Puasa dan Kedamaian Sosial



Oleh: Matroni Musèrang*


Puasa dasar utamanya adalah “keimanan” (baca;al-Qur’an), bukan “kemampuan” artinya kalau pun ada warung buka, menjual bakso, menjual nasi bukan alasan kita untuk “mengutuk” si penjual, apalagi sampai membongkar dan membakar. Ketika keimanan yang menjadi fondasi seseorang berpuasa, maka untuk menghormati bulan puasa semua manusia diperintah menghormati sesama manusia (yang berpuasa atau yang tidak puasa).
Dengan tidak mengganggu sesama manusia sebagaimana Nabi Muhammad SAW juga sangat menghormati semua manusia baik yang beragama Islam maupun non-Islam, maka puasa kita benar-benar berjalan di atas fondasi keimaman. Bagaimana mungkin yang berpuasa bisa menganggu sesama, sebab dengan berpuasa kita menghormati puasa itu sendiri. Dengan menghormati bulan puasa, apakah pantas atau etis kita menganggu orang lain? Tentu tidak, sebab bulan puasa merupakan bulan bagi orang-orang yang beriman untuk benar-benar membersihkan kotoran-kotoran yang melekat di pikiran, di hati dan tingkah laku kita.
Di bulan puasa, kita sudah tidak lagi memiliki musuh, pikiran buruk dan tingkah laku buruk kepada sesama. Sebab pikiran dan hati kita sudah mulai “bercahaya” lantaran kita bersihkan dengan sapu amalan-amalan baik yang kita lakukan setiap detik. Hati selalu berzikir, pikiran selalu mengingat sang Maha, dan tindakan kita selalu baik-baik.   
  Puasa seperti hujan, jadi siapa yang akan mandi dan siapa yang akan menengadah tentu akan berbeda hasilnya. Puasa merupakan obral kebaikan, karena di obral kita harus berlomba-lomba untuk lebih banyak mendapatkan kebaikan tersebut. Pikiran dan hati yang berpuasa tentu tidak akan menganggu dan menghina sesama makhluk, sebab fondasi puasa adalah keimanan. Artinya siapa yang paham makna iman, tentu kita akan damai hati dan pikiran dengan keberagaman dan keberagamaan yang memang sudah hokum alam.
Ketika orang berpuasa sudah seharusnya kita berdamai dengan sesama, berdamai dengan pikiran hati, maka ketika kedamaian itu berdiam di ruang pikiran dan hati bagaimana mungkin kita dapat menganggu sesama. Untuk mengetahui makna puasa tentu ada banyak pengetahuan yang harus kita baca dengan baik. Sebab pembaca yang baik adalah pendamai bagi sesama.
Apa yang dilakukan kelompok-kelompok aliran radikal atau ekstrim itu didasarkan pada pemahaman parsial. Mengapa harus buru-buru menghukum dan menjustifikasi orang kafir dan berdosa, sementara pemahaman kita pun belum tentu “benar”. Ketika kita suka menghakimi orang lain dengan kafir dan dosa, lantas kapan etika/moral kita akan naik (mi’raj), dari yang suka menghakimi orang dengan kafir dan dosa naik menjadi manusia yang menghormati dan cinta terhadap orang lain.
Nilai substansial dari puasa sebenarnya adalah tauhed sosial yaitu terjaganya seseorang dari membuat kesalahan dan terjaga agar mampu menahan, menahan dari apa dan bagaimana, tentu menahan untuk tidak mengganggu orang lain, seperti mengbongkar dan membakar warung para penjual makanan. Bagi kita yang paham makna iman dan makna puasa membongkar warung sebenarnya perbuatan tercela. Alasannya amar ma’ruf nahi mungkar, QS Ali Imran ayat 110 dinyatakan bahwa Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan) dan beriman kepada Allah.
Saya sependapat dengan Kontowijoyo bahwa ayat di atas mengandung nilai-nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi. Yang penting digaris bawahi adalah “ummat terbaik”, apakah kita sudah menjadi ummat atau merasa terbaik bagi orang lain, padahal untuk dikatakan baik oleh orang lain tergantung pada etika atau moral kita sendiri. Kalau tingkah kita mengbongkar dan mengkafirkan orang lain apakah itu perbuatan baik (ma’ruf)?
Apakah membongkar itu baik? Kalau iya, baik menurut siapa? Maka membaca kondisi dan kausalitas (sebab akibat) dari fenomena orang berjualan itu penting. Orang jualan itu juga ayat, yang namanya ayat, kita diperintah untuk membaca ayat-ayat. Puasa merupakan moment untuk membaca ayat (tadarus), ayat sosial, ayat al-qur’an. Kalau kita belum membaca ayat sosial dalam hal ini para penjual di warung-warung, lantas kita memgbongkar, apakah tidak dosa, walau pun warung itu menjual makanan. Mengapa tidak membongkar markas koruptor di negeri ini? Mengapa? Mengapa menjual itu yang setiap hari mendapatkan untung satu juta kebawah?
Kalau kita puasa, apa makna puasa kita sebenarnya? Kalau kita manusia dimana rasa kemanusiaan kita? Kalau kita beriman dimanakah keimanan kita? Mengapa kita lebih tajam kebawa daripada tajam ke atas? Apakah puasa hanya dijadikan taming untuk membongkar agar kita disebut sebagai pencegah kemungkaran? Terlalu suci puasa dijadikan alat untuk mengbongkar hak orang lain.
Universalitas nilai yang dicita-citakan amar makruf nahi mungkar akan terlihat dan terbukti ketika manusia mengamalkannya, mengamalkan tidak serta merta, akan tetapi untuk mengamalkan kita diperintah untuk mengetahuai ilmunya. Sebab tanpa ada nilai dan eksplorasi yang mendalam dan pengetahuan yang cukup sama artinya pohon yang tak berbuah. Maka cita-cita dari amar makruf nahi mungkar menjadi penting di capai oleh siapa pun. Maka dibutuhkan pembacaan yang serius dan pemikiran yang mendalam bagaimana mengaplikasikan konsep ini di tengah masyarakat.
Pengertian “mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran” kalau dibiarkan secata tekstual akan berkata apa adanya, tapi apakah hanya dibiarkan demikian tanpa ada pemaknaan (kontekstual) yang mendalam sehingga pengertian tersebut tidak hanya pengertian an sich, akan tetapi ada nilai praktis yang harus kita jalankan dan diperjuangkan untuk sampai di puncak cita-cita al-Qur’an sendiri.
Kebaikan kalau kita maknai itu apa? Apakah hanya sebatas membantu orang lain, melaksanakan perintah Allah? Lalu, kemungkaran sendiri itu apa? Apakah hanya tidak mabuk-mabukan? Tidak zina? Tidak berbuat jahat? Apakah hanya sedangkal itu kita pemahami kata-kata dari al-Qur’an. Padahal kita tahu bahwa al-Qur’an semesta tak terbatas dalam memberikan pemahaman kepada pembaca.
Selebihnya adalah refleksi atas pembacaan tersebut. Karena bagaimana pun Amar Makruf Nahi Munkar tidak akan pernah selesai kita bicarakan, jadi tugas kita adalah terus membaca memperbaharui cakrawala pemikiran dan keilmuan yang kita miliki, maka dengan sendirinya berpuasa merupakan ber-Amar Makruf Nahi Munkar akan ikut bersama kita, bersama orang-orang yang terus belajar dan membaca.  


*Santri Nadhlatul Ulama Gapura








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani