Gus Mus di Batang-Batang, Sumenep


Oleh: Matroni Muserang*

Terinspirasi mendengar Gus Mus cerama di Batang-Batang
Sosok K.H Mustofa Bisri yang dikenal Gus Mus merupakan sosok yang dintunggu-tunggu oleh masyarakat Sumenep. Terutama saya yang sudah lama tidak mengikuti ceramahnya, hanya saja mengikuti di twitter. Maka ketika membaca famlet Gus Mus mau mengisi cerama di Batang-Batang, tepatnya di Miftahul Ulum, saya pun datang untuk mendengar wejangan-wenangan beliau. Sebab bagi saya beliau disamping menjadi pengurus NU, beliau juga penyair. Kiai dan Penyair.
Kiai dan Penyair di zaman seperti sekarang ini sangat dibutuhkan. Kiai yang paham sastra dan paham konteks wacana keIndonesiaan. Sehingga apa yang ada didalam al-qur’an dan hadist diterjemahkan dalam konteks sosial-kemasyarakatan Negara Indonesia. Kiai dan Penyair, seperti kata  dalam sastra. Sastra tanpa kata, sia-sia. Kata-kata tanpa penyair pun akan sia-sia. Buat apa bahasa dan kata-kata bila hanya sebuah bahasa dan kata, tanpa dibaca dan dipahami?
Kata-kata adalah ayat-ayat Allah yang harus dipahami, bukan hanya diterjemahkan. Untuk memahami dibutuhkan perangkat sastra yang didalamnya ada nahwu, sharrof, balagha, arut, dan lainnya.
Maka lucu kemudian, jika ada sekelompok orang yang berkoar-koar mengajak agar kembali ke sumber asli yaitu al-qur’an dan hadist, tapi ketika menulis arab salah. Itu jelas bahwa yang menulis arab salah tidak tahu ilmu bahasa, ilmu nahwu, ilmu sharrof. Apalagi hendak menjadi pemimpin Indonesia, jangan dulu, tapi belajar dulu, ngaji dulu ke pesantren.
Artinya apa, keberagamaan kita bukan hanya sebatas simbol, seperti jenggot dan sorban. Akan tetapi keberagamaan kita harus diukur dari seberapa besar akhlaq kita. Mengaku Islam, tapi menjelek-jelekkan orang lain, mengaku Islam tapi mengkafirkan orang lain. Saya yakin, orang yang beragama Islam dan paham apa makna Islam tidak mungkin mengkafirkan orang lain, apalagi mengkafirkan sesama Islamnya.
Makanya Gus Mus bilang bahwa amar ma’ruf itu sebuah pengejawantahan dari rasa cinta dan kasih sayang. Bukan membunuh orang, bukan bom bunuh diri, bukan bom. Penting kemudian menjadi manusia yang terus belajar, belajar dan belajar, agar tidak menjadi manusia yang merasa paling benar. Mengapa Nabi Muhammad SAW memerintah ummatnya belajar sampai ke Negeri Cina, bahkan diwajibkan, itu pertanda bahwa kita selama hidup, selagi nyawa masih ada, tugas kita adalah belajar bukan menghajar.
Untuk menjadi manusia yang baik, harus belajar dengan baik, bukan merasa baik. Kita tahu jenggot itu baik, sorban itu baik, tapi tidak baik jika digunakan untuk mengkafirkan manusia. Ilmu Allah diturunkan bukan untuk menjelek-jelekkan hamba Allah. Tapi agar kita semua menjadi saudara.
Sebagai penutup mari kita jawab bersama: dalam sehari apakah kita lebih banyak menilai orang lain, atau lebih banyak menilai diri sendiri?


Battangan, 12 Juli 2017     



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani