Sanggar Kencana dan D. Zawawi Imron
Oleh: Matroni Musĕrang*
Hari ini
Sanggar Kencama MA Putri Nasy’atul Muta’allimin Gapura ulang tahun sekaligus
pergantian ketua. Ulang tahun yang ke-6 ini ketua Elmira Damayanti meminta saya
untuk mengundang D. Zawawi Imron sebagai pengisi acara. Saya pun mengiyakan
karena ini atas nama Nasy’atul Muta’allimin Gapura. Saya pun berangkat pagi jam
9 bersama santri pengabdian bernama Muhlis, sesampainya di sana Pak D.Zawawi
memakai sarung yang berliputan cat, ternyata sedang melukis, saya pun langsung
menyampaikan maksud kedatangan saya dan Alhamdulillah bisa.
Tepat jam 8 hari Jumat tanggal 19 Februari
2021 saya berangkat mapak (menjemput)
dengan menyewa mobil alumni Nasy’atul Muta’allimin Gapura yaitu Mas’odi lalu
saya dan bapak Fathor Rahman salah satu guru MA. Sesampainya di sana beliau pun
masih sibuk menyelesaikan lukisan. Lalu kami duduk sebelum berangkat karena
masih disuguhi kopi, sambil bercerita para leluhur beliau.
Di tengah
jalan menuju acara kami pun diberi ijazah untuk diamalkan yang ijazah itu sanadnya
dari Gus Mus. Sesampainya di lokasi, kami pun turun dan semua santri putri
berdiri menyambut kedatangan Pak D. Zawawi Imron.
Acara pun di
mulai dengan kalimat Barang siapa
mambaca kalimat tauhid 70 ribu akan diselamatkan dari apa neraka. Seperti yang
dikatakan agama bahwa kalimat tauhid merupakan kunci surga. Walau pun kalimat
tauhid ini jarang dibaca, hanya dijadikan penghias mobil dan bendera dengan
hiasan pedang yang dibawahnya, entah apa maknanya.
Siswi pun
diajak baca shalawat Ya nabi salam padamu/
Ya rosul salam padamu/ Kekasih salam
padamu/ Shalawat selalu untukmu. Sebagai pintu awal memasuki pada
tema yang disampaikan, ada tiga hal yang disampaikan pertama tatakrama kepada
orang tua, tatakrama kepada guru dan tatakrama kepada masyarakat.
Kata beliau mencari
ilmu harus sungguh-sungguh biar kita mendapatkan ilmu. Banyak orang berilmu
tapi tak memiliki tatakrama. Oleh karenanya tatakrama ini penting dewasa ini
sebab tatakrama seringkali menjadi duri yang sangat tajam untuk digunakan dalam
kehidupan sehari-hari dan tatakrama hari ini menjadi barang langka. Oleh
karenanya kita harus kaya ilmu dan jangan menjadi bodoh.
Ada kata-kata yang menarik dari Sokrates
tentang moral bahwa berbicara moralitas berarti berbicara ‘bagaimana seharusnya
kita hidup, ketika kita berhadapan dengan realitas
. Oleh karenanya tugas pencari ilmu, jangan menjadi orang yang bodoh. Punya
ilmu tapi tak punya tatakrama sama halnya dengan orang bodoh. Tatakrama yang baik
kalau dilihat ma cellep atè. Oleh
sebabnya jangan menjadi siswi yang memiliki tatakramana gatel, mosse’ dan lĕtĕr.
Lalu tatakrama
kepada orang tua pun hari ini semakin tidak ada, lalu Pak D. Zawawi membaca
puisi Ibu. Agama kita mengajarka bahwa ibulah yang mengandung kita, memberi
kita makan, membersihkan kita ketiak BAB, ketika kita pipis dan ibu pun tidak
jijik. Ibulah yang member kita ASI, member kita makan, maka kalau kita tidak
baik tatakrama berarti kita berkhianat kepada orang tua kita yang telah lama
mendidik kita.
Dan hari ini
banyak anak-anak kita yang sudah menjadi raja sejak dari kecil. Sehingga orang
tua pun tidak berani menyuruh anak untuk menyapu, menyuruh membeli bawang, beli
tahu, beli ajinamoto, anak dibiarkan apa keinginannya, kalau anak main HP maka
tua pun tak berkutik untuk menegurnya. Beliau berkata kalau menggunakan HP,
seperti Google dan yuotube jangan lebih 1jam ½, kalau lebih akan membahayakan
otak kita, kita bisa lemes, capek dan lesu. Kalau demikian, maka orang tua pun
akan kena marah, akhirnya lebih baik diam orang tua daripada dimarahi anak. Katanya
sayang anak.
Kalau kita tak
sungguh-sungguh belajar berarti kita berkhianat kepada ibu dan bapak, hianat
kepada nasi yang diberikan orangtua. Hal itu hari ini mulai tampak, banyak
siswa/I yang hanya mengandalkan sekolah tanpa mengulang lagi pelajarannya apa
yang didapatkan di sekolah. Akhirnya pak D. Zawawi mengakhiri dengan memberikan
resep belajar yaitu Bajeng ajar, bajeng
ajar, bajeng ajar sambil mengutip kitab ta'limul muta'allimin karangan Kiai.
Zarnuji bahwa Orang yang tak punya ilmu seperti mayit berjalan, maka angkatlah
tangan bertakbirlah empat kali sebagai pertanda bahwa dia telah mati.
Itulah catatan
sekelumit dalam acara tersebut. Sebab bagi saya sesederhana apa pun yang
disampaikan kalau itu menjadi tetes kesadaran bagi akal dan hati kita, maka itu
tidak sama dengan banyak belajar tapi tak satu pun mampu menyuburkan akal dan
hati kita. Makanya tidak semua orang yang berilmu itu alim, tapi orang alim itu
pasti berilmu. Tidak semua orang berilmu itu memiliki tatakrama, tapi orang
yang memiliki tatakrama pasti dia memiliki ilmu. Itulah mengapa tidak semua
malam itu ditemani bulan.
*Pendamping
Sanggar Kencana MA Putri Nasy’atul Muta’allimin Gapura
Komentar