Pembusukan Bahasa Madura di Madura
Oleh: Matroni Musèrang*
Tulisan ini
berangkat dari kegelisahan saya ketika membaca tulisan Lugman Hakim AG pada
tanggal 15 Februari 2019 di Jawa Pos Radar Madura. Bahan bacaan apa yang
dikonsumsi guru bahasa Madura untuk menunjang tugasnya sebagai pendidik? Pertanyaan
memukul telak bagi pendidik atau guru perlu dipertimbangkan, tapi guru yang
memang sejak awal memang suka belajar dan membaca. Pertanyaan ontologis inilah
meminta kita orang Madura, Guru Bahasa Madura untuk berpikir lebih cerdas lagi
bahkan dinas pendidikan dan Depag di Madura pun tentu harus memiliki terobosan
yang lebih menyegarkan tentang eksistensi bahasa Madura sebagai identitas
peradaban.
Bahasa adalah
identitas budaya. Bahasa adalah identitas peradaban dan keadaban sebuah bangsa
atau daerah. Termasuk bahasa Madura. Kalau boleh kita bertanya apakah di
sekolah-sekolah atau kampus di Madura memang menyediakan prodi atau jurusan
bahasa Madura atau bahasa dan sastra Madura?
Mari kita
refleksi dan jawab bersama, kalau bahasa menjadi identitas budaya, berarti kalau
bahasa itu tidak ada otomatis budaya itu sendiri tidak ada. Mati. Membusuk.
Lahirlah para pendidik yang “membusukkan bahasa”.
Seringkali
saya temukan anak-anak keturunan orang Madura, lahir di Madura sejak kecil
disusupi bahasa Indonesia, secara alamiah seharusnya anak itu dikenalkan bahasa
keluarga sebab keluarga madrasah pertama bagi anak-anak. Madrasah kedua adalah
langgar/mushalla atau surau, madrasah ketiga adalah sekolah, madrasah keempat
adalah perguruan tinggi atau pesantren.
Madrasah-madrasah
hanya melanjutkan karakter pendidikan dari madrasah pertama, sehingga
membutuhkan wawasan inklusifitas paradigmatik, artinya bukan ilmu salaf an sich yang harus dipelajari di zaman
mellineal 4.0 ini, akan tetapi ilmu non-salaf pun penting dipejari, sebab
hadist Nabi pun tidak menyebutkan ilmu salaf, akan tetapi semua ilmu. Ilmu itu
pun bukan hanya kitab klasik, tapi tafsir, hermeniutik, sosiologi, antropologi,
politik bahkan filsafat pun penting untu pelajari.
Biasanya yang
fanatik atau orang yang tidak mau belajar ilmu sosiologi politik antrologi
adalah orang-orang salaf, karena mereka “meyakini” hanya ilmu yang bertuliskan
bahasa arab ilmu yang wajib dipelajari. Ini juga akan berpengaruh pada
eksistensi bahasa Madura di Madura, sehingga mereka “miskin” wawasan
kebangsaan, politik global, dan akhirnya ia menganggap pemahamannya sendiri
yang benar.
Oleh karena
itu penting ilmu itu dipahami sebagai
seni untuk mengenal Allah, mengenal alam semesta dan mengenal manusia. Untuk
mengenal, di situ Allah memberikan ilmu atau cara-cara atau strategi atau
metodologi, sebab tidak muda untuk mengenal Allah, mengenal alam semesta dan
mengenal manusia, meskipun kita sendiri manusia. Makanya ada hadist siapa yang
mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.
Kalau hadist
ini dihubungkan dengan eksistensi bahasa Madura, kita masuk pada orang yang
tidak mengenal Madura, tidak mengenal bahasa Madura, walau pun hidup kita di
Madura. Di sinilah letak kesombongan kita yang tidak mau mengenal bahasa
Madura.
Yang menjadi krusial dalam perkembangan bahasa Madura kontemporer
seiring dengan semakin meluasnya penggunaan secara manipulatif bahasa Madura sebagai
instrumen konsolidasi identitas: suku dan agama. Akibatnya, pendidik dan
intelektual gagal berfungsi sebagai fasilitas dialog yang menjembatani
perbedaan antar identitas guna menemukan basis dan nilai yang merupakan alasan
fundamental eksistensi bahasa Madura dan kebudayaan, yaitu kemanusiaan.
Sebaliknya, kaum pendidik justru semakin mengokohkan pembilahan menurut garis-garis
identitas. Akibat lebih lanjut, secara budaya, pendidik dengan segala
pengetahuannya, gagal menghasilkan voice, kecuali kebisingan yang
semakin diperburuk oleh kealpaan saling adu argemen atau wacana sebagai fondasi
sebuah masyarakat yang baik, katanya. Bahasa Madura, dan pendidik yang
dimilikinya, menghasilkan manusia, berupa pembusukan bahasa Madura dan jargon
yang dangkal, gagal mencapai derajat keadaban yang dapat diletakkan dalam suatu
dialektika berbasis ilmu pengetahuan. Bahasa Madura semakin memperuncing
pembilahan berbasis identitas ini dan mengalami konsolidasi secara masif dan
cepat dengan fasilitasi teknologi sebagaimana didemonstrasikan melalui media
sosial akhir-akhir ini. Kecenderungan ini membuat bahasa Madura bukan saja semakin
menjauhi fungsi kemanusiaannya guna membebaskan masyarakat dari penjara praduga
indentitas suku, agama dan gender yang membelenggu masyarakat pada fase
kegelapan sejumlah peradaban di masa lalu. Akan tetapi, juga mengonsolidasi dan
menjustifikasi kemunculan post-truth sebagai corak baru masyarakat.
Belum lagi adanya tirani wacana,
bahkan menjadi tantangan global yang sedang dihadapkan pada proses
komersialisasi bahasa asing dan institusi yang memproduksi bahasa asing yang
sedang berlangsung sedahsyat-dahsyatnya. Sebuah persoalan komersialisasi bahasa
Madura yang menjadi tema percakapan sosial yang semakin membesar dari waktu ke
waktu, Lukman Hakim AG salah satu dari sekian banyak pemerhati yang perihatin adanya
“pembusukan bahasa Madura” oleh orang Madura sendiri.
Kegelisahan di atas berangkat dari fakta mengenai fungsi
atau peran ideal kaum intelektual, dilema-dilema yang dihadapi berikut
bagaimana bahasa Madura didefinisikan dan diperlakukan oleh kekuasaan, termasuk
oleh institusi-institusi sosial dan pasar. Pemahaman yang bisa dilacak dari
aneka kajian yang memusatkan perhatian pada bahasa Madura sebagai aktor dan pemahaman
yang memusatkan perhatian pada budaya dan peradaban (Lukman Hakim AG jawa pos,
radar madura, 15/2/2019) misalnya, menggarisbawahi peran bahasa Madura sebagai identitas
masyarakat Madura yang memiliki sifat altruistik dalam memburu kebenarandan mengupayakan
kemaslahatan bersama, serta keteguhan pada prinsip-prinsip kemanusiaan, kebudayaan
dan peradaban. Kerja intelektual, dengannya, adalah kerja mental dan pemikiran.
Dan dosa terbesar kita adalah membusukkan bahasa Madura dengan sengaja atau
tidak sengaja.
Mengakhiri esai ini, izinkan saya menggarisbawahi
keyakinan saya bahwa tujuan-tujuan mulia yang melekat dalam bahasa Madura dan
menjadi fondasi dari eksistensi bahasa Madura dan tujuan yang melekat dalam
filsafat kemanusiaan bertumpu pada kehendak yang sama: cita-cita pembebasan bahasa
Madura dan pemuliaan kemanusiaan dalam menjaga bahasa Madura sebagai identitas
budaya. Kesamaan kehendak inilah yang menjadi titik penjaga gawang bahasa
Madura dan budaya Madura. Dengannya, sekalipun tampak hidup dalam dunia yang
terpisah, padadasarnya keduanya saling menghidupi: bahasa Madura pasti hidup
dalam kebudayaan, dan kebudayaan membutuhkan ilmu dan pengetahuan.
Semoga bahasa Madura sebagai identitas dan bahasa Madura
sebagai ilmu (budaya) tetap terjaga sebagai sebuah ijtihad kebudayaan yang
selama ini masih minim.
*Dosen STKIP PGRI SUMENEP, dan Guru di MA Nasy’atu
Muta’allimin Gapura.
Sumber:
https://radarmadura.jawapos.com/read/2019/02/21/120766/pembusukan-bahasa-madura-di-madura
Komentar