Puasa dan Puisi



Oleh Matroni Musèrang*

Kita berpuisi tujuannya untuk apa? Apakah kita mau menjadi orang yang ahli puisi atau orang yang paham tentang puisi?. Kalau kita mau menjadi pengarang puisi berarti kita harus mampu menciptakan ide sendiri, pemahaman sendiri, memikirkan sendiri, refleksi sendiri, berkreasi sendiri, bernalar sendiri, memproduksi ide sendiri itu ahli puisi. tapi kalau kita mau menjadi ahli puisi, berarti kita harus belajar apa itu puisi, siapa tokohya, tokoh A pikirannya apa, tokoh B pikirannnya bagaimana, ini penyair islam atai penyair barat? Kalau barat pikirannya gimana dan seterusnya.
Yang paling bagus adalah gabungan dari dua-duannya. Kita ahli puisi juga penyair, itu dahsyat. Kalau tidak bisa minimal menjadi penulis puisi. mengapa banyak orang mengatakan setiap kita adalah penyair. Tapi kita tidak harus ahli puisi.
Oleh karenanya itu kita harus mampu membedakan puisi sebagai medogologi berpikir, dengan puisi sebagai produk imajinasi atau produk pemikiran. Sama halnya dengan puasa, puasa sebagai sebuah metodologi berpikir dan puasa sebagai produk Islam. Dengan puasa yang sama kita menjadi manusia yang religius, dengan puasa yang sama kita menjadi sok-religius.
Kalau kita melihat warung buka, kita manganggap warung itu sebagai maksiat, ini pandangan puasa sebagai produk pemikiran. Puasa dijadikan alat untuk berpikir, maka bulan puasa semua warung harus tutup, karena dianggap mangganggu orang puasa. Apakah benar mengganggu?
Itulah pertanyaan yang harus kita refleksikan bersama, kalau pun menganggu apakah dengan cara kasar kita menegus mereka? Kalau menganggu, apakah kemenggangguannya itu membatalkan puasa atau tidak? Kalau membatalkan puasa tentu warung itu harus di tutup. Kalau kemenggangguannya hanya karena persepsi atau produk pemikiran, maka tidak menutup warung itu lebih mulia, sebab di sana ada transaksi ekonomi.
Kalau ada transaksi ekonomi padahal ekonomi itu penting untuk keberlanjutan ibadah pemilik warung, apakah kita pantas menutup warung dengan kasar? Di sini kita penting belajar sensifitas-sosial, atau kepekaan sosial. Kepekaan bukan berarti kita hanya tahu, akan tetapi ada peta pembacaan kronologi atas objek yang kita lihat. Sehingga tidak bertentangan dengan produk pemikiran yang lain.
Memahami puasa tentu di dalamnya ada spikologi puasa. Makanya ada orang puasa yang hanya menadpatkan lapar dan haus. Ada orang berpuasa mendapatkan pahala. Ini artinya puasa bukan hanya sekadar ritual tahunan yang dilaksanakan satu bulan.
Puasa di dalamnya ada nalar spikologis dan nalar sosial. Keduanya-duanya harus kita pahami agar puasa tidak hanya sekadar haus dan lapar. Nalar psikologis artinya menahan hawa nafsu, hawa seks, hawa pandangan, hawa gossip, hawa amarah, hawa khayalan. Sebab hawa itu akan menghapus pahala puasa. Di sisi inilah manusia seringkali kewalahan.
Nalar sosial dalam puasa artinya kita sebagai makhlus sosial yang tidak akan lepas dari dinamika, keberagaman, dan keberagamaan. Kadang kita melihat manusia sangat religius ketika bulan puasa, infaqnya banyak, zakatnya keluar semua, ngajinya kenceng, lantas apakah bulan-bulan diluar bulan puasa merupakan bulan yang tidak ciptakan Tuhan, sehingga seolah-olah hanya bulan puasa bulan yang penuh ampunan, padahal ampunan Tuhan tidak mengenal bulan dan hari.
Kadang kita salah kaprah memahami bulan dan simbol agama. Sehingga jika ada manusia yang suka mengeluarkan diksi-diksi arab di anggap orang paling religius. Itu berarti pemahaman keagamaan kita baru sebatas bahasa. Agama identik dengan bahasa arab. Siapa yang selalu mengelauarkan bahasa dialah orang yang paling islami. Betulkah? Masih muslim gak?
Berani tidak kita mempertanyakan puasamu? Jika dalam keadaan berpuasa di bulan puasa, pikiran dan hati masih curiga kepada orang lain? Puasa pada hakikatnya mengajarkan pada kita untuk mi’raj dari manusia yang tidak jujur menjadi manusia yang jujur, minimal jujur pada dirinya sendiri. Dari manusia yang hanya religius di bulan puasa, religius di bulan-bulan yang lain.
Kalau kita belajar pada puisi. kita akan tahu bahwa dikedalaman puisi ada noktah kejujuran yang kemudian lahir menjadi puitis-estetis. Sebenarnya tujuan kita puasa adalah untuk menjadi manusia yang estetik. Pikirannya estetik, tingkah lakunya estetik, dan moralnya estetik serta agamanya estetik. Jika semua keseharian keagamaan manusia sudah estetik, maka kedamaian, kebahagiaan dan keharmonisan akan selalu terjalin dengan baik.
Puasa harus puitis. Puisi pun harus puitis, dan beragama pun harus puitis. Oleh karenanya puasa akan memberikan titik kesadaran moral sosial bagi keberlanjutan kehidupan sehari-hari di bulan-bulan yang lain. Sebab puasa di bulan puasa merupakan puasa yang banyak titik kesadaran sosial yang harus di emban untuk menjadi manusia yang puitis dalam menjalankan perintah dan larangan Tuhan. Maka kita harus serius dalam hidup, berpuasa kita harus serius, menulis puisi pun juga harus serius.
Oleh karenanya puasa kita harus dilihat dari dua nalar pertama nalar bahwa puasa merupakan jembatan kita untuk dipertanggungjawabkan, kedua nalar bahwa puasa merupakan terapi spikologis yang membuat kita semakin menyadari bahwa hidup ini adalah keterhubungan kita dengan Tuhan, dengan alam, dengan manusia dan dengan dirimu sendiri.
Itulah intergrasi kehidupan manusia dalam menapaki ilmu dan pengetahuan. Puasa dan puisi seperti uang logam yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan dalam narasi keilmuan. Semoga bulan puasa menjadi moment bagi kita menemukan titik tetes air mata inspirasi sosial-moral-religius-filosofis dalam menata pemahaman keagamaan kita terhadap teks qauliyah dan teks kauniyah. Amin.


*Santri       
  
Sumber: radar Madura, tanggal 14 Mei 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani