Memuisikan Madura di Tengah Gejolak Agraria


Oleh: Matroni Musèrang*


Bermula dari Jakarta pesan via WatsApp dari teman sekaligus guru saya untuk bincang-bincang sastra tentang antologi puisi pribadinya Tanah Air Puisi, Air Tanah Puisi (2016). Saya pun mengiyakan, di samping Gapura masih haus akan pengetahuan sastra, juga beliau sosok yang kurindukan, sebab selama 10 tahun saya di Yogyakarta rumah beliau merupakan tempat saya belajar, berkumpul dengan penyair-penyair Yogyakarta, termasuk tidur dan makan di rumah beliau. Beliau sebelum pindah ke Jakarta, rumah yang berdempetan dengan cerpenis Indonesia Joni Ariadinata di pinggir kali Bedok tempat saya kenal dengan Satmoko Budhi Sentosa, Iqbal Saputra, Sule Subaweh, Anes Prabu, Dian Hartati, Komang Pak Darus. Di tepian kali itulah awal mula berumah di Yogjakarta. Kenangan-kenangan itu lahir kembali, untuk itulah agenda Tanah Air Puisi, Air Tanah Puisi karya Mahwi Air Tawar akhirnya harus dipadukan antara Air, Tanah dan Puisi yang bertempat di aula Majelis Wakil Cabang (MWC) NU Gapura, tepat pada tanggal 12 Februari 2017 jam 13.00 WIB.
Untuk memadukan tiga idiom kata Tanah, Air dan Puisi hadir sebagai pembicara Mahwi Air Tawar (penyair), K. Dzardiri Zubairi (budayawan) dan Khairul Umam (antropolog) untuk menemukan integrasi ketiganya, tentu dalam bingkai kesusastraan. Menurut saya ketiganya cocok untuk mengintegrasikan problem Sumenep hari ini “darurat agraria”, maraknya penjualan tanah, pengiriman air ke Giliyang, dan kesusastraan khususnya di Sumenep, dan Indonesia pada umumnya.
Berangkat dari problem inilah saya ingin memberikan paradigma dan memposisikan puisi Mahwi Air Tawar “Tanah Air Puisi, Air Tanah Puisi” dalam konteks ke-Madura-an hari ini. Dewasa ini sumenep tercengang dengan maraknya penjualan tanah dan bangunan tambak udang di tepian laut Sumenep bahkan banyak bermunculan gas-gas alam yang tak terduga oleh masyarakat setempat. Dengan ditemukannya banyak potensi kekayaan inilah banyak investor asing masuk untuk menghisap kata Pramodya Ananta Toor potensi-potensi itu, namun gejolah muncul dan “perlawanan” baik dari rakyat maupun dari tokoh agama dalam hal ini adalah NU.
Dari kalangan warga yang didukung oleh tokoh agama muncul dengan membawa idiom Lesbumi Gapura “sastra melawan”, “tolak wisata”, BATAN, “ajaga tanah ajaga na’ poto”, Komunitas ASAP, RELAKSA, dan SEMENJAK sebagai bentuk apresiasi gerakan sosial (harakah al-insaniyah). Sebab sudah saatnya kita bergerak bersama, memadukan satu tujuan dalam menggapai satu cita-cita memakmurkan masyarakat, menjaga generasi, menjaga tradisi. Saya yakin bahwa sastrawan dan budayawan harus berpihak pada masyarakat (jawa pos, radar Madura, 19/2/2017). Kalau tidak berpihak pada masyarakat, lantas kita mau berpihak pada siapa?
Kalau tokoh agama, aparatur pemerintah di bungkam, maka penyairlah yang harus bicara. Kelompok sosial ini sebenarnya khawatir dan gelisah dengan  persoalan-persoalan agraria yang menimpa masyarakat Sumenep, kalau kita mengibaratkan persis apa yang pernah dikatakan K. Dzardiri Subairi seperti bubur panas yang dimakan pertama kali dari pinggir, nah Sumenep hari ini seperti bubur panas itu, di tepian laut dari sudah di kuasai oleh investor asing. Kelompok sosial hadir dalam rangka untuk menekan agar tepian itu tidak merembet ke dalam.  
Penting kemudian sastrawan dan tokoh agama berintegrasi dalam membangun kekuatan dengan berbagai gerakan-gerakan (harakah) “melawan” agar setidaknya mereka anvestor asing tidak betah dan gerakan ini minimal membuat mereka tidak nyenyak tidur dengan adanya gerakan sastra, gerakan sosial. Hadirnya Mahwi Air Tawar ke Sumenep untuk memberikan informasi bahwa Sumenep sedang darurat agraria.
Antologi puisi Tanah Air Puisi, Air Tanah Puisi, belum mewakili problem Madura hari ini, antologi ini masih berbicara di pintu gerbang Madura seperti : Penyebrangan, diumumkan kepada penumpang kapal Madura/ dengan hati setenang riak di muara/ tak seorang pun diperbolehkan/ membuang garam di luatan/ segenap beban di dada/ mohon diselipkan di sela layar bergambar langgar, kalau Mahwi Air Tawar menyebut judul Madura; Akulah Madura, darahku laut merah/ asmaku menggema jagad merekah/ adakah masih sangsikan ini darah/ puisi ini masih berbicara Madura dalam konteks sejarah, walau pun sejarah menjadi fondasi dan urgen, tapi tidak berbicara Madura dalam makna kearifan budaya artinya belum masuk ke relung-relung Madura yang akhir-akhir ini menjadi sorotan dan urgen untuk dilakukan. Tanèyan, kalau kehidupan orang Madura itu di teneyan, namun hari ini taneyan sudah sepi, tak ada orang-orang pol-ghumpol e teneyan untuk bersenda gurau, semua sudah asyik di ruang masing-masing menikmati HP dan TV, dan Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa pun demikian, belum saya temukan refleksi tentang Madura yang saat ini menjadi problem riil. Namun itu lebih baik dari pada sastrawan yang “diam di bawa atap”, justeru Mahwi Air Tawar mengajak kita untuk kembali ke syiir, mamaca, paparegan, artinya kembali ke sejarah itu penting agar kita memiliki pijakan yang kuat dalam bersastra dan berpuisi.   
Mata Blater antologi cerpennya yang cukup mewakili kearifan budaya Madura. Namun Mahwi Air Tawar cukup kritis di saat beliau datang ke Sumenep, beliau datangi tokoh-tokoh kunci untuk menemukan cara-cara baru untuk masa depan Madura, seperti terlihat dari kegelisahannya, di saat ia berkata hilangnya pagar bambu, minimnya gotong royong, keadaan sastra  kita hari ini, teneyan yang kini sepi, katanya, dan hal ini tidak dilakukan oleh sastrawan sekarang, sebab sastrawan kita hari ini lebih suka menulis di bawah atap, dari pada keluar bersama rakyat. Apakah tidak ada penyair lain yang bergerak menulis tentang Madura hari ini?.
Banyak. Kalau boleh saya sebutkan sastrawan-sastrawan Sumenep itu misalnya D. Zawawi Imron, Syaf Anton Wr, Hidayat Raharja, Abdul Hadi WM, Jamal D Rahman, M. Faizi, M.Fauzi, Sofyan RH Zaid, Lugman Hakim Ag, Raedu Basha, F. Rizal Alief, A. Waris Rovi, penyair Ketam Ladam, penyair Perempuan Laut, ada Toyu Aradana yang baru-baru ini menerbitkan cerpennya dengan bahasa Madura “embi’ celleng Ji munater” Inilah potensi Madura yang mulai bergerak untuk memberikan spirit keilmuan bagi anak-anak muda yang ada di Sumenep. Artinya Madura sebenarnya menyimpan potensi-potensi yang luar biasa, jika benar-benar dicari dan ditulis oleh sastrawan Madura dan Madura sampai hari terus bergeliat.
Diskusi di MWC NU Gapura itu merupakan bagian dari berbagai kegiatan kebudayaan untuk menemukan formula baru atau ide-ide segar di tengah kecamuk problem kapitalisasi tanah dan kapitalisasi ruang yang ini riil terjadi di Madura. Maka dibutuhkan kebersamaan dalam memadukan tujuan dan konsep, tentu kita harus berkumpul untuk menemukan ide-ide segar itu. Agar tidak mengendap di tanah-tanah pikiran dan bertumpuk di batu-batu keangkuhan. Apa yang dilakukan Mahwi Air Tawar penting untuk sastrawan kita tiru, agar tidak merasa paling “gawat” dihadapan banyak orang, tapi kecil diharapan diri sendiri.
Untuk apa kita bertemu dan berkumpul, yaitu untuk bercanda kata Kiai Mamak (dari An-Nuqayah), sebab sastra tempat untuk bercanda, katanya. Memang di ruang-ruang canda seringkali kita menemukan ide-ide brilian, dan kreatifitas itu muncul santai tapi serius, maka puisi sebenarnya bunyi manusiawi atau titik kosmik dari sebuah proses pencarian dan pergulatan sastrawan, artinya puisi sebagai puncak dari bahasa manusia. Bagaimana mungkin sastrawan akan menulis jika ia terkurung di atap rumah? Apakah hanya mengandalkan imajinasi, tanpa isi?
Penting kemudian, kita berkumpul, berdialektika, dan sharing tentang suatu “kegelisahan” kosmik-agraria-sastrawi yang kini berada di ambang kemirisan. Menciptakan satu tujuan bersama yaitu menyelamatkan tanah, tradisi dan moral manusianya dari kapitalisasi tanah, kapitalisasi tradisi, dan kapitalisasi moral.

Madura, 12 Februari 2017      

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Matinya Pertanian di Negara Petani