7 Gerbang Cahaya Sebuah Rumah Eksistensial
Oleh: Matroni Musèrang*
Senang sekali saya bisa
membaca 7Gerbang Cahaya ini, di samping menambah cakrawala pengetahuan juga
bisa silaturrahmi dengan guru. Membaca cerita 7Gerbang Cahaya yang berisi 15
cerita saya diajak untuk mengumpulkan kekayaan-kekayaan rohani dari peristiwa
kehidupan yang serba fana dan sementara. Membaca 7Gerbang Cahaya memberikan
tetes kesadaran bagi kita bahwa ternyata kita hidup di dunia membutuhkan guru
untuk menemukan kunci gerbang cahaya itu. Oleh karenanya saya akan mencoba menelusuri
gerbang-gerbang itu dengan membawa kunci ilmu dan pengetahuan yang bernama
kunci eksistensi-spiritual. Istilah ini saya pakai karena memang pas untuk
membuka gembok gerbang di 7 Gerbang Cahaya itu.
Walau pun saya tidak akan
memberikan catatan semua tulisan di 7Gerbang Cahaya, selebihnya pembaca bisa
membaca dan menelusuri sendiri makna dikedalaman pesan dalam tulisan ini. Angka
7 itu berkaitan dengan proses terciptanya alam, sehingga kita harus mencintai
alam, di situ juga ada etika lingkungan dan lainnya, namun dalam catatan saya
untuk 7 Gerbang Cahaya akan masuk pada wilayah keinginan teks kemudian mencoba
sedikit menkontekstualisasikan dengan pendekatan filosofis, sehingga menemukan
angin segar.
Kesadaran adalah
pusaran kemungkinan, kata Sartre. Itulah kata yang pantas untuk kita ungkapkan
pertama kali sebelum kita masuk lebih mendalam ke 7 Gerbang Cahaya. Sebab di
gerbang itulah kita dituntut untuk berpikir kritis dan berani memutuskan kemungkinan
apa pun dalam kehidupan ini. 7 Gerbang Cahaya merupakan pengakuan secara
eksistensial seorang yang jujur akan Ada
pada dirinya sendiri, dan keber-ada-annya tidak sama dengan yang lain. Inilah
yang membedakan tulisan Evi Idawati dalam 9kubah, walau pun sama-sama menyuguhkan
kompleksitas eksistensi-spiritual. Kalau dilacak kebelakang tulisan ini bisa
dikatakan bahwa Evi Idawati tidak berhenti menjalani dan mengumpulkan kekayaan-kekayaan
rohani.
Eksistensialisme adalah
filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi. Pada
umumnya kata eksistensi berarti keberadaan, akan tetapi di dalam filsafat
eksistensialisme ungkapan eksistensi mempunyai arti yang khusus. Eksistensi
adalah cara manusia berada di dalam dunia. Cara manusia berada di dunia berbeda
dengan cara berada benda-benda. Dan 7Gerbang Cahaya salah satu cara ber-adanya
angka tujuh di gerbang cahaya itu bahkan 7 itu sendiri adalah simbol yang harus
dipecahkan, kadang angka 7 bisa menjadi kunci.
Kata Sartre manusia “suatu
proses penciptaan diri tanpa henti”, keberanian Evi Idawati dalam menjelajahi
ruang-ruang eksistensi-spiritual merupakan usaha yang luar biasa, sebab tidak
mudah manusia mampu merekam secara detil dan bernas proses pencarian kedudukan
dalam cahaya, kadang cahaya yang dianggap cahaya oleh kita itu bukanlah cahaya
yang sebenarnya, melainkan pantulan-pantulan dari cahaya-cahaya yang lain. 7Gerbang
cahaya itu adalah proses pencarian diri dimana cahaya yang sebenarnya? Apakah
di dalam kemegahan dunia? Apakah ada dalam suami yang kaya raya? Apakah ada di
dalam kesunyian ibu Fatima yang tinggal bersama anak-anaknya? Apakah ada di
perempuan pemangkul kubah? Atau cahaya itu ada dikedalaman eksistensi spiritual
diri si Fatima?
Memasuki
7Gerbang cahaya ternyata ia sebuah jembatan sekaligus ruang yang didalamnya
kita tidak bisa diam bersama benda-benda baru yang sebenarnya akan hangus
dimakan waktu. Dikatakan jembatan karena di sana manusia harus terus berjalan.
Baik berjalan secara spiritual maupun berjalan secara eksistensial. Keduanya
harus sama-sama seimbang agar menjadi manusia yang kuat dalam menentukan ke
mana arah perjalana kita selanjutnya.
Misalnya
Kembali aku menatap sunyi yang
menggelepar di meja perjamuan/ Kumpulan dari segala nyeri dan duka. Bumbu dari
kepedihan dan nestapa. Betapa hidup kita sebenarnya selalu berhadapan
dengan hidangan-hidangan semesta, hanya saja itu semua tergantung bagaimana
cara kita membaca dan melihat hidangan-hidangan itu. Hidangan itu akan menjadi
indah jika samudera spiritulitas kita berdiam dikedalaman eksistensial
kemanusiaan. Kamu tahu, jari-jarinya, aku
tabung dari tetesan airmata. Tubuhnya aku bentuk dari kesendirianku ditengah
malam. Dari redaman bisikan gairah dan rindu yang tak padam. Itulah
progresivitas spiritual manusia jika kesadaran itu muncul dengan sendiri, walau
malam-malam sunyi mendekam, namun ia adalah teman yang mendamaikan, sebab
kesunyian lebih damai daripada keramaian yang penuh amarah dan emosi sesaat.
Oleh karenanya Aku dan dia telah menyatu.
Dia memejamkan mata sambil mengikuti
doa-doa. Setelah selesai, matanya membuka. Dia melihat cahaya. Dia jatuhkan
kepalanya sekali lagi, menjerit, melafalkan doa-doa yang sama, membuka matanya
lagi, dia menyaksikan cahaya di depannya semakin besar, semakin besar, menelan
dirinya. Menggulung dengan cepat. Seakan putaran yang menjadikan semua waktu
berhenti. kemudian pecah ke segala arah. Menjadi tujuh gerbang cahaya yang
terbuka. Dia tetap berada di titik pusatnya. Dengan kedua tangan yang menadah
ke atas, dengan teriakan yang tak terucapkan, dia jatuhkan kedua tangan dan
kepalanya dengan sekuat tenaga. Dentumannya mengalahkan ledakan bom yang
sengaja dilemparkan untuk membunuh dunia dengan kebencian.
Jalan
cahaya adalah jalan eksistensi-spiritual dalam artian manusia benar-benar
mencari bahwa manusia dilingkupi cakrawala spiritual yang jarang kita cari,
jarang kita temukan, jarang kita pikirkan. 7Gerbang Cahaya merupakan sebuah
tetes kesadaran eksistensi-spiritual manusia yang haus akan airmata spiritual
yang selama ini masih tergantung di gerbang-gerbang cahaya. Misalnya bagaimana
Fatima yang belajar /Dari pohon dan
tanamanlah dia belajar bersabar, belajar tumbuh dan berkembang. Fatimah
menganggap tanaman adalah makhluk yang paling kuat dan sabar menjalani hidup.
Selalu tumbuh keatas. Saat kering bertahan, kala hujan menyimpan bekal, jika
berbuah, dia memberikannya pada siapa saja yang ingin mengambil dan
menikmatinya.
Dewasa ini kita sedang
mengalami krisis kegersangan pembacaan itu, manusia hari ini lebih duka belajar
pada teknologi yang seringkali gersang daripada belajar pada sesuatu yang
paling dekat dengan diri kita, misalnya lingkungan. Manusia hari ini ingin
melihat sesuatu yang besar, tanpa melihat yang kecil, ini artinya manusia lupa
akan proses lupa riyadhah bahwa kita
memiliki tanggungjawab untuk menjaga dan melestarikan alam.
Aku,
perempuan yang merawat cinta dengan luka, berjuta kali aku berdoa, mengiba,
duduk dengan tangan gemetar memegang tasbih, tak kuasa menyeru, hanya berbisik
lirih, menampung seluruh peristiwa dengan airmata.
Fatima sebagai sosok yang memiliki karakter yang hari ini mulai jarang
dilakukan, sehingga “manusia hidup itu tidak ada hubungannya dengan alam,
dengan bunga, dengan tanah”, mencari sosok Fatima yang seperti ini, hari ini
sungguh sulit kita temukan di tengah-tengah keramaian teknologi begitu bebas
berkeliaran di rumah-rumah dan dipikiran manusia dan tapi di jaman teknologi, informasi menjadi tuhan baru dalam pemujaan
manusia, tak ada yang disebut rahasia.
Oleh
karenanya Evi Idawati sebenarnya mencari satu cahaya dari 7 gerbang cahaya
tersebut, sebab 7gerbang cahaya hanya gerbang-gerbang cahaya untuk menuju satu
gerbang cahaya, dan satu gerbang itulah cahaya sebenarnya.
Namun,
kita harus menemukan kunci gerbang itu. Lelaki
itu, adalah huruf demi huruf yang tersusun di dalam hatinya, hingga mampu
membuatnya menemukan kunci untuk membuka gerbang demi gerbang yang ada di dalam
perjalanan hidupnya, dengan cara, menyapa langit, mengenali, berkarib, terbang,
bertautan, bermukim dan bersama, tak terpisahkan lagi.
Dari
sini kemudian kita mengetahui untuk membuka 7Gerbang Cahaya itu juga ada 7 kunci.
Pertama kita harus mampu menyapa langit, bagaimana cara menyapa langit? Ini tentu
membutuhkan pembersihan demi pembersihan jiwa (tazkiyatun nafsi) melalui tangisan rindu dan kenyerihan jiwa yang
terus meronta-ronta karena didekam kerinduan yang luar biasa. Menyapa langit
bukan perkara gampang, ada ritual-ritual khusus bagaimana manusia mampu
berdamai dengan dirinya sendiri.
Sehingga
manusia mampu berkata; Maka tidak ada
yang aku tabung dalam diriku, kegembiraan dan kebahagiaan adalah oase abadi
yang akan hadir dan hidup dalam hatiku. Jadi, bila kukatakan, aku tidak
membutuhkannya, ya, karena kebahagiaan itu adalah diriku sendiri. Disinilah
eksistensi-spiritual manusia sebenarnya, siapa
yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhan. Begitulah hadistnya,
namun untuk berdiam dan mengenal siapa aku, syarat utama adalah kita harus
mampu menyapa langit.
Kunci
kedua kita harus mampu mengenali, siapa yang harus kita kenali,
bagaimana cara kita mengenali? Dan untuk apa kita kenal? Yang harus kita kenali
adalah Tuhan Yang Maha Kaya. Orang datang
silih berganti, berkunjung datang dan pergi, aku hanya tinggal di dalam doa-doa
yang bergulir dari waktu ke waktu dari segala arah, dari semua penjuru, dari
berbagai sudut yang mengepung dan memelukku dan mengawalku dengan ketat.
Siapa
pun di dunia yang tidak mengenal, maka ia akan menjadi manusia yang
tungganglanggang dalam kehidupannya. Akan menjadi manusia yang tersesat di
padang sahara kegelapan. Di sinilah pentingnya guru bagi para pejalan
spiritual. Guru ibarat cahaya yang selalu menerangi perjalanan. Cahaya adalah tentara kalbu. Maka kita
harus mampu mengenali. Mengenal merupakan kunci utama setelah kita benar-benar
selesai menyapa langit. Semesta ini memiliki tanda dan setiap tanda itu
memiliki nama dan setiap nama diperintah untuk dikenal. Mulai dari manusia,
alam semesta, Tuhan, malaikat, Nabi, Rasul, kitab Tuhan, para Guru, pohon,
tanah dan lainya. Di hati para pejalan
yang menemukan Tuhan di kalbunya. Kupandang langit bening, kubaca takdirku. Aku
bukan lagi perempuan pemanggul kubah, tetapi menjadi penghuni abadi, bagi
cahaya yang dicintai.
Kunci
ketiga berkarib, dalam kamus Besar
Bahasa Indonesia Jilid V maknanya “rapat hubngannya dengan”, “bersahabat”. Dari
sini terlihat sekali bahwa kita memang harus menjadi manusia yang selalu nerima terhadap apa pun, bukankah
samudera juga begitu. Samudera spiritual merupakan samudera yang tak bertepi. Dalam
hal ini kalau kita ingin masuk ke gerbang ke tiga harus benar-benar sahabat
karib. Sebab sahabat lebih abadi dari saudara.
Untuk
menjadi sahabat yang memiliki daya tampung rohani seperti samudera buatlah
perahu cahaya. Karena cahaya adalah
kendaran dan rahasia jiwa. Cahaya
adalah tentara kalbu. Tak ada yang menemukan sebuah rahasia yang berasal ada
jiwa-jiwa yang bercahaya, meskipun semua begitu terang dan benderang.
Kunci
kelima terbang, ketika kita sudah
menyapa langit, mengenal dan berkarib, kita akan sampai di taman-taman rohani. Dimana
di taman-taman rohani inilah kita seolah-oleh terbang bersama cahaya. Bersama
para orang-orang kaya akan rohani. Kedamaian, ketentraman dan kesejukan menemukan
pasangnya di sana, sebuah perkampungan rohani bagi manusia yang memiliki sayap
rohani yang kuat dan sungguh-sungguh
Aku tidak akan berlari. Aku akan
memilih bersama mereka. Biar tak kulihat lagi, apa yang aku takuti. Agar bisa
kupandang wajah siapapun dengan getaran cahaya yang sama seperti mereka. Agar
bisa kuakrabi, cahaya yang lebih kuat hingga aku hilang dan tenggelam
bersamanya. Yang terlihat tak ada. Yang terdengar tak ada. Yang terasa tak ada.
Aku menjadi tak ada. Hanya cahaya. Hanya cahaya. Persekutuan cahaya.
Kunci
kelima bertautan, maka kita akan
sampai pada titik dimana semua berkumpul di perkampungan kekasih. Di kampung
tautan inilah tidak ada iri, tidak ada dengki, tidak emosi dan puisi-puisi
basi, sebab semua bertaut bersama kemegahan rohani yang tak ternilai harganya. Sebab
di sana Engkau menjadi tujuan yang tak
pernah letih aku mintakan.
Kunci
ke enam bermukim, untuk itu mari kita
bermukim di kampung rohani. Kampung yang segalanya serba ada. Serba berlimpah.
Serba bahagia. Sebab tujuan akhir manusia adalah bermukim bersama Tuhan.
Kunci
ke tujuh bersama. Kita bermukim
bersama. Sebab seringkali kita hidup bermukim tapi tidak bersama. Bersama tapi
tidak mengenal. Bersama tapi tidak dekat. Untuk membuka 7Gerbang Cahaya kita
harus bersama dalam menyapa langit, bersama dalam mengenali, bersama dalam
terbang, bersama dalam bermukim. Bersama dalam artian seiring, serentak, agar apa
yang ingin dicapai bisa tercapai yaitu Kebaikan
yang memang dilahirkan dari rahim kebaikan.
Pesan
saya kita harus membaca buku ini bahkan harus merenungi isi cerita ini. Cerita
yang bernas mengurai rentetan kegelisahan spiritual yang akhir-akhir ini jarang
kita lakukan, minimal dengan membaca buku, kita diajak berdiam sebentar, merefleksikan
keberadaan kita yang sibuk dengan urusan dunia dan dana. Buku ini memberikan
penyegar bagi kita yang sedang kepanasan di tengah keramaian isu agama, isu
politik dan isu ekonomi. Semoga manfaat khususnya bagi saya. Salam.
Komentar