Pancasila: Sebuah Nilai Universal


Oleh: Matroni Musèrang*


Pancasila yang sudah final menjadi dasar falsafah Negara, falsafah bangsa dan falsafah kemanusiaan, seperti pendapat Kiai As’ad Syamsul Arifin bahwa Pancasila adalah sebagai dasar an falsafah Negara Indonesia, harus ditaati, harus diamalkan, harus tetap dipertahankan, dan harus dijaga kelestariannya, haruskah kita kembali bertanya? Tentu bagi manusia Indnonesia yang paham sejarah, paham agama, paham kebudayaan tidak akan bisa merubah Pancasila. Kalau kita cermati dengan kritis sila Pancasila itu sila pertama kata dasarnya adalah Tuhan. Siapa yang tidak bertuhan di Indonesia? Lantas apakah kita pantas menyalahkan manusia yang sama-sama memiliki Tuhan dan menyembah Tuhan?
Sila kedua ada kata dasar manusia. Di dunia ini tidak angka uang yang mampu membeli harga kemanusiaan. Tidak ada. Oleh karena itu, Pancasila sudah mengumandangkan kepada kita bahwa kemanusiaan harus dijunjung tinggi untuk mendapatkan rahman dan rahimnya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan menciptakan manusia agar kita saling mengenal. Bukan saling sikat, bukan saling menyesatkan apalagi mengkafirkan. Untuk itulah Pancasila menjadi penting untuk kita refleksikan bersama agar Indonesia yang di bangun di atas fondasi Pancasila tidak retak terpetak-petak.
Ke tiga ada kata dasar Satu. Kesatuan dan persatuan memang cita-cita Pancasila. Sehingga ulama, dan tokoh bangsa memiliki tekat bagaimana kesatuan dan persatuan ini di jaga, namun untuk menjaga tidak serta merta menjaga, dibutuhkan kekuatan mental Pancasila, sebab kalau tidak memiliki mental yang kokoh maka kita akan sangat mudah di propaganda dengan rayuan-rayuan dari luar agar meninggalkan Pancasila.
Ke empat ada kata dasar rakyat. Sesama rakyat Indonesia, haruskah kita bertengkar gara-gara persoalan ideologi? Bagi manusia Pancasila tidak. Sebab manusia Pancasila merupakan rakyat yang memiliki tujuan mulia, yang bertani, ia akan menciptakan taninya sukses, yang kerja hasilnya pun berkah, yang ngajar ilmu bisa bermanfaat. Itulah tercipta rakyat yang satu, mamiliki kekuatan mental satu, yaitu menjunjung nilai-nilai Pancasila yang tidak bertentangan dengan Indonesia.
Makanya lima sila Pancasila memiliki yang abstrak, umum, universal, dan tidak berubah. Oleh karenanya bangsa yang baik adalah bangsa yang memahami dan mengamalkan ajaran ideologinya sebagai bentuk pengabdian rakyat kepada bangsa dan negaranya. Maka kebangsaan, kenegaraan, dan kemasyarakat harus dijaga.
Untuk menjaganya tentu kita harus paham asas-asas Pancasila yang memiliki persatuan, kesatuan, asas perdamaian, dan asas kerja sama nasional dan internasional. Wajar jika Pancasila merupakan Sumber yang tak terhingga, dalam, luas, dan kaya bagi perkembangan hidup kenegaraan, kebangsaaan, dan kemanusiaan.
Sebagai sumber yang tak terhingga, Pancasila melahirkan nilai-nilai gotong-royong. Pancasila sebuah wadah yang manampung nilai-nilai dan pengetahuan. Pengetahuan sosialogi-antropologi, filsafat, akhlak, dan agama. Makanya Mbh Hasyim Asy’ari mengatakan bahwa agama dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan, nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan. Kalau pendapa Kiai Ahmad Shiddiq bahwa Pancasila dan Islam adalah hal yang dapat sejalan dan saling menunjang, keduanya tidak bertentangan dan jangan dipertentangkan.
Harapan saya, semoga Pancasila masih di “baca”, di telaah, dan direfleksikan untuk menjaga NKRI ini tetap jaya. Pancasila Jaya dan NKRI harga mati. Artinya kalau ada manusia yang tinggal di Indonesia yang mulai lahir atau orang tuanya sudah mengikuti ideologi tertentu, sementara hari ini pindah atau berubah, dapat dipastikan bahwa ia memiliki mental ideologi yang kropos (seperti mental krupuk, kenal air langsung melempem). Mengapa kropos, karena ideologi yang ia ikuti tidak diiringi ilmu dan pengetahuan sehingga akar ideologi melempen.
Akhir-akhir ini banyak di antara kita yang sangat mudah beralih dan pindah ideologi, karena diyakini aliran baru itu lebih waw. Kita tidak menyadari bahwa ideologi yang selama ini kita ikuti memiliki sejarah, dan tidak tidak membaca sejarah tersebut. Sehingga muncul kasus di desa saya anak baru umur 18 Tahun sudah berani mengatakan bahwa ada manusia yang sesat dan kafir. Semoga kita semua diberikan pemahaman yang luas.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani