Seniman Organik: Sebuah Upaya Penyadaran
Oleh: Matroni Musèrang*
“Orang yang tidak mampu menikmati merdunya suara
dan indahnya notasi musik, maka adanya sama dengan tidak ada, sekali pun hidup,
ia mati adanya”.
Rangkaian kata yang dilantunkan oleh Syaikh Imam
al-Ghazali dalam kitabnya al-Hikmah fi Makhuqatillah sebagai pembuka tulisan
saya yang ingin menanggapi tulisan Syah A. Lathif di Jawa Pos Radar Madura pada
hari Minggu 2 September 2018 “dari ladang jagung; mencari Praktik seni
Penyadaran” membuat pikiran gelisah dan risau akan eksistensi seni yang “ada”
di tanah Sumenep. Mengingat seni sebuah keahlian membuat karya berkualitas dan
keahlian yang luar biasa. Dalam konteks ini tentu kita membutuhkan keseriusan
untuk terus dan selalu belajar dan menerjemahkan seni di ranah realitas seperti
yang ditulis oleh Syah A. Lathief (selanjutnya Lathief) bukan mudah kita
membuat pertunjukan yang mampu menghipnotis banyak orang dan mampu menghidupkan
desa yang sepi seperti di desa Nyapar. Seni dan budaya sebagai hak dan kekayaan
intelektual bangsa, sangat disayangkan ketika karya kita diambil oleh orang
yang tidak memiliki kreativitas dalam menciptakan seni. Ingat seni sebagai
basis dasar dalam menentukan kemajuan sebuah desa bahkan bangsa.
Dewasa ini tidak “mungkin” tidak penting
mengekspresikan seni dalam bentuk baju compang-camping, celana sobek, rambut
panjang, perokok yang kemudian dijustifikasi sebagai seniman atau penyair,
bukankah mengkontekstualisasikan paradigma seni itu lebih penting daripada
sekadar ekspresi bentuk-bentuk, belum lagi kita tidak benar-benar menekuni apa
itu seni. Kacau! Oleh karenanya belajar seni dan menerjemahkan ke ranah sosial
merupakan yang sangat urgen saat ini di tengah semaraknya polesan bentuk-bentuk,
daripada memoles dikedalaman bentuk itu sendiri. Bukankah immateri dan materi
sama-sama penting. Bukankah rasio dan jiwa sama-sama penting? Kesadaran seperti
itulah sebenarnya yang saat ini kita butuhkan di tengah-tengah masyarakat.
Kesadaran bahwa seni ada dalam rangka menghidupkan warga, menghidupkan ekonomi,
menghidupkan kemandirian, menghidupkan kesadaran.
Di sinilah pentingnya keseriusan dalam belajar,
sebab keseriusan merupakan modal awal bagi seseorang untuk menjadi ahli.
Artinya jangan bilang seniman jika belum mampu menghidupkan desa yang sepi,
bagaimana dari ladang jagung mampu menciptakan warga bisa mendapatkan
keuntungan ekonomi. Pemikiran seperti inilah sebenarnya yang diinginkan
pertunjukan seni di desa-desa di Sumenep. Mencoba mengajak warga untuk berpikir
mandiri melalui rangsangan seni. Seni di sini sebagai media penyampai bagi
warga sehingga tercipta kesenian yang berbasis warga, kata Lathief.
Seniman yang berpikir keras untuk kepentingan
warga inilah yang disebut seniman organik. Seniman yang tidak hanya berpikir
seni untuk seni. Artinya seni bagi orang-orang tertentu yang suka seni, tanpa
berpikir bagaimana warga yang tidak tahu seni juga menikmati meskipun mereka
mengambil moment untuk berjualan di acara pertunjukan seni. Minimal pertunjukan
seni merangsang warga untuk menghidupkan jiwa usaha, di samping itu ada
semangat kebersamaan di antara warga yang bisa kita pelihara agar di tengah
isu-isu kesemrautan yang mudah membunuh akal sehat, kata Lathief bisa
diminimalisir.
Seniman organik merupakan seniman yang berupaya
bagaimana seni bisa di terima tanpa ada embel-embel oleh warga di
kampung-kampung, sebab seni bukan melulu eskpresi estetik akan tetapi ekspresi
sebagai tanggungjawab sosial. Sebab, sejak kemunculannya, estetika tidak hanya
mempelajari tentang keindahan dan kesan akan rasa indah saja, tetapi estetika
juga menyangkut masalah manifestasi dari aspek-aspek yang sangat tragis,
menyenangkan, dan memiliki makna yang sangat luas dan mendalam. Oleh karenanya
hiburan yang berkualitas selalu dinanti-nantikan oleh warga dan ini tugas
seniman Sumenep, agar warga tidak terjebak pada hiburan sesaat yang sarat
kepentingan basa-basi sosial-politik yang hampa.
Saya sepakat dengan keinginan Latheif dalam
tulisannya, namun akankah hal itu akan eksis di tengah-tengah terpaan gelombang
kapitalisme material yang kini merambah ke relung-relung kampung yang ditandai
dengan urbanisasi? Belum lagi kita disuguhi event-event sesaat yang hanya bisa
dinikmati turis/wisatawan dan kita lupa akan potensi lokal. Potensi lokal
sebagai basis seni tentu kita membutuhkan keseriusan untuk mencari dan mendata
kemudian kita tampakkan ke warga melalui media seni, dan ini belum dilakukan
oleh kita.
Seni merupakan intrumen untuk memberikan
penyadaran kepada warga jangan sampai warga menjadi penonton dan buruh di
tengah keramaian pasar dan duka sosial yang nyerih. Akan tetapi bagaimana seni
hadir memberikan penyadaran bahwa hidup ini sebuah perjalan yang ringkih dan
fana, kalau demikian buat apa bernafsu dan berarogansi politik dan seolah-olah
seniman? Oleh karenanya seniman justeru harus bersama-sama warga untuk menjaga
kebudayaannya sendiri bahkan menciptakan kebudayaanya sendiri.
Ketika pertunjukan diciptakan atas
fondasi epistemologi kerakyatan kata Lathief, tanpa kepentingan ngartis dan
nyalek, maka kemurnian sebuah perjuangan seniman akan terlihat di sana. Niat
tulus seniman juga dipertimbangkan dalam perjuangan, yang namanya perjuangan
tentu tidak ada proposal yang terbang ke dinas dan DPR. Seniman organik mampu
menggerakkan warga dengan gotong-royong, artinya seniman organik menciptakan
seni diterima oleh warga bukan saja ditonton oleh warga. Kalau di terima warga
dengan senang hati warga akan terus menjaga dan mewariskan, kalau hanya di
tonton warga, setelah di tonton hilang jejak.
Dari ini kita membutuhkan
kehadiran seniman organik yang mampu menciptakan seni diterima oleh warga.
Itulah cita-cita seniman organik, ia memiliki cakrawala pengetahuan yang luas,
inklusif, namun tidak mengesampingkan warga desa. Seniman organik ia hidup di
kampung-kampung dan di desa-desa, tapi ilmu dan pengetahuannya global. Akhirnya
seni untuk seni mati. Saya teringat puisi Ramadhan KH; Dan semua pengabdian
Diuntukkan bagi keagungan bangsa/ Dan semua kelelahan Diuntukkan bagi kemuliaan
manusia. Bahwa kerja seni bukan untuk seni, akan tetapi untuk kemanusiaan. Maka
tidak penting kalau ada isu menerbitkan sertifikat seniman. Apalagi menerbitkan
sertifikat ulama.
*Radar Madura, Minggu 23 September
2018
Komentar