu akan kalah oleh nafsu egois tadi.

Maka penting di sini pendidikan yang mendidik, bukan pendidikan yang tak mendidik. Oleh karenanya sudah saatnya pendidikan diarahkan ke yang lebih substansial-esensial, daripada ke arah yang administratif-normatif. Kalau lebih menekankan administratif sangat muda di manipulatif. Maka di sini penting alat hidden kontrol yang hanya pengawas yang tahu, sehingga proses pendidikan benar-benar mengarah mendidik. Kita tahu bahwa tugas guru bukan hanya kejar tayang, tapi proses karakterisasi mental itu lebih penting.

Proses karakterisasi mental ini membutuhkan integrasi keilmuan yang tidak gampang. Tapi membutuhkan perjuangan mental yang kuat. Laporan sertifikasi atau laporan kinerja yang hanya berbentuk hitam di atas putih sangat gampang dimanipulasi, misal jumlah jam, kegiatan dan program bahkan laporan keuangan. Institusi kalau melakukan hal itu, jelas ini akan berdampak secara mental-spiritual pada kinerja guru, dan karyawan bahkan pada peserta didik. Padahal dalam pendidikan kejujuran lebih utama.

Ini salah satu bukti nyata, jika proses kejujuran tidak jujur, pendidikan hanya ada tapi tidak mendidik orang yang berpendidikan. Akhirnya pendidikan hanya hitam di atas putih, tanpa ada tali mental yang men-diri dikedalaman mental guru dan karyawan, peserta didik pun kena imbas dari ketidakjujuran itu. Lantas bagaimana mungkin seorang yang berpendidikan akan menyampaikan pendidikan kepada anak didik, jika proses karakterisasi mental pribadinya sudah tidak bermental pendidik?

Pola-pola seperti ini mulai tampak baik secara person maupun institusi. Di dalam institusi proses main di anggaran, sementara person ia mulai tidak peduli terhadap hubungan agama dengan negara, misalnya ia tidak peduli ada aturan negara yang dilanggar yang penting saya makmur. Karakter seperti itu sebenarnya memang sejak dalam proses pendidikan yang tidak mendidik itu. Artinya untuk menjadi pendidik memang dibutuhkan karakter ngabdi dalam arti memiliki mental “ikhlas”.  

Meskipun sering saya sampaikan bahwa kita hari ini berada di zaman oreng ghun tao ngaji keng tak tao aji,  tao ka huruf keng tak tao ka essena huruf  (orang hanya tahu membaca tapi tidak tahu menelaah, Cuma tahu huruf tapi tidak tahu makna huruf). Bukan sedikit orang yang tahu baca dan memakanai huruf-huruf semesta (misal kitab kuning), tapi hanya bisa baca an sich, tanpa ada upaya merefleksikan dalam mental-moral. Yang terjadi yang penting benar menurut arti (terjemah), padahal apa yang kita baca itu sebagai intrumen untuk merefleksikan realitas sosial-politik.

Akhirnya pendidikan hanya berkutat di ranah lipstick, tanpa ada upaya untuk masuk dikedalaman makna. Sehingga cukup di permukaan saja, padahal menurut pespektif metafisika ada makna dibalik permukaan yang kini mulai hilang, di telan agoisme identitas sosial, yang seolah-olah hanya kekayaan materi yang mampu menyampaikan kita pada Tuhan.

Lalu kekayaan ilmu tidak menjadi hal penting dalam perkembangan sosial hari ini, kebanggan hari ini adalah kebanggan materi, saya sepakat dengan Kiai Dardiri Zubairi ketika mengatakan pada saat bedah buku Rebuhan Lahan di Kancakona Kopi bahwa materialisme-pragmatis sudah ada di lingkungan kita dan kita menikmatinya tanpa menyadari itu by desain untuk “membunuh” moral-mental.

Ketika moral “mati” maka terciptalah jantung-jantung kematian, hal ini bukan pendidikan tidak ada. Ada tapi keber-ada-annya tak mampu mendidik jiwa dan akal manusia, karena terlalu tebal batu-batu egoisme individual yang bersarang dalam jiwa. Bila jiwa-jiwa tumbuh batu-batu egoisme maka tak ada kesadaran yang tumbuh di tanah kemanusiaan, sebab semua penuh bebatuan yang keras bagai baja.

Batu-batu egoisme kemudian memunculkan sifat sombong dan sok, tetumbuhan batu yang bersarang dalam jiwa itu akan merongrong semua kampung jiwa agar anak buah kesadaran tidak tumbuh, sebab anak kesadaran itu akan membahayakan batu-batu egoisme yang kini tumbuh subur di tanah jiwa dan akal.

Ia tidak menyadari sifat egoisme yang melanggar aturan negara dan agama, meskipun ia berteriak NKRI Harga Mati, ia sebatas kata di lisan tapi tidak di hiasan moral. Kita tahu bahwa penghias keseharian adalah pendidikan yang mendidik diri yang utama, artinya kalau diri ini belum terdidik, jangan berharap orang lain akan terdidik dengan keber-ada-anmu yang memiliki identitas pendidik. Lantas buat apa identitas pendidik bila batu-batu egoisme menjadi seni kehidupan?

Dengan demikian, ada menjawab begini “kalau pendidik tidak begitu, akan semakin lama alam ini hancur, jadi biarkan saja, sebab itu tanda semesta ini mulai gersang, gersang dari keteladanan”. Kini agama sebagai alat justifikasi kepentingan diri sendiri. Yang penting diri sendiri makmur tidak apa agama dijadikan apa pun. Ketika kita salah pada negara otomatis kita salah pada agama. Ketika kita berpendidikan otomatis aktivitas kita dianggap benar dan sah. Ini tidak disadari oleh kaum berpendidikan. Iya sudah. Jalankan saja. Sekian terima kasih.

 

 

 

 

     Sumber: Radar Madura, tanggal 15 November 2021


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani