Puisi-Puisi Matroni Musèrang; Aku yang di Luar dan Aku yang di Dalam

Aku yang di Luar dan Aku yang di Dalam

aku yang di luar adalah tubuh
aku yang di dalam adalah jiwa

aku yang enggan berpikir tentangmu
aku yang suka memikirkanmu

aku yang masih mencarimu
aku yang selalu merindumu

aku yang terus melirikmu
aku yang kadang memburu

aku yang duduk di atas kata
aku yang melukis dalam dada

aku yang luka karena tubuh
aku yang dahaga karena hawa

aku yang setia pada janji
aku yang lupa pada pagi

aku yang tak lupa mencatat tanggal
aku yang sesekali tertinggal

aku yang di luar adalah tubuh
aku yang di dalam adalah jiwa

aku yang keakuan
aku yang kebadian

Madura, 2019


Melihat Kampung dari Kampung

aku mencoba untuk jujur padamu
kampung yang bergumam tentang waktu

hilir pejalan kaki, dan penjual rujak
menampung segantang sajak

angin segar susup sudah, di matamu sedesir dadamu
kerikil perawan yang basah keringat kaki dan bulu betismu

aku tiba di pangkuan pagi
berupa kampung tanah dijejak sapi

aku mencoba untuk jujur padamu
tentang hijau berjajar di tubuhmu

perempuan yang setiap pagi mencari utang
sekadar mencukupi dahaga dan makan
bersama tiga anak perempuan
ia datang dan melepas sandal di tepian halaman

Battangan, lekas guyup yang limbung
sebab, kampung bahasa kehidupan yang paling jujur

dendang gending macopat mengisi aliran saraf kampung
hadang yang hendak menugal tulang

diamkan segala yang geram
sebab, jarak diteguk oleh kerinduan

Madura, 2019


Sungai Kemarau

tak ada yang tersisa di permukaan sungai
daun yang jatuh atau ikan kelemar menepi
selalu membuat mataku berenang, memecah keramaian

orang-orang mencuci masa lalu
membersihkan tanggal demi tanggal
seperti mendongak ke langit

ada yang harus dinyanyikan
seekor ikan kelemar, katak, dabak diam di kolam sungai
ia berjajar bersama daun-daun basah
sambil berhitung, kalau kau lelah menunggu waktu

yang lembut seperti embun dari rimbun kalampok
atau sekadar sajak yang haus
mengutarakan hidup yang tak bisa tenang

Madura, 2019


Menatap Kampung Sajak

aku naiki punggung pohon
yang berjajar menahan
terpaan waktu dan ruang

di jejak pertama sebelum ranting
jari-jari meneguk harapan datang

ranting pertama jari-jari memegang
mencari dahan angin sedang meruang

ranting kedua tangan kukuh memegang
keyakinan sebagai tonggak cakrawala mendatang

ranting ketiga aku melihat ke bawah
tanah dan daun kering basah

ranting ke empat aku melihat tubuh pohon
kuat menghujam akar dahan

ranting kelima aku terus naik menuju puncak
menikmati cakrawala dan angin sajak

ranting keenam aku melihat daun-daun gugur
tanpa lupa berucap syukur

ranting ketujuh aku tak jauh
ada di kedalaman paling satu

Battangan, 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani