Puasa Moment Memperkuat Pendidikan Pancasila
Oleh: Matroni Musèrang*
Menurut K.H
Hasyim Asy’ari Agama dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak
berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling
menguatkan. Menurut K.H As’ad Syamsul Arifin Pancasila sebagai dasar dan
falsafat Negara Indonesia, harus ditaati, harus diamalkan, harus tetap
dipertahankan, dan harus dijaga kelestariannya. Menurut K.H Ahmad Siddiq
Pancasila dan Islam adalah hal yang dapat sejalan dan saling menunjang.
Keduanya tidak bertentangan dan jangan dipertentangkan. Menurut Gus Dur
Pancasila bukan agama, tidak bertengan dengan agama, dan tidak digunakan untuk
menggantikan kedudukan agama.
Bulan puasa
merupakan bulan dimana Sang Proklamator bangsa dan Pancasila serta NU
meninggalkan kita yaitu K.H Hasyim Asy’ari pada tanggal 7 Ramadhan 1366 atau 25
Juli 1947. Sebagai santri tentu paradigma kita merujuk pada peran ulama dalam
memperjuangkan NKRI dan Pancasila, salah satunya adalah K.H Hasyim Asy’ari, K.H
Wahab Hasbullah, K.H Bisri Syamsuri K.H As’ad Syamsul Arifin, K.H Abd Wahid
Hasyim, K.H Munawwir, K.H Abdurrahman Wahid, K. Ridwan Abdullah.
Mengapa saya
menyebut ulama karena dengan beliaulah kita bisa menikmati NKRI, Pancasila
bahkan sampai sekarang NKRI harga mati bagi ulama. Artinya Negara Indonesia
sudah Final tidak penting lagi menciptakan
negara lagi selain hanya Indonesia. Puasa dalam konteks ke Indoesiaan
sebenarnya menjernihkan pemahaman kita terhadap sejarah berdirinya Indonesia
yang kemudian Pancasila menjadi fondasi filosofis-epistemologis sehingga wajar
jika para ulama tidak setengah-tengah untuk terus menjaga dan memperjuangkan
NKRI sampai titik darah penghabisan.
Peran ulama ini
tidak setengah-tengah dalam memperjuangkan NKRI dan Pancasila. Oleh karenanya, penting
kita menggunakan paradigma santri (kiai/ulama) di bulan puasa untuk betul-betul
jernih dan jujur melihat bahwa NKRI ada bahkan wajib mempertahankannya. Paradigma
rasional dan spiritual penting untuk diintegrasikan seperti puasa, secara
dhahir kita menahan lapar dan haus, tapi sebenarnya ada nilai spiritual yang
tidak kalah pentingnya untuk kita perhatikan.
Kita atau
manusia mana pun selalu merindukan ketenangan dengan Tuhannya yang menandai
segala dimensi eksistensialnya. Yaitu hubungan yang harmonis antara Tuhan,
manusia dan semesta. Namun kini, dengan gemerlap teknologi dan sains yang
betul-betul menanjakan dan memberhalakan kebutuhan material manusia, justeru
semakin banyak manusia yang “gagal” menggapai
puncak keseimbangannya (proporsionalitas). Ini secara keilmuan dipicu oleh
hilangnya makna filosofis dan religious dari diri manusia dalam menjaga
keseimbangan dialektis antara dirinya, Tuhannya, dan alamnya. Akibatnya kita
kehilangan arah (oreintasi), tersesat di dunianya sendiri dan betul-betul hampa
dalam menjalani kehidupan. Begitulah manusia yang tidak dapat rahmat
spiritualitas.
Pendiri NKRI dan
Pancasila tidak hanya melulu menjalankan rasio, tapi juga spiritual,
istikharah, puasa, maka puasa sebagai moment spiritual, penting untuk
merefleksikan Pancasila dan NKRI sebagai fondasi filosofis-epistemologis kebangsaan
dan kenegaraan. Sehingga wilayah program dan kerja pemerintah tidak hanya ngebahas gaji, dan partai. Artinya
Pancasila dan NKRI merupakan ilmu yang jika dipahami tidak akan membuat kita
kehilangan oreintasi hidup dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indoneia (NKRI). Sebagai abdi negara bertanggungjawab secara sungguh-sungguh
untuk menjaga martabat negara dan keadaan rakyatnya.
Puasa sebagai moment
penting dalam memperkuat pendidikan Pancasila, kita tentu tahu Pancasila sudah
final menjadi fondasi bangsa Indonesia, tugas kita bagaimana menjaga dan terus
membaca nilai-nilai universal dari Pancasila, namun untuk membaca nilai-nilai Pancasila
dibutuhkan kejujuran dan kejernihan hati dan pikiran serta keilmuan cukup. Puasa
merupakan cara manusia untuk membersihkan
”virus-virus pemikiran dan hati”,
namun tidak serta-merta kita mudah menghilangkan virus tersebut, akan tetapi
membutuhkan pendidikan yang cukup mampuni, tidak cukup kita menjadi pejabat negara,
bupati, gebernur, BPIP dan lainnya.
Pancasila
mengandung semangat untuk menumbuhkan kecerdasan kolektif, artinya sangat cocok
(bahkan wajib) Pancasila
dipertahankan di Negara yang majemuk seperti Indonesia. Progresifitas kecerdasan
kolektif ini harus dipicu dan diupayakan dimiliki masyarakat, mahasiswa dan
pemuda agar semangat keadilan sosial (moral/etika) dalam hidup di tengah-tengah
keberagaman bernegara tidak mementingkan kelompoknya sendiri, ideologinya
sendiri. Artinya tidak ada lagi “aku yang
paling benar” “kamu yang berbeda dengan aku, harus di bunuh atau dimusuhi
bahkan di cap kafir”.
Paradigma semacam
ini menandakan tidak adanya pemahaman akan Pancasila, sudah jelas-jelas kita
beragam dan majemuk mau menggantikan Pancasila. Oleh karenanya keberagaman
paradigmatik-dielektik pelan dipelajari untuk mendamaikan hati dan pikiran
ketika ada yang berbeda paradigma di antara kita.
Kecerdasan
kolektifitas ini harus didukung oleh semangat keilmuan kita, artinya menjadi
santri, menjadi mahasiswa, menjadi guru, menjadi kiai, menjadi dosen, menjadi
pejabat bangsa dituntut oleh Pancasila itu sendiri agar terus membaca dan
belajar untuk mencerdaskan bangsa, menjaga kemakmuran sosial-kemansyarakatan,
menjaga keutuhan NKRI dan Pancasila. Dalam hal ini pendidikan (prodi PKN,
misalnya) memiliki posisi trategis dalam menyebarkan dan menyuburkan ideologi
dan nilai-nilai Pancasila di Indonesia bahkan dunia.
*santri
Pesantren Nasy’atul Muta’allimin Gapura Timur, alumni pesantren An,In’Am Banjar
Timur dan alumni pesantren Hasyim Asy’ari Yogyakarta, sekarang menjadi dosen di
prodi PPKN STKIP PGRI Sumenep.
Komentar