Ziarah Lingkungan: Sebuah Ziarah Kebangsaan



Oleh: Matroni Musèrang*

Bangsa yang besar adalah yang bangsa yang mampu menghidupkan tanah dan jiwanya. Untuk menghidupkan itulah kita membutuhkan perangkat penghidup. Perangkat itulah bernama ilmu dan pengetahuan. Untuk mendapatkan Ilmu manusia harus belajar dan membaca. Untuk mendapatkan pengetahuan manusia harus hijrah dan ziarah. Namun untuk menghidupkan tanah Indonesia yang sangat subur itu tidak mudah, membutuhkan manusia yang memiliki kesadaran yang tinggi. Manusia yang hanya memiliki kepentingan kemanusiaan dan ke-alam-an.
Acara Lesbumi Sumenep bersama Kompolan Tera’ Bulan  dengan Paddhang Bulan Pemekasan Sabtu malam 23 Maret 2019, meskipun acara ini tidak menarik masyarakat untuk belajar, sebab tidak memberikan bukti fisik apa-apa, misalnya sertifikat, atau uang saku, namun acara seperti ini memang harus dilakukan untuk memberikan titik kesadaran kemanusiaan agar kita hidup tidak selalu menghidupkan uang kertas, akan tetapi memiliki tanggungjawab menghidupkan kesadaran lingkungan. Lingkungan rumah kita, lingkungan tanah kita, lingkungan negara kita yaitu Indonesia.  
Forum malam itu mencoba menggedor dinding kesadaran kita untuk terus bergerak menghidupkan pemikiran dan ilmu pengetahuan. Maka penting untuk merenungkan dan prihatin tehadap isu-isu sosial, lingkungan dan tradisi serta mencoba melihat masalah lingkungan dan tanah di Madura. Salah latar belakang kita berpikir lingkungan adalah tentang Tanah misalnya itu merupakan perintah bangsa kita Indonesia “hiduplah tanahku”, siapa yang mampu menghidupkan tanah dialah orang yang makmur sekaligus kaya.
Maka dibutuhkan kesadaran kritis masyarakat, seiring perkembangan industri yang tidak ramah lingkungan dan banyaknya tanah yang diborong investor dan pemodal besar. Mahmudi Zain misalnya mengatakan bahwa jika masalah lingkungan hanya segelintir orang tertarik dan berminat. Ia asing, gharib bagaikan agama Islam pada awal sejarahnya. Dibutuhkan strategi dan kesabaran agar dikenal luas. Teologi lingkungan sama dengan rukun agama; iman, Islam dan Ihsan. Perpaduan iman dan Islam baru jadi Muhsin.
Teologi lingkungan mengakar dari teologi pembebasan hal ini lahir karena rusaknya lingkungan. Meskipun sejatinya, manusia mendamba kalbun Salim, wal Ardhu dhaimah.  Hati yang selamat, bumi yang damai. Dalam Alquran disebut, lebih banyak ajaran yang mengajak kepada kebaikan, ketimbang keburukan. “Iman lingkungan ketimbang kafir lingkungan.
Sholahuddin Waris misalnya mengatakan bahwa Karakter budaya Madura yang individualistik tercermin lewat bahasanya, namun jika persoalan lingkungan lebih bersumber dari aktivitas politik ekonomi dan ekonomi politik yang berputar-putar, maka pembangunan dibuat untuk menggerakkan roda ekonomi. Meskipun faktanya, syahwat kepentingan manusia mengalahkan kebutuhannya sendiri. Aktivitas politik yang memiliki kepentingan ini, yang dianggapnya berbahaya karena dapat merusak sistem nilai di masyarakat. Ketika modal kultural yang dimiliki masyarakat rusak, lingkungan sosial juga ikut rusak.   
