Omerta: Soneta Di Antara Kampung Dan Kota


SAYA sedang dalam perjalanan jauh melewati jalan Pajagungan menuju pemakaman Joko Tole di DesaLanjuk, Kecamatan Manding, Sumenep. Di perjalanan berhenti di tengah hutan ada sebuah warung yang cagaknya terbuat dari bambu, dan beratap daun kelapa yang sudah kering. Di sini saya membeli makanan yang diolah dari berbagai macam rempah seperti kacangtanah, kecambah, petis, garam, cabai rawit, cuka, udara, yang dihaluskan kemudian campuran bawang daun goreng, bihun, dan ketupat. 

Kesimpulannya, saya sedang membeli rujak yang menurut saya pasti enak, karena campurannya sudah betul. Tapi ternyata selelah saya makan, tidak seperti apa yang saya pikir kan. Meski saya kenyang.

Nah, saya membaca kitab soneta Selendang Sulaiman itu seperti saya beli rujak tadi. Selendang seba gai penjual rujak, dia paham betul apa saja bahan-bahan yang harus dipersiapkan agar rujak yang dia racik nikmat dan membuat orang ketagihan untuk membeli. Namun Selendang tidak memperhatikan bahwa untuk menjual rujak seseorang tidak hanya harus paham bahan-hahanya, akan tetapi harus memperhatikan pembeli dan tempat di mana warung itu harus didirikan.

Rujak yang nyaman tentu penjual harus memperhatikan takaran rempah-rempahnya. Khusus kacang, cabai, cuka, dan garam. Sebab, tiga rempah-rempah ini wilayahnya rasa. Di dalam soneta Sekarang ada hal yang paling penting. Rasa untuk mengolah diksi. Rasa meja diksi. Rasa menampilkan bentukdiksi. Rasa keserasian diksi satu dengan diksi yang lain. Dalam bahasa ini tampak sepele, namun ada pembeli untuk merasa, di saat yang sama melihat suatu rasa diperjuangkan. Buat apa menjual rujak jika tidak ada pembeli. Sama halnya dengan buat apa menulis jika tidak ada pembacanya.

Kitab Soneta yang berisi 33 judul, ada 3 tema besar yang disampaikan dalam bentuk soneta, yaitu kampung, kota, dan cinta. Meskipun tema ini sudah biasa dari banyak dunia, namun soneta ini masih mencari yang berbeda, masih ada kepe-leset. tapi hal itu tidak apa-apa. 

Contoh Marwani dan Maksan "namun hanya menjadi" tiga diksi ini apa artinya? Darah; dan, dan hanya, Di dalam bahasa, hanya, dan menjadi kata sambung. Tidak lebih. Namun ada tiga soneta yang saya suka dari 33 soneta di dalam kitab Soneta ini.
Kata demi nama soneta ini Berbicara kampung Selendang sendiri, Kota di mara S ^ endang berdiam Jogjakarta dan Jakarta, dan cinta yang ada di logjakarta dan jarak dari Jogjakarta ke Jakarta. Inilah yang kemudian menjadi dimensi "diri" yang mengisi ruang terdalam soneta ini. 

Akar historisitas Soneta ini jika mungkin saya awali yaitu dari kampung di mana soneta itu lahir Sungai Bui lu wan, "gunung kecil danau kecil, tempat kami mandi; anak-anak kecir, Sumur Sadri yang bercerita tentang burung Coccorong dan sapi, soneta Marwani dan Maksan yang berisi tukang landak, dan Joko Tole yang lahir dari ibunda Potre Koneng. 
Empat soneta ini adalah akar sejarah perjalanan soneta. Ini adalah hal yang lurnrah seorang penulis selalu dari akar historis kampungnya.

Sebuah kampung yang dilukiskan tanpa cinta, hanya deskripsi kampung di mana Soneta ini memulai perjalanan, tanpa ada upaya untuk masuk lebih dalam di belakang kampung yang bernama Joko Tole misalnya, yakni ketidakberhasilan dari Soneta yang membawa saya ke relung terdalam yang bernama kampung sejarah. Artinya, jika soneta ditanyakan akar filosofis Sebuah kampung soneta belum bisa menggunakan jawaban rasa haus sebagai pembaca.

Kalau keluarga yang pertama adalah kampung, orang-orang kota ini adalah anak yang hidup di kota, tempat jiwa-jiwa bergelora antara diri dan cinta, seolah-olah diri dan cinta itu berbeda dan transisi. Antara dan satu kesatuan yang tidak terpisah, ia selalu bergandeng tangan bermesraan. Adanya satu kesatuan inilah yang belum sepenuhnya dimengerti oleh Selendang. Sebab, diri ber jalan sendiri dan cinta berjalan sendiri, itu benar-benar terlihat. Misal Darah "Aku memfjertanyakan diriku pada diriku, mencari nama dan bentukpenyakitku pada sakitku, karena aku membencinya".

Pertanyaannya mengapa kenyerian jiwa itu memang muncul kompilasi Selendang ada di kota? Kalau bisa saya jawab karena kutipan akar sejarah kampung sebagai fondasi awal dalam "diri", arti nya soneta ini lupa bahwa sebuah kampung merupakan cikal-bakal kc-berlanjutan hidup dan keberlanjutan sejarah. Idealnya harus ada penyusun sejarah antara kampung dan kota, sebab antara kampung dan kota sama-sama memiliki cinta.

Kesadaran ada cinta di kampung yang tidak dapat disadari oleh Soneta ini, Penciptaan kota yang tidak memiliki tujuan, harus kepada siapa saja yang mencintai saya isbatkan. la terakhir sebuah sebutir pasir diembuskan Inulai, ke wajahmu perih asin menyengat kelopak, ber tetlgkar saling cakar dan memaki saling caci. Orang kampung hidup di kota tanpa memiliki akar kota kampung yang kuat, maka ia akan menjadi tanpa makna bahkan manusia tanpa apa-apa. 

Dengan begitu, maka seorang penulis harus hati-hati membumbui dan meracik. Dia harus mengeluarkan secara rinci bahan-bahan yang diperlukan, agar pembaca tidak bosan.
Kita menggunakan paradigma terbalik jika haruskah kampung biasa hijau? Hari ini di kampung menjadi incaran orang-orang beruang untuk mendirikan usaha, gas, perumahan misalnya. Haruskah cinta selalu muncul dalam diri? Tidak ada rnenjadi penulis, kami butuh ilmu dan pengetahuan yang luas dan panjang seperti air mata di kelopakmu. (*) 

 *Radar Madura tanggal 19 Agustus 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani