Seni: Sebuah Inklusivitas Paradigmatik
Oleh: Matroni Muserang*
TANGGAL 4 Januari 2018 di
ruang dosen STKIP PGRI Sumenep saya dikejutkan dengan ramai-ramainya dengan
penghargaan kepada Fendi Kachonk (penerima Sumenep Awards 2017 kategori tokoh
sastra, Red). Di ruangan itu ada Moh. Ridwan, Tika Suhartatik, dan dosen lain
bilang, ”Matroni, kenapa kamu kalah?”
”Kalah sama siapa?”
”Sama yang mendapat penghargaan.”
”O, itu,” jawab saya.
”Yang pantas itu kamu, Matroni. Bahkan terjadi perdebatan di
Facebook,” katanya. Saya tidak tahu apa yang menjadi perdebatan itu. Sebab saya
sudah lama tidak aktif di dunia maya.
Dari sini kemudian saya terus berpikir sambil menjaga UAS di ruang
7. Di ruang 7 inilah sambil membaca novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta
Toer. Apa hubungan saya dengan penghargaan itu? Apakah karena saya memang sejak
kecil suka seni dan menulis sastra? Apakah karena saya menjadi bagian dari
Sanggar Kencana, Sanggar ASAP, Sanggar Relaxa, SEMENJAK, dan Lesbumi di Gapura?
Apakah karena selama 15 tahun saya menjadi pembelajar sastra dan seni? Apakah
karena selama 10 tahun di Jogjakarta saya hidup bersama sastra?
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak saya hiraukan. Sebab, berdebat
tentang satu orang karena mendapat penghargaan itu akan membuang-buang energi.
Kalau misalnya ada yang lebih pantas, mana lebih pantas dengan takdir dan
keberuntungan? Tentu lebih pantas takdir dan keberuntungan.
Fandi Kachonk sudah ditakdirkan Tuhan untuk mendapatkan
penghargaan. Lantas apa penting kita perdebatkan? Tidak ada. Kecuali saya
sendiri bersyukur bahwa adanya penghargaan merupakan manifestasi dari
eksistensi seni dan sastra Sumenep hidup dan dilestarikan.
Tentu semua pelaku seni dan sastra Sumenep bersyukur. Namun
penghargaan tidak lantas membuat daya paradigma kita melempem, sehingga daya
kritis kita tertutup. Tidak ada prestasi apa pun di dunia yang penting
dibanggakan. Setiap proses kreatif seseorang memiliki jalan tersendiri.
Capaian-capaiannya pun pasti berbeda.
Seni dan sastra salah satu jalan bagi kita untuk meneruskan
peradaban dan kebudayaan dunia. Sastra didalami untuk memperhalus daya pikir.
Kita benar-benar berpikir secara filosofis, berpikir yang tidak hanya
dipermukaan, akan tetapi di kedalaman-di kedalaman kata-kata. Saya sepakat apa
yang pernah diteliti Nicholas G. Carr bahwa kita tidak boleh berhenti di
permukaan atau bahasanya Carr, the shallows (kedangkalan). Pelaku seni dan
sastra harus menghindari kedangkalan. Di sinilah pentingnya keseriusan dalam
berproses dan membaca.
Pelaku seni dan sastra bukan hanya mengendarai perahu. Kita
memiliki tugas untuk menyelam di lautan kata-kata agar perdebatan yang
membuang-buang energi tidak terjadi. Saya yakin perdebatan terjadi karena ”dia”
tidak mendapatkan penghargaan. Padahal kalau kita menyadari bahwa proses
kreatif, membaca buku, itu lebih penting dari sekadar perdebatan.
Penghargaan yang baru ada pada 2017 merupakan salah satu usaha
pemerintah untuk berkomunikasi dengan seniman dan sastrawan Sumenep. Kita
menyambutnya dengan baik. Akan tetapi, penghargaan itu akan menjadi ”jebakan”
yang melenakan seniman dan sastrawan jika penghargaan merupakan hasil akhir
dari proses kreatif. Ini akan berbahaya. Di satu sisi ini baik jika pemerintah
sudah mulai melirik seniman dan sastrawan Sumenep. Sebab, visit tanpa kehadiran
sastrawan dan seniman seperti rujak tanpa garam. Seperti rumah tanpa atap.
Di sisi lain, akan ”buruk” jika paradigma seniman dan sastrawan
tidak inklusif. Tidak dibangun untuk lebih kritis dalam membaca perjalanan
perkembangan sastra dan seni di Sumenep. Di sinilah pentingnya historisitas
keilmuan sastra dan seni di Sumenep. Kalau kita menutup mata dan telinga
terhadap sejarah, moral paradigmatik dan moral sastra, serta seni di Sumenep
akan terkotak-kotak (pragmatis), berjalan sendiri-sendiri, tidak menemukan
harmoni yang mampu menyatukan dan menjaga Sumenep sebagai sebuah kota yang
berperadaban.
Padahal, sastra dan seni mengandung nilai-nilai moral dan etika
yang substansial. Nilai-nilai inilah yang termanifestasi dalam keseharian
sastrawan dan seniman. Sumenep memiliki potensi luar biasa di dalam sastra dan
seni, maka penting ini untuk ditransformasikan dan dikembangkan dari komunitas
dan sanggar di sekolah dan pesantren. Inilah rumah-rumah yang sampai hari ini
menjaga eksistensi sastra dan seni di Sumenep.
Untuk itulah, paradigma kesusastraan dan kesenian juga harus
di-update. Sebab, bukan hanya Facebook, BBM, WA, dan Twitter yang harus
di-update. Akan tetapi, paradigma kita juga harus di-update agar tidak jauh
dari ”derita rakyat” kata W.S Rendra. Agar tidak kedaluwarsa pengetahuan kita.
Saya sendiri tidak mempersoalkan perdebatan itu. Sebab, itu bagian dari proses
kreatif. Hanya, yang dikhawatirkan, kita larut dalam perdebatan yang pada
akhirnya melahirkan kebencian-kebencian sesama seniman dan sastrawan.
Saya yakin seniman dan sastrawan Sumenep paham bahwa di dalam
sastra dan seni tidak ada pelajaran untuk membenci, memusuhi, dan mengidolakan
satu orang. Apalagi merasa paling seniman dan sastrawan di antara
seniman-seniman dan sastrawan-sastrawan yang lain. Tidak banget!.
Sekali lagi, paradigma historisitas sastra dan seni penting bagi
seniman dan sastrawan, khususnya di Sumenep. Agar, benih-benih sastra dan seni
di Sumenep memiliki inklusivitas dalam menjalani proses kreatif. Dengan begitu,
tumbuh generasi yang lemah lembut, moralnya baik, ritualnya baik, etikanya
baik. Bukan yang tidak baik. Sudah baik.
Saya hanya mengingatkan supaya saya nanti juga diingatkan. Kita
sama-sama mengingatkan dalam belajar seni dan sastra. Semoga sastra dan seni
Sumenep lebih baik.
*Seniman, dosen STKIP PGRI Sumenep. Pengelola Sanggar Kencana,
ASAP, RELAXA NASA, dan SEMENJAK Gapura.
Komentar