Belajar dari Penyair Mastera Puisi [1]
Oleh: Matroni
Musèrang*
Majelis
Sastra Asia Tenggara (Mastera) yang dilaksanakan pada tanggal 7 sampai 13
Agustus 2017 di puncak Bogor yang kebetulan saya salah satu pesertanya. Saya
benar-benar menyadari bahwa untuk menjadi penyair tidak mudah. Penyair bukanlah
ia yang sudah menerbitkan buku puisinya berkali-kali dan dimuat di media
berkali-kali. Akan tetapi penyair itu adalah takdir kata Acep Zam Zam Noor. Sebab
kalau penyair sebuah tujuan, maka seseorang akan konslet (gila) bila ia tidak
jadi penyair.
Maka
dari itulah, menjadi penyair, kata Acep Zam Zam Noor sama seperti membuat batu
akik ketika menulis puisi. Seseorang harus memotong batu sesuai ukuran,
dihaluskan, sampai batu akik tersebut terlihat cahayanya. Penyair seperti Kiai,
seorang kiai, status kiai tidak dicita-citakan, akan tetapi orang yang menjadikan
seseorang kiai, penyair pun demikian, kita tidak perlu untuk menyebut diri kita
penyair, biarkan publik menyebut penyair, sebab kalau kita ditakdirkan menjadi
penyair, kepenyairan itu akan kita dapatkan.
Selama
7 hari ada kelas-kelas gabungan dari Singapura, Malaysia, Brunae, dan
pembimbingnya pun bergantian. Awal saya masuk kelas Joko Pinorbo dan
mendiskusikan puisi, saya baru menyadari bahwa apa yang tulis selama 10 tahun itu
baru draf puisi. Sebab penyair bertugas mencari puisi yang mendekati
kesempurnaan. Artinya kalau kita menulis puisi kemudian selesai, tanpa
mempertimbangkan bunyi atau rima, maka kita nyaris “gagal” menulis puisi dengan
baik, sebab puisi padadasarnya adalah bunyi.
Penting
kemudian, kita mengertahui kiat-kiat menulis puisi yang buruk kata Agus R
Sarjono pertama tulislah dari bahasa yang umum, kedua
generalisasi, ke tiga propaganda, keempat gunakan kata-kata yang
sudah janda berkali-kali (kata Suminto A Suyuti yang dikutip Agus R Sarjono), ke
lima gunakanlah puisi-puisi nasehat. Lebih baik menulis puisi-puisi pendosa
daripada menulis puisi yang seolah-olah suci. Muncul kemudian idiom; Penyair
tertawa, pembaca menangis.
Untuk
menjadi penyair tentu harus mencintai puisi. Puisi itu ada di hati. Bagi
seorang seniman dan penyair teknik itu tidak penting, sebab dengan menjadi
seniman dan penyair otomatis teknik ada di dalamnya. Sebab tidak ada kata yang
puitis, yang ada hidup yang puitis. Hidup tidak ada hubungannya dengan puisi.
Ekonomipun juga tidak ada hubungannya dengan profesi.
Hidup
yang puitis adalah hidup yang selalu mensyukuri, dan selalu gelisah terhadap
apa yang terjadi di luar. Jadi benar apa yang dikatakan Jokpin bahwa seorang
penyair harus lahir kembali, menjadi penyair lagi, kata Acep Zam Zam Noor.
Untuk itulah di dalam Mastera, penyair yang dipilih akan diuji keimanannya, iman
seorang penyair harus diuji dengan bentuk, rima, struktur dan kesabarannya
mengolah puisi.
Mastera
bagi saya merupakan program yang mengajarkan menjadi penyair kembali, di
mastera kita diajari menjadi penyair yang santun, menghormati penyair tua, belajar
bersabar menulis puisi, itulah yang Joko Pinurbo ajarkan kepada saya. Bahkan
beliau mengatakan di sela-sela penutupan karena puisi-puisi peserta mastera
akan diterbitkan menjadi buku bersama pembimbing, bahwa itu pertanda secara
kualitas puisi pembimbing sama dengan peserta mastera, itu kata Jokpin, tapi kita
menyadari bahwa beliau (Jokpin, Acep Zam Zam Noor, Cecep Samsul Hari, Agus R
Sarjono, Ganjar Hiwa, dan pembimbing dari Malaysia, Syamsuddin Ostman, Singapura,
Chairul Fahmy Hussein, Brunae, Dr. Hj Mohd Ali) tidak bisa disamakan dengan
puisi-puisi peserta mastera, di samping proses menjadi penyair lebih lama
beliau, beliau sudah lama melanglang buana kepenyairan dan iman kepenyairannya
pun sudah teruji.
Itulah
mastera di mata saya.
Bogor, Cisarua,
16 Agustus 2017
Komentar