Kabar Buruk yang Tak Buruk
Oleh: Matroni Musèrang*
Membaca
antologi puisi “Menunggu Kabar Buruk” karya penyair senior Sumenep ini
menimbulkan pertanyaan yang benar-benar menggelisahkan, kenapa? ketika saya
disuguhkan beragam kegelisahan penyair dalam buku ini kepala saya seolah-olah
pecah menjadi banyak karena puisi-puisi yang ada banyak ide yang digelisahkan dan
ingin di sampaikan. Namun sebagai pembaca saya akan mencoba masuk pelan-pelan
sambil mencari sesuatu yang dapat saya temukan di sana. Semoga apa yang saya
temukan tidak menyimpang dari yang saya lihat.
Namun saya
senang dan bahagia membaca antologi puisi ini, judulnya menunggu kabar buruk,
setelah saya telusuri “tidak” saya temukan keburukan itu, hanya saja keburukan
dipengantar yang K. Faizi tuliskan. Saya akan masuk dari pintu yang berbeda
untuk membaca Menunggu Kabar Buruk ini, ini dimaksudkan agar keberagaman
paradigma itu ada.
Memilih diksi
puisi bukanlah perkara gampang dalam puisi. Diksi membutuhkan renungan-renungan
yang intens, sehingga ketika disandingkan benar-benar cocok dan serasi. Puisi
lahir bukan semata-mata kata-kata, akan tetapi penyair harus mempertimbangkan
berbagai bentuk roh yang akan mendiami diksi puisi. Kalau ada puisi-puisi yang
lahir hanya sekedar celoteh rasa atau perasaan, bisa juga ia dikatakan puisi,
puisi facebooker atau puisi harian yang selalu muncul di sosial media.
Membaca
Menunggu Kabar Buruk kita akan diajak pada keberagaman pemikiran yang di
sampaikan, mulai dari jharang pote yang ditulis Hidayat Raharja, tentang
kerinduan dan hujan Alfaizin, Mahendra yang menggebu-gebu dalam berpuisi,
Turmedzi Djaka yang berbicara kado, bunga, Salamet Arya Sisifus, yang berpuisi
tentang doa, M. Ridwan yang berbicara tentang sejarah, Lugman Hakim Ag yang
selalu teringat dengan mainan anak-anak zaman dulu, laying-layang, Amin yang
masih merangkai kata dengan romantic, Zaini Kalsum menulis tentang sesuatu yang
jauh dan pengharapan yang utuh, sementara Manusia Perahu juga mencoba
menarasikan sejarah peninggalan daerahnya, Hasmidi yang meromantiskan diri
dengan puisi dan Awie Esto yang masih malu-malu, tapi tidak malu-maluin yang gagah
menulis sedikit sejarah kampung halamannya.
Lagi-lagi saya
bingung mau berbicara apa, sebab keberagaman merupakan keniscayaan dalam proses
kreatif, semoga di lounching nanti saya bisa mendapatkan cakrawala pengetahuan
yang lebih, sebab ini keterbatasan pisau saya dalam membuka kulit-kulit puisi,
namun kalau saya boleh memberi “kritik” puisi yang ada di dalam antologi ini
masih jauh dari persoalan-persoalan serius yang saat ini dihadapi oleh
masyarakat Sumenep.
Haruskah penyair
masih berpuisi tentang kado, pohon pisang, Ikan terbang, dan lainnya, sementara
masyarakat dalam keadaan terjepit dengan persoalan krisis pengetatahuan, krisis
moral yang kini mulai terus bermunculan di ruang-ruang sekolah dan anak-anak
muda?
Sebagai sebuah
karya, tetap ini adalah bentuk dari proses kreatif yang lahir dari proses yang
tidak mudah, akan tetapi bagaimana kita ketika berbicara laut dan langit itu
harus berbeda dengan laut yang ada di Blitar dan langit yang ada di Bekasi,
sebab kalau sama, apa kemudian yang menarik?
Itulah tugas
penyair, yang satu gagasan harus direnungkan, agar paradigma perpuisian Sumenep
tidak hanya laut, pohon, akan tetapi ada nilai lebih yang penting untuk
diperjuangkan ke depan. Contoh Puisi Pohon Hayat, Hidayat Raharja; aku
tumbuh menuju matahari/ menyusuri kedalaman bumi/ aku berkembang/ ke sisi waktu
dan ruang. Puisi ini mengandung progresifitas yang luar biasa, dimana kehidupan
itu tidak pasif dan hanya ikut-ikutan, ada yang ramai putih, kita ikut putih,
ada yang ramai jenggot kita ikut jenggot, lalu dimana akar pengetahuan kita,
dimana keimanan ideologi kita?
Membuat
antologi puisi ada banyak pertimbangan harus dicanangkan, pertama kita harus
tahu betul apakah tema yang diangkat mampu bertahan dalam percaturan sastra
atau tidak? Kalau tidak, maka pembaca hanya akan membaca sekali itupun tanpa
bekas apa-apa. Itulah mengapa penyair bukan cuek-cuek aja terhadap apa yang dia
ingin tulis, bagaimana penyair itu harus benar-benar mempertimbangkan menulis
puisi ini pembacanya siapa?
Kecuali menulis
puisi hanya untuk dirinya sendiri, no problem, tapi ketika
berbentuk buku seperti “menunggu kabar Buruk” penting kemudian harus
kita pikirkan bersama-sama agar buku yang terbit itu tidak hanya mengisi
rak-rak kosong. Itulah mengapa penyair selamanya terus selalu belajar dan
membaca.
Karena antologi
puisi Menunggu Kabar Buruk ini tidak buruk, maka kita dapat membaca keberagaman
gagasan brilian dari penyair-penyair senior Sumenep yang sampai detik ini
mereka masih siap menjadi penyair dan siap menulis puisi. Antologi ini mengajak
kita untuk berpikir tentang sebuah gagasan yang universal, mereka menghindari
atau memang “tidak suka” terhadap diksi-diksi kemaduraan, sehingga apa yang
hendak di usung dari penyair Sumenep ini belum ada gereget ijtihad
sosial-kemasyarakatan Sumenep yang saat ini menurut saya penting untuk kita
perjuangkan. Makna Sumenep bagi penyair itu apa? Inilah yang penting untuk kita
pikirkan bersama, sebab berpikir tentang Sumenep sebenarnya berpikir tentang
kita, tentang penyair Sumenep.
Semoga penyair
“Menunggu Kabar Buruk” tidak puas dengan buku ini, kita tunggu karya-karya
mereka selanjutnya tentu dengan puisi-puisi yang lebih dahsyat lagi. Amin,
selanjutnya kita berjumpat di ruang dialektika dimana antologi puisi akan di
laounching.
*Dosen STKIP Sumenep dan Guru MA
Nasy’atul Muta’allimin Gapura Timur
Sumber:radar Madura;
Minggu, 21 Mei 2017 18:40
Komentar