Apa dan Bagaimana

 

Oleh: Matroni Muserang*

 

Tulisan ini hanya refleksi saya saat pertemuan rutin kompolan SEMENJAK di rumah A.Zainol Hasan di Battangan yang bertanggotakan matroni muserang, faidi rizal alief, warist rovi, sipulan kalangka, syaiful bahri, khairul umam, dan fazlur rahman, dan kebetulan Sofyan RH Zain dan Kami Daya Sawa ada di Sumenep, maka saya pun berinisiatif untuk mengundang beliau berdua untuk sharing pengalaman menulis, acara dimulai oleh warist rovi dengan pembukaan fatihah dan shalawat nariyah kemudian di susul khairul umam sebagai pembuka acara yang bercerita tentang kopi (kokoh kakabbi). Bahkan kopi dan lepe’ bila acampo pasti kuat, karena tak nyaring bunyinya, karena cangkirnya berisi.

Puisi yang baik kata Sofyan RH Zaid dalam sebuah pertemuan di kompolan SEMENJAK pada tanggal 11 November 2020 bahwa adalah puisi yang bisa dinikmati sebelum bisa di mengerti. Ini tidak jauh beda dengan membuat kopi. Kalau puisi itu tidak bisa dinikmati oleh pembaca, otomatis puisi itu “tidak baik”, wajar jika banyak berkeliaran puisi di media dan buku yang hanya menghias rak-rak buku tanpa ada yang mau mengkritik, meskipun ada dua kemungkinan kritik puisi, bisa karena memang tidak mampu membaca puisi, kemungkinan kedua karena tidak tahun kritik puisi, sehingga yang terjadi justeru kritik creator (creator critics), orangnya yang dikritik, karena tidak mampu membaca puisinya, meskipun kadang juga puisinya juga “tidak baik”.

Dalam puisi hanya ada (Apa dan bagaimana), di Indonesia lebih banyak yang kuat apa dan minim bagaimana. Sehingga puisi Indonesia puisi silaturrahmi. Puisi yang tak berisi. Kecuali hanya ungkapan perasaan-perasaan sedih dan bahagia, sisanya tak ada. Kita pun tertawa, karena menyadari bahwa puisi sekarang benar-benar banyak di Indonesia bahkan buku puisi yang jadi juara cipta puisi dan baca puisi bahkan sarjana sastra pun bertaburan di Indonesia, tapi kemana mereka berlabu? Yang belajar teori puisi terpenjara oleh besi teorinya, yang menulis puisi pun terpenjara dengan keterburu-buruannya disebut penyair. Ambyar.     

Puisi yang bagus kata Sofyan RH Zaid adalah yang mampu menyentuh pikir dan rasa. Maka menulis puisi jangan hanya terpaku pada apa, tapi bagaimana juga penting untuk kita pikirkan, di samping juga penyair memiliki tanggungjawab untuk menjaga koherensi dalam menulis puisi.   

Makna apa dalam perspektif filsafat tentu filosofis karena apa berkaitan dengan daya renung yang kita punya, gagasan kedalaman dari apa yang kita baca, maka apa sebenarnya mengandung kedalaman gagasan dan renungan. Apakah gagasan ini dan itu penting di sampaikan dalam puisi atau tidak. Artinya sudah ketahuan bahwa gagasan itu tidak kemudian kita tuliskan, akan tetapi harus kita renungkan dulu. Apa merupakan sebuah tanya yang membutuhkan jawaban substansial dan esensial, kalau kita sudah memiliki keyakinan akan substansial apa yang ingin kita tulis, maka kita tinggal memikirkan bagaimana.

Memang tidak muda menelusuri makna filosofis dari apa, kita membutuhkan preferensi filosofis terhadap “prioritas esensi” atau “prioritas eksistensi” serta “kuiditas”, artinya kalau penyair hanya mau menuliskan kata indah itu sangat gampang dan muda sekali, cukup ambil diksi cinta, bulan, bidadari, tapi kalau penyair benar-benar serius memikirkan apa dalam diksi puisi, kalau tidak, maka puisi yang dicipta akan menjadi puisi silaturrahmi tanpa isi, kecuali hanya terasi dan dasi.

Lalu bagaimana merupakan strategi penyair untuk mengolah diksi, menyampaikan puisi. Kalau bahasanya kerenya metodologi menyampaikan puisi. Mangga itu halal, tapi kalau cara mengambilnya yang salah maka haram. Puisi sebenarnya kumpulan diksi yang kuat dan bermakna, tapi kalau cara kita yang kurang tepat meletakkana diksi maka puisi akan menjadi kurang baik. Bahkan satu puisi gagal hanya gara-gara salah menempatkan satu diksi dalam bangunan puisi.

Dalam ruang bagaimana penyair benar-benar di tuntut kecerdasannya dalam mendesain puisinya sebelum akhirnya di publikasi, sebab tanpa ada desain yang bagus dalam membangun puisi, seperti membajak tanah tanpa sapi mesin, atau kata orang Madura seperti ngurap langgi’ seperti generasi puisi facebook, yang instan, ahistoris, narsistik, tanpa seleksi, tanpa kritik, yang penting indah bahasanya. Selesai.  

Karena puisi bukanlah teks biasa tanpa isi, akan tetapi teks yang mengandung imajinasi yang kata Maman S. Mahayana bisa menjelma penganggu dan penggugat hati manusia dan pikiran. Jadi benar apa yang dikatakan Sofyan bahwa puisi yang kualitasnya baik adalah yang mampu menggugat hati dan pikiran. Itulah kopi. Itulah puisi.

Harapannya jangan memanbah “Risau” puisi Indonesia dengan menuliskan puisi remeh-temeh tanpa “apa” dan “bagaimana”. Semoga disemogakan untuk tidak melahirkan puisi yang nihil, sebab kita tidak lagi mencari identitas puisi, dengan demikian, perlu dipahami bukan di cari-cari sebab sudah ada dan mengada.

 

 

*Anggota Aktif Kompolan SEMENJAK

 

Sumber: Radar Madura, tanggal 13 Desember 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIOGRAFI PENYAIR MATRONI MUSERANG

Kelebihan Puisi dan Filsafat

Siapakah Pahlawan Hari Ini?