Talken Koneng: Mantra Pengusir Kematian

Oleh: Matroni Musèrang*

Telah aku menggambar tubuhmu
Dengan lebam daun pisang
Dengan pintalan kain kafan
Lalu aku ikatkan tiga tali pemenggal
Kematian
Di atas ubun-ubunmu
Juga aku pasangkan
Dua puluh tujuh pisau penyayat urat
Urat
Tujuh belas jarum penusuk sukma
Tujuh paku-paku
Pemaku jantungmu

Puisi seringkali masih hidup di ruang-ruang sempit. Di ruang para pemain teater, di ruang para penyair, di ruang para seniman, di ruang budayawan dan di ruang para filsuf. Puisi belum mampu menembus ruang para petani dan ruang para tuan tanah. Namun antologi puisi “Talken Koneng” karya alfaizin sanasren ternyata berbeda, Talken Koneng bisa dirasakan oleh siapa pun bahkan setelah bedah buku di Giligenting, ke esokan harinya tiba-tiba ada orang datang ke rumah alfaizin untuk meminta air karena tetangganya ada yang sakit.   
Penggalan puisi di atas diambil dari judul “talken koneng” sebagai pintu awal untuk memasuki ruang talken selanjutnya. Talken yang benar-benar menghentak jiwa dan ruh manusia. Kalau kita membaca antologi puisi ini pembaca akan diajak untuk mengetahui ritual-ritual dan syarat untuk melakukan pengusir segala penyakit yang menjangkiti tubuh kita. Seperti hum,hum huuuuumma/ datang,datang, datanglah kepadaku/ asap purba kubakar di atas kekuningan tembaga/ tiga puluh tiga rerempahan pekuburan/ meradangradang. Mantra yang cukup menakutkan, namun alfaizin mampu membuat mantra itu hidup dan tenang dilakukan siapa pun.
Antologi puisi merupakan manifestasi dari mantra yang sebagian orang Madura menggunakan, dengan teknis yang cukup detil puisi menggambarkannya, lihatnya dalam puisi “kitab kelelakian”; lidah, lidah, lidahku pisau asah tujuh zaman/ telah aku kunci Sembilan lubang di tubuhmu/ lubang kelamin/ lubang pusar/ lubang hidung/ lubang mulut/ lubang telinga/ juga matamu.
Puisi ini tahu bahwa untuk mengunci manusia memang lubang-lubang itu, sebab lubang-lubang merupakan tempat masuknya makhluk halus, maka lubang itu sebenarnya bisa di tutup dengan asma atau dengan mantra agar kita selamat dari malabahaya dan “penyakit angin” kata Madura yang mau masuk ke tubuh manusia. Dalam perspektif tasawuf lubang-lubang demikian akan menjadi penyebab seseorang menjadi sirik, bahkan alim, maka seringkali “dukun” di Madura banyak tirakat dengan menutup lubang-lubang itu supaya jika ada serangan dari orang lain tidak langsung masuk menggerogoti tubuh manusia.
Buh, buh, sembuhlah/ sakit yang meradangradang dalam tubuhmu/ bisa bisa ular/ jarumjarum rimbun/ sayatsayat pisau/ tulangtulang hutan yang karatan/ memar di jantung/ racun di ubun/ nyeri di hati. ….. enyahlah dengan urat-urat sirih/ yang kuusir tepinya dengan bibir/ bermantra/ juga air suci yang menari/ aku ludahi dengan lidah berayat. Buh, buh, sembuhlah/ aku penggal segala sakitmu dengan/ lam aif/ yang aku gariskan di punggungmu. Puisi ini menjelaskan bahwa asma atau lam alif mampu mengusir penyakit yang bersarang di tubuh. Orang modern tidak akan percaya bahwa ada penyakit yang bisa disembuhkan dengan huruf-huruf dalam al-qur’an, akan tetapi puisi memberikan bukti nyata bahwa penyakit ternyata mampu disembuhkan dengan lam alif yang tertulis di punggung.
Puisi ini hadir di tengah masyarakat Sumenep yang baru mau modern. Modern gaya hidup dan paradigmnya, sehingga seolah-olah antologi puisi “talken koneng” tidak memberikan warna baru dalam percaturan puisi Indonesia. Dilema memang zaman modern yang lahir abad 17 akhir itu telah membawa dampak yang serius bagi masyarakat Indonesia, khususnya Sumenep hari ini.
Talken Koneng hadir di pangkuan kita untuk mengobati penyakit akut “modernitas” yang dianggap sebagai budaya yang waw, karena waw, maka budaya lokal tidak penting lagi dipertahankan, misalnya bahasa Madura dalam keluarga anak dan orang tua, sudah tidak menggunakan bahasa Madura, akan tetapi sudah menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Arab. Bahasa Indonesia biar tidak ketinggalan zaman, bahasa Arab agar dikatakan Islami, masak ukuran islami dan tidak islami hanya di bisa di ukur dengan bahasa arab, benarkah?.
“Talken Koneng” hadir untuk memberikan paradigma baru bahwa kita tidak boleh meninggalkan budaya leluhur kita, semodern-modernya kita budaya leluhur kita tetap harus dikembangkan dan dijaga kehormatannya, maka kita harus mengucapkan Mantra Matahari sebagai penutup Talken Koneng ini; aku pisaukan mataku ke matahari/ siang malam hari/ sebab siang malam adalah hari yang tak tuntas. Aku pisaukan juga matamu ke bulan/ tanpa jeda rindu/ tanpa tirai sukma/ tanpa batas maqom/ labirin kalbu/ hanya perbatasan tujuh alam yang kasat mata.


*Dosen STKIP Sumenep

 

Sumber: Radar Madura, Minggu, 23 April 2017
http://radarmadura.jawapos.com/read/2017/04/23/8099/talken-koneng-mantra-pengusir-kematian 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani