Memcoba Memahami Mentalitas Budaya
Oleh: Matroni
Musèrang*
Pada
dasarnya apa yang disebut mentalitas budaya adalah keberagaman paradigma yang tidak
hanya satu-dua disiplin ilmu pengetahuan untuk merumuskan. Namun, jika kita
perpegang teguh pada budaya sendiri bahwa
jika ingin memperbaiki bangsa, maka perbaikilah kebudayaannya, dalam hal
ini tentu ada bahasa, etika, dan sastra maka “mentalitas budaya” memiliki
kaitan erat dengan bahasa. Bahkan mentalitas budaya kerap kali ditentukan oleh
bagaimana menghidupi, perhatian, pengelolaan, dan dikembangkan.
Menurut
Manneka Budiman apa yang terjadi pada tahun 1998 yang menjadi momentul perubahan,
yang ditandai tidak hanya runtuhnya kekuasaan tidak puluh tahun lebih orde Baru
tetapi hura-hara sosial yang menorehkan satu luka sejarah dalam perjalanan Indonesia
menuju mada depan? Ada banyak euforia perubahan dan diyakini sejak 1998 terjadi
perubahan sosial, kultural dan politis di Indonesia.
Di
sisi lain betul ada perubahan, namun tidak ke arah yang lebih memungkinkan
Indonesia menjadi bangsa yang kuat. Demokratisasi semakin hari semakin membuka
ruang terhadap radikalisme agama yang berwujud pada bermunculnya peraturan
daerah yang bernuansa cenderung memarjinalkan perempuan, kata Noerdin 2002. Artinya
capaian-capaian yang Indonesia lakukan masih mengandung tanda tanya besar.
Ilmu
dan pengetahuan seharusnya membuat manusia Indonesia semakin makmur sentosa dan
adil dalam membangun fondasi mentalitas budaya. Mental budaya penting untuk
dikembangkan dalam pikiran dan nurani manusia. Mengingat banyaknya siswa dan
mahasiswa semakin hari justeru semakin jauh dari proses belajar yang baik, sudah
tidak lagi suka membaca, kemandirian dalam mencari buku dan referensi pun
jarang, untuk mengatakan tidak ada. Google justeru dijadikan bank penyelamat
tugas-tugas siswa dan mahasiswa tanpa dibarengi analisis-kritis, sehingga hasilnya
mentah dan gersang.
Mental
seseorang jika tidak pernah di siram dengan nilai-nilai kebudayaan, ia akan
menjadi pohon yang layu, daunnya gugur satu persatu, kemudian pohonnya kering
dan mati. Kalau bangsa tidak pernah di siram dengan mental yang penuh
kepedulian sosial-kemasyarakat yang tinggi, kita hanya menunggu waktu kehancuran
moral, dan mental manusia Indonesia.
Mental
manusia seperti pohon yang ingin kita tanam, kalau kita menanan ke tanah yang
gersang, tanpa pupuk dan air, dapat dipastikan pohon yang ditanam tersebut
tidak akan berbuah dengan baik. Untuk penting kemudian memperbaiki tanah air
Indonesia agar mental kebudayaan masyarakat itu menjadi subur dan menyejukkan.
Kesejukan
mental budaya budaya dikarena rerimbung daun-daun yang hijau. Rerimbun itu
bernama mentalitas budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan para
pemimpin bangsa Indonesia. Kita tahu bahwa Indonesia bukanlah negara miskin, akan
tetapi Negara yang luar biasa kaya, alam yang subur. Sumenep bagian terkecil
Indonesia kita tahu bahwa ada banyak titik gas, dan oksigen itu baru sebagian
kecil. Bagaimana kalau sebagian besar, seperti Papua, Kalimantan dan Jawa
misalnya.
Kalau
banyak di antara manusia yang mudah terpengaruh dan dipengaruhi itu diakibatkan
karena mentalnya keropos dan melempem. Maka wajar jika Indonesia kaya, akan
tetapi kemiskinan semakin meningkat, korupsi meraja banyak. Apakah koruptor
tidak memiliki ilmu dan pengetahuan? Mereka di pilih rakyat karena menjadi
calon, dan menjadi calon harus memiliki ijasah (tidak tahu kalau ijasanya
beli), yang jelas koruptor itu berilmu, akan tetapi tidak memiliki mental
budaya.
Revolusi
mental yang ditelorkan Joko Widodo benar adanya, karena di saat revolusi mental
digaungkan pemimpin kita berada di tengah padang sahara yang gersang, maka
revolusi mental penting bagi para pemimpin, agar pemimpin kita tidak hanya memiliki
kekuasaan, akan tetapi kekuasaan digunakan untuk memperbaiki keadaan manusia.
Kekuasaan adalah tanggungjawab kemanusiaan.
Tanggungjawab
kemanusiaan hari ini sangat mahal harganya bahkan tidak dapat di nilai dengan
angka. Dikatakan mahal karena sampai hari ini masih banyak pemimpin kita yang
haus kekuasaan, namun gersang tanggungjawab kemanusiaan. Mereka lebih memilih
mementingkan kelompoknya sendiri, sehingga wajar kalau dilarang agar tidak
memiliki mental materialis-pragmatis.
Mentalitas
merupakan cara dan kampung tujuan kemanusiaan. Di sana cita-cita Pancasila ada,
menggelantung di pohon-pohon budaya, hanya orang-orang yang bisa mengambil dan
naik ke pohon mental itu. Koruptor tidak mungkin bisa, pemimpin yang tidak tanggungjawab
juga tidak bisa. Sebab pohon mental budaya hanya dapat dilihat oleh orang-orang
yang bijak dalam memimpin dan tanggungjawab terhadap kekuasaannya. Apalagi
memohon kenaikan gaji yang terus di tuntut sementara tanggungjawab belum
sepenuhnya dilakukan. Aneh.
Orang
yang mentalnya keropos dan melempem biasa loginya tidak jalan. Sudah bersalah,
tertawa, sudah tahu mencuri masih tertawa. Rumus kepemimpinan itu pertama
mental, artinya sebelum mendaftar menjadi calon pemimpin, mendidik mental itu
penting, agar tidak melulu materi yang menjadi tujuan, kedua kekuasaan,
ketika menduduki suatu kekuasaan, tujuannya adalah untuk mengabdi kepada rakyat
dan Tuhan Yang Maha Esa, ketiga tanggungjawab kemanusiaan, pemimpin
memiliki tanggungjawab yang besar terhadap nilai-nilai kemanusiaan, keempat
pemimpin itu adalah pembantu kemanusiaan, mengapa pemimpin di pilih rakyat agar
semua kebutuhan rakyat dipenuhi, bukan justeru pemimpin itu menuntut rakyat dan
menutut gaji.
Merekontruksi
paradgima mentalitas budaya menjadi sangat urgen untuk Indonesia sekarang dan
di masa akan datang. Semoga generasi pemimpin kita lebih baik dalam menata
niat, menata mental, menata sejarah dan menata kepemimpinan.
Madura, 4
November 2017, jam 21;03
Komentar