Achmad Musthafa misalnya memiliki perspektif yang berbeda bahwa harus ada kolaborasi dari berbagai aparatur sosial dan pengurus publik diperlukan untuk menggalakkan isu-isu lingkungan sehingga sampai ke level kebijakan. Menumbbuhkan kesadaran lingkungan akan bisa bergerak di level personal, maka ini dibutuhkan pengurus publik dan pengurus publik ini harus dibekali dengan nalar kritis dan Mindset yang cukup kebal. Untuk membangun mindset yang kebal memang dibutuhkan keseriusan untuk selalu berdialogi dan berdialektika keilmuan. Dia menegaskan butuh ruang publik yang lebih luas dan kolaborasi berbagai pihak dalam mengkampanyekan kesadaran lingkungan. Pengurus publik dan media alternatif, dibutuhkan untuk mendorong kesadaran lingkungan sampai di tingkat Legislasi. Kesadaran lingkungan seolah terputus hanya sebagai diskursus dari pegiat lingkungan, tidak masuk ke kurikulum atau jadi tuntutan di tingkat legislasi. Pendidikan terkesan abai dengan isu macam begini. Sebab disekolah pelajaran tidak banyak berhubungan dengan lingkungan.
Sementara Dardiri Zubairi mencoba melihat dari perspektif kebudaya yang mengatakan bahwa masalah lingkungan adalah fakta paling nyata yang dihadapi masyarakat hari ini. Namun tidak jadi bagian dari piranti sosial. Maka wajar jika hari ini tanah mengalami perubahan. Kalau dulu masyarakat sangat sulit untuk melepas tanah, khususnya tanah sangkol, sebab tanah bagi orang Madura memiliki makna magis, tanah yang mampu mempertemukan antara yang hidup dan yang mati, makanya di Madura ada basto/tolah.
Keempat pemantik dalam acara ziarah lingkungan merupakan salah satu menggugah kesadaran kritis kita untuk lebih kritis melihat perubahann lingkungan yang disebabkan oleh perubahan sosial. Perubahan sosial ibarat roda yang terus berputar, jika daya kritis kita tumpul maka kita tidak akan mampu melihat perputaran itu.
Penting kemudian terus mengasah pemikiran dan ilmu pengetahuan kita untuk melihat sebenarnya kita hidup di atas tanah agar hubungan manusia, alam dan tuhan tidak putus, sebab kalau lingkungan rusak, maka jelas itu ulah manusia. Bukan kucing, bukan ikan, dan bukan burung, tapi ulah manusia.
Longsor, banjir, dan lainnya jelas itu ulah manusia. Manusia yany tidak memiliki kesadaran kritis akan lingkungannya. Dalam perkembangannya dewasa ini rusaknya lingkungan itu diakibatkan oleh “kematian” kemanusiaan kita. Dikatakan mati, kita hidup seolah-olah tidak memiliki hubungan dengan alam, dengan tanah, dengan angin, dengan daun-daun yang jatuh. Agar “kematian” itu tidak terjadi lagi pada alam, lingkungan dan tanah kita, penting bagi kita untuk menciptakan kampanye kesadaran akan lingkungan sebagai bentuk kemanusiaan.
Oleh karenanya, kesadaran kritis ini bukan hanya harus dimiliki pemudah, intelektual, akan tetapi para elit pemerintahan sangat mendesak untuk memperhatikan hal itu. Entah melalui diskusi, seminar dan dunia pendidikan di sekolah-sekolah dan kampus-kampus di Madura. Karena hari ini kita didoktrin bahwa belajar harus di ruang kelas dan kampus, maka cara yang paling baik adalah memasukkan materi etika lingkungan, teo-ekologi dan semacamnya di formalitas kurikulum seperti yang diajukan oleh K. Mustafa di atas.
Namun ketika masuk menjadi kurikulum, pendidikan lingkungan pun menjadi manara gading yang lusuh, jika ia hanya dijadikan materi formal tanpa ada upaya untuk membaca dan belajar lebih kritis. Maka untuk itu, dibutuhkan kajian kritis-filosofis terkait dengan ziarah lingkungan kini mulai mengalami kelusuhan dan compang-camping.


*Dosen STKIP PGRI Sumenep dan Guru di MA Nasy’atul Muta’allimin Gapura.


Sumber: Radar Madura/ 2019/3/4

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani