Acuh Tak Acuh Kepada Pemimpin

Acuh Tak Acuh Kepada Pemimpin

 

Orang NU sebenarnya sudah seharusnya memiliki paradigma kemaslahatan yang dibutuhkan untuk menjawab masalah riil keragaman umat dan bangsa Indonesia yang tidak bisa hidup dengan cara dan pemikiran ekslusif, dan konfliktual, akan tetapi yang dibutuhkan adalah tata kehidupan umat yang inklusif dan pluralistik. Menurut Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan kita sebagai sebagai pengurus NU, umat Islam Indonesia harus memiliki paradigma keilmuan dan wawasan keagamaan yang inklusif, bahkan plural karena realitas bangsa dan negara Indonesia adalah majemuk dalam segala sisinya, sehingga memerlukan paradigma keilmuan dan wawasan keagamaan yang inklusif-pluralis. Sementara itu, adanya asumsi bahwa negara itu harus berdasarkan agama tertentu dan hanya ada satu pimpinan negara bagi umat Islam tidak bisa dibenarkan baik secara normatif maupun rasional, bahkan Ibnu Taimiyah mengakui adanya pimpinan umat lebih dari satu dan tidak ada keharusan untuk mendirikan negara Islam.

Jadi sebagai orang NU apa pun kebijakan Pemimpin Negara tentu kita harus mengikuti dengan penuh kritis, sebab ini akan menjaga hubungan Negara dan agama. Bukan kemudian kita mengiyakan bahkan melakukan menyelewengan terhadap apa yang telah disepakati bersama dalam consensus. Bahkan di dalam kitab Nashoibul Ibad salah kitab tasawuf halaman 29 dikatana bahwa siapa pun yang acuh tak acuh kepada pemimpin dia akan rugi dan merugikan dirinya. Artinya segala kebijakan pemimpin harus kita ikuti, menurut perspektif tasawuf ini akan berdampak terhadap karir kehidupan sehari-hari, baik kita sebagai guru, kiai, ulama, dosen jika tidak mengikuti keputusan pemimpin yang sah, salah satu dampaknya misalnya kita jadi guru siswa itu seringkali tak mendengar apa yang dikatakan, walau pun apa yang kita katakana itu sumbernya adalah kitab. Mengapa?

Karena apa yang kita makan, apa yang kita minum, semua hasilnya dari usaha yang tak sesuai dengan keputusan Negara. Belum lagi kita menjadi guru yang suka menghukum siswa yang lambat, lantas kalau guru yang lambat, siapa yang akan menghukum? Tuhan? Lalu apakah kita mampu dengan hukuman Tuhan? Artinya segala peran itu dibutuhkan wawasan paradigma yang luas, bukan atas ukuran satu paradigma yang kadang itu bertentangan dengan consensus pemimpin.

Oleh karenanya penting kita memahami hubungan dan keilmuan Negara dan agama. Sebab kita ada dan hidup di Negara Indonesia, dan Pancasila menjadi fondasinya, artinya kalau kita tidak mengikuti consensus itu, pelan-pelan sebenarnya kita tidak setuju dengan Pancasila, padahal pancasila sudah final dan sesuai dengan agama, ini hasil Muktamar NU lho. haruskah kita sebagai orang NU tidak mau mengikuti konsensus itu? 

  

 

 

Gapura Timur, 25 Juli 2021


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani