Menjadi Guru Edukatif
Oleh: Matroni Muserang*
Jadi guru itu
jangan gampang marah (baper), kasian muridnya yang jadi korban
Pendapat ini
saya ambil dari pesan WhatsApp teman dari KH Fuad Noer Hasan Pengasuh Pondok
Pesantren Sidogiri Pasuruan Jawa Timur. Sudah saatnya dan sewajarnya guru
menjadi pembimbing dan pendamping siswa, sebab siswa kata Ki Hajar Dewantara
adalah sebuah kehidupan yang akan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Oleh karenanya pendidikan bagi siswa
menurut Ki Hajar Dewantara pembudayaan buah budi manusia yang beradab dan buah
perjuangan manusia terhadap dua kekuatan yang selalu mengelilingi hidup manusia
yaitu kodrat alam, zaman, dan masyarakat.
Sedangkan
menurut Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul ‘Alim wal
Muta’llim ada empat belas etika guru kepada siswa, namun saya tidak akan
menulis semuanya, tapi saya akan mengutip bahwa guru edukatif itu tidak punya
niat untuk memarahi apalagi dihukum, akan tetapi menjadi edukatif selalu
bersikap ramah, semangat dalam menyampaikan pelajaran.
Dari dua
pendapat tokoh di atas menjadi inspirasi bagi guru bahwa ternyata guru itu
mengajar siswa bukan untuk menjadi pintar, mengajak siswa harus sama dengan zaman
guru. Tidak. Akan tetapi guru memberikan ilmu dan pengetahun untuk
mempersiapakan siswa di zamannya, dimana zaman siswa itu tidak akan sama dengan
zaman guru. Maka menjadi guru benar-benar mengetahui kondisi keilmuan yang saat
ini actual, bahkan guru penting mengetahui babakan sejarah ilmu yang
berkembang.
Caranya guru
penting untuk mengetahui nama, asal, kondisi orang tua, dan asal pendidikannya.
Mengetahui hal ini guru memanggil atau bertanya langsung kepada siswa bukan
datang ke sekolah boro-boro ngajar, keluar, tanpa peduli kondisi siswa. Di sini
pentignya pembimbing dan pendamping siswa.
Karena guru
tugasnya bukan hanya ngajar, keluar, jika ada siswa yang salah di hukum, yang
lambat masuk kelas di hukum, iya itu waktu zaman saya menjadi siswa. Nah
sekarang zaman sudah berubah, paradigma pun berubah, informasi pun deras ke
semua lini berubah-ubah. Bukti nyata kalau siswa ditempeleng/ dipukul misalnya
orang tua tidak terima, tapi kalau zaman saya menjadi siswa ditempeleng/dipukul
justeru orang tua berterima kasih. Ini bukti nyata bahwa zaman itu tidak diam,
ia selalu bergerak dan berubah. Apakah kemudian guru harus memaksakan siswa
sama dengan cara mendidik ketika saat itu saya menjadi siswa. Tidak donk
pastinya. Di sinilah penting guru untuk suka baca, bukan hanya mengejar tuntuan
tertib administrasi, tapi yang terpenting tuntuan dan tanggungjawab substansial
dari guru itu jauh lebih penting, sebab itu amanah undang-undang, amanah agama,
dan amanah Tuhan.
Ramah terhadap
siswa sebuah keharusan bagi seorang guru, artinya menjadi guru edukatif adalah
guru yang suka bergaul, menyenangkan dalam pergaulan, mendampingi dan
membimbing. Sikap ini kelihatannya gampang, tapi sikap berkait erat dengan
dengan kondisi psikologi guru, lapang dada, inklusif dan aksentuasi. Bisa saja
guru kuper dan baper disebabkan karena wawasan keilmuannya sempit, bisa
menjadi guru hanya karena mengejar PNS/ASN.
Dengan memiliki
sikap tersebut guru akan semangat dan progres dalam mengajar. Bisa dilihat
apabila guru tidak semangat di dalam jiwanya untuk mengajar, siswa pun
demikian, kadang siswa susah di atur, nakal, mengapa? Karena dikedalaman jiwa
guru memang tidak ada niat untuk mendampingi dan membimbing, akan tetapi hanya
mengejar tertib administrasi sertifikasi, lantas dimana substansi dari guru
sebagai sosok yang menjadi siswa sebagai manusia?
Membimbim siswa
pun guru membutuhkan keilmuan yang cukup, cakrawala keilmuan yang tidak
tunggal, akan tetapi membimbing merupakan melaksanakan kewajiban dan
tanggungjawab yang disadari dan dilaksanakan secara sengaja, artinya menjadi
guru edukatif harus kreatif dan aktif. Kreatif dan aktif dalam mendidik
jasmani, akal, ahlak, sosial, ekonomi, dan estetika. Kalau saya lihat masih ada
sekolah atau madrasah yang monoton gurunya ngajar (transfer) an sich.
Guru beranggapan bahwa untuk memahami ekonomi siswa ya belajar buku ekonomi,
tanpa ada upaya kreativitas, misal di suruh membuat kerajinan di jual, atau
bertani.
Akhirnya
pendidikan hanya berkutat di atas meja dan di ruang kelas dan kalau ada siswa
lambat di hukum, tapi kalau guru yang lambat tidak ada yang menghukum. Ini
sebenarnya ketidakadilan. Apakah Tuhan yang menghukum? Kalau memang Tuhan,
apakah guru sanggup menerima hukuman dari Tuhan, atas kesalahan yang terjadi
mengajar karena status guru, ngajar biar tertib administrasi sertifikasi, atau
guru lambat masuk kelas? Mari kita sama refleksi terhadap aktivitas keseharian
guru di madrasah.
Sebab tanpa ada
upaya untuk merubah maka “menjadi guru edukatif” ini hanya ada dalam
angan-angan. Oleh karenanya mari guru berbenah, jika jadwal masuk madrasah jam
7.00 WIB jangan masuk jam 7.30 WIB. Jika ngajarnya 10 jam jangan dilaporkan 24
jam. Sebab ini akan berpengaruh terhadap psikologi siswa dan guru. Kita tahu
bahwa ada hubungan emosional antara siswa dan guru. Jika siswa sering lambat
masuk kelas, bisa saja guru tersebut tidak rajin masuk tepat waktu. Artinya guru
jangan melulu menyalahkan siswa, seringkali madrasah membuat aturan ketat ke
siswa sementara ke guru tidak, lalu dimana keadilan siswa kepada siswa, kadang
madrasah rapat berlama-lama hanya untuk satu siswa yang nakal, padahal saya
yakin kenakalan siswa masa kini akibat dari guru yang tidak jujur dalam
administrasi, tidak tepat waktu, tidak disiplin.
Dengan
demikian, untuk merubah sikap dan mental siswa rubahlah sikap dan mental
gurunya. Untuk merubah sikap dan mental gurunya, rubahlah sifat dan keseharian
gurunya. Semoga kita semua masuk dalam ruang guru yang diridhai Tuhan Yang Maha
Esa. Amin
*penulis adalah Dosen Filsafat STKIP PGRI Sumenep dan Guru MA
Nasy’atul Muta’allimin Gapura
Sumber: Radar Madura Jawa POs, tanggal 6 AGustus 2021
Komentar