Covid 19 dan Gapura

 

Oleh: Matroni Muserang*

 

Di bulan Juli 2021 memang banyak orang kembali pada Tuhan, saya akan bercerita apa yang temukan selama saya ta’ziyah dan tahlil di Kecamatan Gapura, saya akan mengecek fakta seberapa tingkat kepercayaan masyarakat Gapura terhadap covid19 dan cara penanganannya. Ada 12 orang yang saya hadiri di 5 desa, baik ketika kifayah atau pun tahlil malam dan siang hari. Tak satu pun dari mereka menggunakan masker, kata mereka kalau ada yang memakai masker mereka “dhika atongkos”. Tongkos ini semacam tutup yang dipakai sapi waktu mau bajak, kalau dulu sapi atongkos sekarang manusia atongkos, kata mereka di sela-sela melayat. Ada lagi yang mengatakan kalau dulu jangkrik yang di “user-user” hidupnya sekarang manusia.

Masyarakat Gapura sebenarnya bukan tidak percaya adanya covid19 (penyakit), mereka percaya bahwa penyakit itu memang ada dan mereka tahu juga bahwa covid19 dari Cina. Namun karena masyarakat di ombang-ambingkan dengan berbagai cara yang dilakukan mulai dari PROKES dan Swab dan Vaksin, apalagi berita-berita yang beredar pun “ada yang bilang setelah di vaksin meninggal”, apalagi yang tak masuk akal, sebagian mereka bilang di swap di tengah jalan lalu harus bayar, katanya. Bahkan ada juga di fonis covid19 ketika di cek ternyata penyakit biasa.

PPKM juga yang membuat masyarakat gapura semakin tidak masuk akal, ketika tempat ibadah harus di tutup, padahal bagi masyarakat Gapura masjid itu rumah Tuhan, kalau ditutup kita akan semakin jauh dari Tuhan, sementara pabrik rokok tidak ditutup. Ada yang bilang, kalau orang-orang tidak mau keluar, POM bensin tutup. Bahkan ada yang bilang ke saya pemilik tokoh jalan raya “covid19 ini sebenarnya tidak ada”, ini karena kita ikut apa kata WHO dan PBB, katanya. Belum lagi Indonesia masih mendatangkan orang Cina ke Indonesia.  

Akhirnya Masyarakat tidak mau ikut aturan seperti PROKES lantaran itu tadi info yang tidak falid, jalanan di jaga polisi, TNI, POLPP, di beri pocong-pocongan, di sangka saya takut sama pocong, di sangka takut mati, ini akhirnya kita akan perang dengan polisi dan TNI, kata mereka. Pasar Sapi di tutup, terus saya akan mau makan apa? Mau dapat uang dari mana?. Iya polisi dan TNI itu di gaji setiap bulan, terus saya kalau tidak jualan dapat uang dari mana? Bahkan suatu malam saya beli petasan penjual mengeluh “pelan-pelan kita ini akan mati” tanpa saya Tanya, sambil mengeluh dan bernyanyi.  

Bahkan 12 orang yang meninggal itu bagi mereka bukan karena covid19, karena penyakit biasa lalu mati. Namun ada juga yang bertanya anak-anak muda menurutmu ini banyak orang meninggal karena apa? Apakah covid19 ini sudah ada di sini? Itu info yang saya alami. Lantas apakah kita akan bertindak keras kepada masyarakat? Tentu tidak, tentu aparat structural memang harus turun ke rumah sakit dan puskesmas untuk memberikan pemahaman dan bantuan kepada mereka, bukan kemudian menjaga jalan menjegal orang bepergian, tapi jagalah mereka yang isolasi dan jagalah mereka yang sakit di rumah sakit dan puskesmas sambil memberikan pemahaman dan bantuan.

Bahkan setiap rumah orang-orang pada sakit dan sakitnya sama, mulai dari tulang yang “ngaronyu’, sesak nafas, hitung tak mencium aroma, rasa tak enak, ini karena di bawa puskesmas dan rumah sakit, pasti di covidkan, akhirnya mereka diam rumah saja.

Semoga pandemik segera berlalu.  

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani